“Saya Mengawal 5.000 Bal Tembakau ke Jerman Naik Kapal”

Feature

Senin, 24 Oktober 2022 07:45 WIB

Banyak orang masih beranggapan, tembakau jenis Besoeki-Oostg dari Jember, Jawa Timur, diekspor ke Bremen, Jerman. Buku pelajaran siswa pun bahkan masih menyebut demikian, tembakau khusus untuk cerutu itu setiap tahun jadi mahkota pada pelelangan di Bremen.

Tapi informasi itu sebenarnya sudah kadaluwarsa, atau sudah tidak benar lagi. Karena tembakau Besoeki Na-Oogst atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tembakau Jember sudah sejak 1989 tidak lagi dilelang di Bremen. Sudah lama sekali tidak diekspor, sebab sekarang pembeli dari luar datang sendiri ke Jember untuk membeli tembakau. Karena tidak ada pelelangan tembakau lagi, akibatnya, setahun kemudian, tahun 1990, pelelangan tembakau di Bremen yang diadakan sejak 1959 itu tutup.  

Para pembeli yang pada umumnya produser cerutu, datang langsung ke Jember. Bahkan dalam waktu setahun saja, pabrik cerutu terkenal asal Swiss yaitu Burger Sohne Ag Burg (BSB) yang sebelumnya tercatat sebagai pembeli utama pada pelelangan, mendirikan pabrik cerutu di Jember agar tidak kesulitan mendapatkan bahan baku. Bahan baku utama pembuatan cerutu BSB seluruhnya menggunakan daun tembakau asal Jember ini, baik untuk wrapper (pembalut cerutu), binder (pembungkus cerutu) maupun untuk filler yaitu isi cerutu. 

Tetapi bagaimana ceritanya sampai lelang tembakau bisa diadakan di Bremen, Jerman? Ceritanya berlatar politik, berhubungan dengan Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945. Sebelum diselenggarakan di Jerman, selama bertahun-tahun sebelumnya lelang tembakau selalu diadakan di Belanda. Ada dua alasan mengapa lelang tembakau kemudian dipindahkan dari Belanda ke Jerman.

Ada empat perusahaan Belanda yang membuka perkebunan tembakau di Jember, dan hasilnya dikirimkan ke Belanda untuk mengikuti lelang. Tahun 1957, pemerintah RI mengambil alih keempat perusahaan perkebunan tembakau itu. Dua tahun kemudian, dikeluarkan Keputusan Pemerintah No. 4 tahun 1959 untuk memperkuat pengambilalihan atau nasionalisasi perusahaan itu.

Keempat perusahaan yang bergerak di bidang tembakau itu oleh pemerintah RI kemudian dilebur menjadi satu dalam perusahaan negara bernama PPN Baru (Perusahaan Perkebunan Negara) Baru. PPN Baru inilah yang menjadi embrio dari PTPN X sekarang.

Keempat perusahaan Belanda itu masing-masing NV. Landbouw Maatchappij Oud Djember (di Ajong, Gambirono, Kertosari),  NV. Besoekische Tabaks Maatchappij (di Mojo, Sumberjeruk dan Tamansa), NV.  Cultuur Maatchappij Djelboek (di Jebuk dan Sukokerto) serta NV Landbouw Maatchappij Soekowono di Sukowono. Keempat perusahaan Belanda itu semuanya berada di Kabupaten Jember, yang dahulu masuk wilayah Karesidenan Besuki.

Kuntjoro, 84 tahun, di rumahnya di kawasan Patrang, Jember, Jawa Timur. (Foto: Ngopibareng/Id/M. Anis)
Kuntjoro, 84 tahun, di rumahnya di kawasan Patrang, Jember, Jawa Timur. (Foto: Ngopibareng/Id/M. Anis)

Koentjoro

Pasar Lelang tembakau di Bremen, Jerman, ternyata hanya berlangsung selama sekitar 30 tahun, sebelum akhirnya ditutup untuk selamanya pada tahun 1990. Koentjoro, 84 tahun, adalah orang yang tahu ceritanya mengapa pasar lelang tembakau di Bremen kemudian juga ditutup. Mantan Manajer Administrasi PTPN XXVII (kini PTPN X) ini sekarang masih tercatat sebagai orang BSB.

“Memang, BSB dari Swiss tadinya adalah peserta utama lelang tembakau di Bremen. Tapi dalam lelang BSB merasa sering dipermainkan, beberapa kali tidak mendapatkan tembakau sehingga merasa dirugikan. Kalau ikut lelang tidak mendapatkan barang, ya lebih baik pasar lelang ditutup saja. Percuma,” kata Koentjoro, mengawali ceritanya. Dia ditemui di rumahnya di kawasan Patrang, Jember, suatu sore.

