Das Kapital (3)
Oleh:
Himawan Bayu Patriadi, PhD.,
Dosen Hubungan Internasional,
Universitas Jember.
Salah satu aspek yang menonjol dari Das Kapital adalah survivalitasnya, khususnya sebagai referensi akademik. Seperti telah disinggung dalam artikel serial sebelumnya, “Das Kapital (2)” (Ngopibareng, 18/5/2025), buku teks ini sering dianggap telah usang. Bahkan, seorang kawan yang sempat menanggapi artikel saya serial pertama, “Das Kapital (1)” (Ngopibareng, 10/5/2025), menyatakan: “Kini, [teks Das Kapital] seolah [telah berada] dalam peti kematian berliterasi!”.
Namun, saya kurang sependapat dengan tanggapan sang kawan di atas. Faktanya, tak sedikit orang masih tertarik untuk menengok kembali teks Das Kapital ini. Salah satu daya tariknya, mungkin, membaca Das Kapital akan menggiring kita untuk merenungkan kapitalisme yang telah begitu mencengkeram dunia. Bahkan, di Amerika Serikat, negara yang selama ini dikenal sebagai anti- Marxist; pemikiran Karl Marx justru telah menginspirasi lahirnya sekian kebijakan dan agenda publik. Memang tidak pengakuan resmi, khususnya dari otoritas politik Amerika Serikat. Tapi, Andrew Hartman, dalam bukunya “Karl Marx in America” (2025), menegaskan: “Para sejarawan telah menyoroti jejak yang dibuat di Amerika oleh para pemikir Pencerahan seperti Adam Smith, John Locke, dan Thomas Paine; tetapi Marx jarang dianggap [selayaknya] seperti tokoh-tokoh ini. Tapi, kini ide-ide Marx justru yang paling relevan karena sentralitas kapitalisme dalam kehidupan Amerika … Meski Karl Marx tak pernah mengunjungi Amerika, [tapi realitanya] negara ini telah diresapi, dibentuk, dan diubah olehnya”. Dengan atensi publik yang masih tinggi hingga kini, pertanyaannya: “Apa substansi Das Kapital dan bagaimana Marx menyuguhkan analisanya?
Saya tak bermaksud untuk me- review Das Kapital. Alasannya sederhana, esai pendek ini tak akan mampu memuat sebuah review detail terhadap Das Kapital yang elaborasinya memakan ribuan halaman. Artikel ini hanyalah sekedar mencoba untuk menyajikan beberapa snapshoots dari teks Das Kapital, guna mendapatkan insights mengenai beberapa pemikiran pokok yang ada di dalamnya. Pertama, adalah tentang pengertian “Kapital”. Semula, saya mengasumsikannya sebagai terminologi ilmu Ekonomi. Namun, setelah membaca Das Kapital, meski ada unsur ekonomi tapi “Kapital” yang dimaksudkan Marx di sini lebih mencerminkan istilah Sosiologi. Karl Marx sendiri mendefinisikan, bahwa: “Kapital bukanlah sebuah benda, tetapi sebuah hubungan sosial antar manusia, [yang] dibangun oleh instrumen benda-benda (Capital is not a thing, but a social relation between persons, established by the instrumentality of things)”. (Capital, Volume 1, 1887:541).
Pendefinisian Karl Marx di atas menunjukkan bahwa Das Kapital yang dimaksudkannya bukanlah konsep ekonomi, setidaknya bukan ekonomi murni. Pasalnya, Marx punya asumsi sendiri tentang teori Ekonomi. Ia berpandangan bahwa adalah tidak mungkin membangun teori Ekonomi sebagai hasil abstraksi dari konteks sosial tertentu. Berangkat dari pandangannya ini, melalui Das Kapital Marx sebenarnya berobsesi untuk membangun sebuah teori yang cakupan (range)-nya luas tentang proses yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Dalam introduksinya di salah satu edisi terbitan Das Kapital, Ernest Mandel menjelaskan: “Tujuan mendasar Marx adalah mengungkap hukum [dari sebuah] proses yang mengatur asal-usul, kebangkitan, perkembangan, kemunduran, dan lenyapnya wajah sosial dari suatu organisasi ekonomi tertentu: [yakni] cara produksi kapitalis (Marx’s fundamental aim was to lay bare the laws of motion which govern the origins, the rise, the development, the decline and the disappearance of a given social form of economic organization: the capitalist mode of production)”. [ Capital, Volume 1, 1976:12-13]. Penegasan Mandel ini menyiratkan bahwa, berangkat dari analisa kritisnya terhadap proses produksi dalam sistem kapitalis dalam Das Kapital, Marx nampaknya berobsesi untuk membangun sebuah grand theory tentang the capitalist mode of production.
Kedua, isu yang menyangkut metode yang dipakai Karl Marx. Dalam Afterword-nya di Das Kapital edisi Jerman terbitan kedua, yang ditulisnya 24 Januari 1873 di London, ia mengakui: “Metode yang dipakai dalam Das Kapital [memang] kurang dipahami (The method employed in Das Capital has been little understood)”. [ Capital, Volume 1, 1887:12]. Minimnya pemahaman ini tercermin dari berbagai penilaian yang muncul, tapi saling bertentangan, tak lama setelah Das Kapital terbit. Misalnya, The Paris Revue Positiviste, jurnal yang platformnya bertumpu pada paradigma positivistik ala Auguste Comte, mengkritiknya dengan keras. Alasannya, di satu sisi Marx memperlakukan ilmu Ekonomi secara metafisik; sedangkan di sisi lain, ia hanya menyuguhkan analisa kritis tanpa preskripsi apapun. Kritik keras ini tak aneh, mengingat sejak paruh pertama abad XIX, khususnya di Perancis, dalam dunia akademik Positivism begitu dominan. Namun, The European Messenger of St. Petersburg, dalam review-nya justru memberikan pujian. Metodologi Das Kapital dianggapnya sangat ‘realistis’, bahkan menilai Marx sebagai sosok “jauh lebih realistis dari semua pendahulunya dalam karya kritik ekonomi”.
Berkaitan berbagi komentar yang muncul, baik kritik maupun pujian, terhadap metodologi penelitian Das Kapital, Karl Marx tak banyak melakukan responsi. Ia hanya menegaskan bahwa perlu membedakan antara ‘metodologi penelitian’ (method of inquiry) dari ‘metode penyajian’ (method of presentation). Menyangkut method of inquiry ini, Marx hanya menekankan “harus mencari data [tentang kapitalisme] secara rinci, menganalisis berbagai bentuk perkembangannya yang berbeda, [dan] menelusuri hubungan-hubungan [antar faktor yang terkait] di dalamnya (has to appropriate the material in detail, to analyze its different forms of development, to trace out their inner connexion)”. [ Capital, Volume 1, 1887:14]. Penjelasan Marx ini tercermin dalam analisanya yang detail dalam Das Kapital, dilengkapi dengan bukti-bukti empiris-historis yang kuat.
Dengan penekanan Karl Marx yang singkat di atas, tidak mudah untuk menyimpulkan secara persis method of inquiry dari Das Kapital. Apalagi, jika penilaian kita terhadap method of inquiry ini berangkat dari terminologi dan tahapan metodologi penelitian kontemporer yang telah jauh berkembang pesat, rinci, dan rigid; dibandingkan dengan kondisi lebih dari 150 tahun yang lalu ketika penelitian Das Kapital dilakukan. Namun, berangkat dari penegasan Marx di atas plus pencermatan terhadap elaborasinya yang panjang; Das Kapital nampaknya lebih mencerminkan sebuah penelitian kualitatif dengan pendekatan induktif. Dalam konteks ini, berangkat dari fakta-fakta empiris dengan menyuguhkan data yang melimpah, Marx merumuskan generalisasi empiris dengan didukung dengan analisa dan elaborasinya yang panjang, dalam, tajam, dan komplek. Kemudian, dengan mengandalkan kekuatan logika ia melanjutkannya dengan upaya teorisasi dengan merumuskan proposisi.