Berhentinya lelang di Bremen itu juga karena adanya masalah, yaitu tidak meratanya perusahaan-perusahaan peserta lelang yang tidak mendapatkan tembakau. Bukan hanya BSB.

“Para produser cerutu di Eropa itu dalam bersaing seringkali tidak jujur. Pada tahun terakhir pelaksanaan lelang, seluruh tembakau kita dibeli oleh sebuah perusahaan dari Belgia, sehingga BSB tidak mendapatkan tembakau kecuali hanya satu bal yang beratnya 60 kilogram. Semua dibeli perusahaan Belgia, padahal BSB sudah membayar di muka kepada kita,” kata Koentjoro yang menikah dengan istrinya Susilowati tahun 1964, dan memberinya tiga anak.

Setelah peristiwa itu, pihak BSB mengeluh pada pengelola lelang dan berkeluh kesah pada kita. Mereka kemudian mencari jalan agar tembakau Besuki tidak perlu dilelang karena yang terjadi main serobot saja. Akhirnya pasar lelang di Bremen itu benar-benar ditutup, tahun 1990,” cerita Koentjoro, kepada Ngopibareng.id.

BSB kemudian menjadi pembeli utama tembakau Jember secara langsung, tanpa lelang. Bahkan BSB kemudian, atas permintaan PTPN XXVII (kini PTPN X) dan mendapat persetujuan dari Menteri Muda Pertanian saat itu, Syarifuddin Baharsyah, tahun 1991 mendirikan pabrik cerutu di Jember, untuk memastikan mereka memperoleh tembakau Na-Oogst sebagai bahan baku utama produknya.

“Saya sendiri ketika itu ikut mengantarkan BSB bertemu Menteri Muda Pertanian Pak Syarifuddin Baharsyah di Jakarta. Pak Syarifuddin menyambut baik, dan mengatakan bagus kalau di Jember ada pabrik cerutu dengan kualitas dunia,” kata Koentjoro menceritakan pertemuannya dengan Menteri Muda Pertanian pada Kabinet Pembangunan V tersebut.

Akhirnya, BSB berhasil mendirikan pabrik cerutu di Jember. “Bahkan saya ikut dalam mendirikan pabrik itu, termasuk ketika perusahaan mendatangkan mesin-mesin dari Jerman,” ceritanya.

Jauh sebelum pasar lelang di Bremen ditutup, Koentjoro pernah mendapat tugas istimewa yaitu mengawal tembakau dari Indonesia ke Jerman, naik kapal laut, untuk diikutkan lelang. Ini terjadi tahun 1972, ketika usia Koentjoro 34 tahun, atau setelah tujuh tahun tercatat sebagai pegawai PTP XXVII.

“Saya mengawal 5.000 bal tembakau ke Jerman naik kapal, setiap balnya memiliki berat 100kg. Jadi total saya membawa 500 ribu kilogram atau 500 ton tembakau untuk diikutkan lelang. Naik kapal Jerman MV Havelstains, lama pelayaran 1,5 bulan berangkat, dan 1,5 bulan lagi pelayaran pulang. Jadi untuk perjalanan saja menempuh waktu tiga bulan,” ceritanya. 

Menurutnya, mengawal lima ribu bal tembakau ke Jerman yang belum tentu laku terjual, diakuinya sangat berat. “Perjalanannya jauh, waktunya lama, dan biayanya mahal. Tetapi setelah tembakau yang kita bawa itu akhirnya terjual  juga, jerih payah kita jadi tidak terasa. Waktu berangkat saya sempat berpikir, bagaimana kalau tembakau yang kita bawa tidak terjual? Tapi Alhamdulillah, akhirnya laku juga, karena memang tembakau kita ditunggu para pembeli di sana,” kata Koentjoro, menceritakan salah satu pengalamannya yang nampaknya sangat dia banggakan. 

Koentjoro memang memiliki banyak sekali pengalaman saat bekerja di perusahaan perkebunan yang sekarang jadi PTPN X  ini. Tahun pertama bekerja, 1965 pada usia 27 tahun, dia menjadi wakil sinder. Kemudian meningkat menjadi sinder selama 6 tahun. Lantas meningkat lagi menjadi Wakil ADM atau Wakil General Manager yang juga dijabatnya selama 6 tahun. Jabatannya naik lagi jadi ADM atau General Manager selama 5 tahun, sebelum masuk jajaran direksi sebagai Direktur SDM pada tahun 1982, sampai kemudian tiba masa pensiun tahun 1995. Dengan demikian dia bekerja di perusahaan pemerintah ini selama 28 tahun.