Isu lain, yang tak kalah menarik, berkaitan dengan analisanya dalam Das Kapital, Karl Marx mengenalkan istilah method of presentation. Penjelasannya tentang istilah ini merupakan responsinya atas beberapa review yang muncul. Bermula dari review M. Block dalam Journal des Economistes (1872) yang menempatkan analisa Marx sebagai “among the most eminent analytical minds”, sedangkan The European Messenger of St. Petersburg (1872) lebih jelas mengidentifikasi method of presentation dari Das Kapital mencerminkan “German-dialectical”. Bahkan, berbagai review di Jerman secara lebih spesifik mengasosiasikannya dengan “Hegelian sophistics”, merujuk pada metode berpikir filsuf Jerman pendahulunya, Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 - 1831).
Karl Marx tak menampik bahwa ia memang menggunakan metode dialektikal. Tapi, dari segi substansi, model dialektikanya berbeda secara diametral dengan dialektika Hegel yang sudah dikritiknya sejak ia bergabung ke dalam Young Hegelians tahun 1837. Terpantik oleh berbagai review di atas, secara eksplisit Marx menjelaskan perbedaan dialektikanya dari Hegel: “Metode dalektika saya tidak hanya berbeda dari metode dialektika Hegelian, tetapi juga merupakan kebalikannya. Bagi Hegel, proses kehidupan otak manusia, yaitu proses berpikir, yang, dengan nama ‘Ide’, bahkan ia ubah menjadi subyek yang independen, yakni [sebagai] kreator dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah bentuk eksternal dan fenomena dari ‘Ide’. Sebaliknya, bagi saya, yang ideal tidak lain adalah dunia material yang direfleksikan oleh pikiran manusia, dan [kemudian] diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk ide (My dialectic method is not only different from the Hegelian, but is its direct opposite. To Hegel, the life process of the human brain, i.e., the process of thinking, which, under the name of “the Idea,” he even transforms into an independent subject, is the demiurgos of the real world, and the real world is only the external, phenomenal form of ‘the Idea.’ With me, on the contrary, the ideal is nothing else than the material world reflected by the human mind, and translated into forms of thought)”. [ Capital, Volume 1, 1887:14]. Singkatnya, Hegel memandang “ide” atau “gagasan”-lah yang membentuk dunia empiris; sedangkan Marx berpendapat sebaliknya, yaitu dunia material, yang bersifat empiris, yang justru membentuk “ide” atau “gagasan” seseorang.
Setidaknya ada dua catatan saya terhadap penjelasan Karl Marx di atas. Pertama, melalui berbagai karyanya, termasuk Das Kapital, Marx menunjukkan otensitas pemikirannya dengan men-jungkirbalik-kan pemikiran filosofis Hegel. Kedua, Marx ternyata sosok yang rendah hati. Meski secara meyakinkan telah mengkritik Hegel, ia tetap mengakui bahwa secara akademik dirinya berhutang budi padanya. Dalam testimoni-nya, dengan humble ia menegaskan: “Saya secara terbuka menyatakan diri sebagai murid pemikir hebat itu [Hegel], dan bahkan, di sana sini, [khususnya] di bab tentang teori Nilai, [saya] masih meminjam berbagai model ekspresi khas-nya (I therefore openly avowed myself the pupil of that mighty thinker, and even here and there, in the chapter on theory of value, coquetted with the modes of expression peculiar to him)”. [ Capital, Volume 1, 1887:14]. Testimoni Marx ini mengingatkan saya pada ungkapan Isaac Newton. Tahun 1675, menyusul keberhasilannya menemukan teori Gerak dan Gravitasi; Newton berkirim surat ke Robert Hooke, peneliti rivalnya. Nukilannya yang terkenal: “Jika saya telah melangkah lebih jauh, itu berkat bertumpu pada para pemikir hebat sebelumnya (If I have seen further, it is by standing on the shoulders of giants)”. Seiring dengan kemonceran Das Kapital-nya, testimoni Karl Marx di atas nampaknya menyiratkan bagaimana ia begitu menghayati esensi ungkapan Newton ini. Wallahua’alam … (Bersambung)
Advertisement