Bagaimana Koentjoro mengelola SDM yang dimiliki perusahaan ketika itu? “Saya menerapkan disiplin yang tinggi kepada seluruh karyawan. Ada tiga hal yang saya tekankan kepada mereka agar dijadikan pegangan dalam bekerja. Pertama, mereka harus mampu bekerja dengan disiplin, tidak boleh salah dalam bekerja. Kedua, mereka harus bekerja dengan hemat bahan baku, karena menyangkut harga pokok. Ketiga mereka harus bekerja dengan target, dan target itu harus dapat dicapai agar perusahaan tidak rugi. Tiga hal itu harus benar-benar jadi pegangan seluruh karyawan dalam bekerja,” kata Koentjoro, yang lahir di Malang, 10 Mei 1938.

“Tetapi sekarang saya lihat PTPN X sudah on the track. Sudah bekerja dengan bagus. Yang perlu mendapat perhatian lebih sekarang ini adalah masalah gula. Kalau sektor tembakau sudah bagus, tinggal sektor gula inilah yang perlu mendapat perhatian agar secara bisnis juga memberi keuntungan kepada perusahaan, yang berarti menguntungkan negara karena PTPN X adalah perusahaan milik negara,” kata Koentjoro.

Saiful Adi, Manajer Tanaman, memeriksa tanaman tembakau di kebun milik PTPN X di Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember, Jawa Timur. (Moto: Ngopibareng.id/M. Anis)
Saiful Adi, Manajer Tanaman, memeriksa tanaman tembakau di kebun milik PTPN X di Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember, Jawa Timur. (Moto: Ngopibareng.id/M. Anis)

Saiful Adi

Saiful Adi adalah Mandor Tanaman, yang dalam struktur disebut Manajer Tanaman pada Kebun Ajung, di Jember. Dia boleh dibilang orang lapangan. Masuk PTPN X tahun 1986, akhir tahun ini, Desember 2022 dia memasuki  masa pensiun. Tetapi melihat pengalamannya di bidang tanaman, bisa saja pihak perusahaan masih akan mempertahankannya. Apalagi Saiful Adi juga tahu soal pengolahan dan supporting, sebelum kembali lagi ke kebun sebagai mandor hingga sekarang. Sebagai Manajer Tanaman, Saiful Adi membawahi 21 orang Asisten Manajer atau Sinder.  

Mengenai Koentjoro yang sudah lama pensiun, Saiful Adi mengatakan bekas pimpinannya itu, meskipun tidak secara langsung berada di atasnya, meninggalkan banyak kebijakan yang masih dipakai sampai sekarang, terutama di bidang SDM. “Boleh dikata beliau adalah salah satu founding father bidang pertembakauan di Jember ini,” kata Saiful Adi.

“Saya tidak pernah jadi anak buahnya secara langsung, tetapi yang saya lihat, Pak Koentjoro itu bisa bergaul dan bisa diterima oleh semua level. Sebaliknya semua level juga bisa menerima kehadiran beliau,” ujarnya.

Menurut Saiful Adi, Koentjoro meninggalkan kesan yang baik bagi seluruh karyawan, sampai sekarang.

Kuntjoro menurut beberapa staf, berbeda dengan mantan pimpinan lain, yang setelah pensiun dari PTPN X (sebelumnya PTPN XXVII) segera saja mendirikan perusahaan sendiri yang akhirnya malah jadi kompetitor. Ada dua perusahaan di Jember yang juga bergerak di bidang tembakau, yaitu PT Tarutama Nusantara dan PT Tempurejo, yang masing-masing didirikan oleh bekas pimpinan setelah setelah pensiun dari perusahaan.

Sedang Koentjoro setelah pensiun tahun 1995 bahkan masih membantu perusahaan dengan cara menjembatani keperluan PTPN X dengan pihak pembeli yaitu BSB (Burger Sohne Ag Burg), pabrik cerutu asal Swiss yang membuka pabrik di Jember. Hingga sekarang Koentjoro memang masih tercatat sebagai orang BSB. “Oleh BSB saya dibayar dengan Euro,” kata Koentjoro sambil tertawa.

Direktur PTPN X, Tuhu Bangun (kiri), bersama Dwi Aprilia Sandi (GM Kebun Ajung) di kebun tembakau milik PTPN X. (Foto: Ngopibareng.id/Dokumen PTPN X)
Direktur PTPN X, Tuhu Bangun (kiri), bersama Dwi Aprilia Sandi (GM Kebun Ajung) di kebun tembakau milik PTPN X. (Foto: Ngopibareng.id/Dokumen PTPN X)

Direktur

PTPN X, memiliki sejarah yang panjang. Perusahaan milik negara ini dikelola tidak semata mencari keuntungan, tetapi juga dikelola untuk mempertahankan mitos Tembakau Besoeki, serta menjaga kelestarian cara menanam dan mengolahnya. Tembakau Besoeki yang memiliki sejarah jauh lebih panjang dari PTPN X, adalah sebuah prasasti yang hidup, harus dijaga agar tetap lestari. Sebab varietas inilah yang sekarang ditanam dan jadi andalan utama PTPN X, sejak pertama kali dibawa seorang Belanda bernama Cornelis De Houtman pada tahun 1596. Dari jaman kolonial sampai sekarang, varietas tembakau yang ditanam tetap dan tidak berubah, yaitu H-382 yang  dimurnikan.

Karena itu yang terus dikembangkan bukan varietas atau tanamannya, melainkan aspek-aspek pasca produksi. Menurut Tuhu Bangun, Direktur PTPN X, direksi berkomitmen dalam pengembangan tembakau Besuki Na Oogst ini melakukan kerja sama strategis dengan customer, berlandaskan prinsip mutual benefit

“Dengan kerjasama ini PTPN X akan mendapatkan kepastian market utama tembakau top grade, dan juga berbagi risiko dalam pendanaan proses produksi. Sedangkan bagi customer akan mendapatkan kepastian suplai baik volume maupun kualitas produk tembakau, yang sesuai dengan standart mutu yang mereka tetapkan,” kata Tuhu Bangun pada Ngopibareng.id.

Untuk mengembangkan kemampuan dan menjaga standar kualitas hasil kerja, tambahnya, setiap tahun di awal pekerjaan selalu dilakukan test refresh kemampuan sortasi tembakau, sehingga bisa tetap terpetakan kompetensinya.

“Kesejahteraan dan kenyamanan dalam lingkungan kerja di kebun tembakau merupakan komitmen utama dari direksi dengan mematuhi regulasi pemerintah dalam pengupahan sesuai UMK setempat, serta membuat lingkungan kerja yang nyaman dan aman terutama kepada tenaga kerja perempuan,” tambahnya.

Saat ini serapan tenaga kerja dalam fase puncak aktivitas produksi dan supporting-nya mulai bulan Mei sampai dengan Desember,  bisa mencapai 20.000 orang.

“Tembakau PTPN X dikenal dengan pola produksinya yang masih tradisional. Tetapi salah satu pasar terbesarnya di Eropa justru menguatkan brand-nya sebagai produk cerutu yang dihasilkan dengan "hati," karena seluruh prosesnya dilakukan secara manual, dan mayoritas tenaga kerjanya adalah perempuan,”  jelas Tuhu Bangun.

“Akan tetapi salah satu risiko yang harus dihadapi pada pola budidaya tradisional seperti ini adalah tingginya harga pokok produksi, terutama untuk penyesuaian kenaikan UMK setiap tahun. Untuk itu sentuhan inovasi teknologi tetap harus ada pada aktivitas-aktivitas tertentu, dengan juga tetap mengakomodir pola budidaya tradisional untuk mempertahankan brand customer yang sudah dikenal luas,” kata Tuhu Bangun.

Ditanya tentang kontribusi untuk kas negara, Tuhu mengatakan, “Kontribusi segmen tembakau selama dua tahun terakhir mampu menyumbang laba Aff Kebun sebesar Rp45 miliar dan Rp85 miliar,” katanya.

Menurutnya, kendala utama penanaman tembakau ini adalah fluktuasi cuaca yang dipengaruhi iklim global. Dengan masa produksi yang sangat pendek yaitu sekitar 65 hari sejak ditanam sampai dengan panen terakhir, perubahan cuaca sangat menentukan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Apalagi tembakau sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan yang kering ataupun curah hujan yang sangat tinggi.

“Untuk itu presisi prediksi iklim tahunan sebelum tanam sangat penting untuk menentukan masa dan pola tanam yang akan diterapkan. Selain itu kompetensi SDM dalam melakukan langkah-langkah antisipatif terhadap dinamika cuaca juga sangat diperlukan sehingga dapat menekan dampak negatif terhadap losses produk. Untuk itu secara periodik dilakukan refresh kemampuan teknis kepada seluruh planters, dalam bentuk Sekolah Lapang yang dilakukan setiap Desember sampai Januari, sebelum masa produksi dimulai,” jelas Tuhu Bangun, Direktur PTPN X. (M. Anis/Habis)

Tim Editor

M. Anis

Reporter & Editor

Berita Terkait

Minggu, 14 April 2024 05:14

Petugas Kebersihan Rela Bekerja di Hari Raya Demi Kebersihan Kota

Senin, 08 April 2024 05:46

Tak Ada Pembeli, Peralatan Dapur ini Hanya Jadi Pajangan

Jumat, 15 Maret 2024 06:04

Mesigit Tebon, Jejak Sejarah Ajaran Toleransi Mbah Jumadil Kubro

Kamis, 14 Maret 2024 04:40

Jejak Dakwah Mbah Jumadil Kubro di Desa Jipang Cepu Blora

Bagikan Berita :