Das Kapital (2)
Oleh:
Himawan Bayu Patriadi, PhD.,
Dosen Hubungan Internasional,
Universitas Jember.
Pada 14 September 2017, the British library di London memperingati 150 tahun peluncuran perdana Das Kapital. Alasannya, lembaga ini mengklaim punya ikatan penting dengan penulisnya: Karl Marx. Tertuang dalam testimoninya: “Tiba di London sebagai seorang pengasingan tahun 1849, Marx menjadi wajah yang sangat dikenal di ruang baca British library, [ia] memanfaatkan koleksi ekstensif [perpustakaan] guna menggali data yang dijadikan landasan bagi kritiknya yang terkenal terhadap ekonomi politik, [yakni] Das Kapital”.
Dikisahkan pula, mungkin sebagai wujud terima kasihnya; tahun 1872 Marx membawa sendiri buku Das Kapital terbitan perdana dari Jerman untuk diserahkan langsung kepada the British library guna menjadi bagian dari koleksinya. “Ini merupakan salah satu koleksi kami yang paling berharga! (It is among our most treasured texts)”, tegas the British library.
Terbitan perdana, yang dalam bahasa Jerman bertajuk: Das Kapital: Kritik der Politischen Ökonomie (Capital: A Critique of Political Economy), segera mendapat apresiasi dari kalangan pekerja di Jerman. Salah satu kemungkinan alasannya, karena isi buku ini memuat empati terhadap nasib mereka sebagai buruh. Bagi Marx pribadi, apresiasi ini sangat berarti. Dengan bangga, ia mengungkapkan: “Ini adalah penghargaan yang paling besar terhadap karya saya ([It] is the best reward for my labours)”. (Capital, Vol.1, epub version, 1887:22).
Tapi, ironisnya, sambutan dari dunia akademik di Jerman justru senyap. Penyebab utamanya, di negara ini industri kapitalis belum berkembang. Berbeda dengan di Inggris dan Perancis, ketika itu di negara asalnya, Jerman; apa yang dinamakan Marx sebagai the capitalist mode of production berkembang agak lambat. Padahal, model produksi kapitalis ini merupakan fokus kajian dari Das Kapital. Akibatnya, dalam dunia akademik Jerman kajian kritis terhadap sistem kapitalis relatif tertinggal. Dalam konteks ini, Marx menjelaskan: “Ekonomi-politik tetap menjadi ilmu [yang] asing di Jerman, [setidaknya] sampai saat itu. … [Terdapat] kondisi historis yang menghambat, di Jerman, perkembangan the capitalist mode of production. Jadi, tanah tempat Ekonomi-Politik untuk tumbuh subur tidak ada. [Walhasil], “ilmu” ini harus diimpor dari Inggris dan Perancis sebagai barang jadi yang sudah siap pakai; [sedangkan] para profesor Jermannya tetap menjadi anak sekolah [yang tengah belajar tentang ilmu tersebut] (Political economy remains a foreign science in Germany, up to this very moment. … [There was historical circumstances that prevented, in Germany, the development of the capitalist of production. Thus, the soil whence Political Economy springs was wanting. This “science” had to be imported from England and France as a ready-made article; its German professors remained schoolboys)”. (Capital, Vol.1, epub version, 1887:23).
Dalam konteks akademik, penjelasan Karl Marx tentang “ilmu” Ekonomi-Politik di atas, setidaknya menyiratkan dua pelajaran. Pertama, perkembangan sebuah disiplin ilmu sangat berkaitan erat dengan kondisi landskap politik, sosial, dan ekonomi dimana ia tumbuh. Kedua, bagi akademisi, apalagi peneliti, mengasah sensitivitas terhadap fenomena di sekitarnya adalah keharusan. Apalagi, dengan perkembangan industri dan tehnologi, kini pusaran perubahan lanskap sosial, politik, ekonomi, dan budaya semakin cepat. Dengan perkembangan ini, kekritisan adalah sebuah kebutuhan. Intinya: “Never stop questioning the world around us!”. Sebagai peneliti, Karl Marx telah menunjukkan sensitivitas keilmuwannya yang tinggi. Bagaimana tidak? Ia mampu menangkap fenomena baru yang masih berkembang secara terbatas, bahkan fenemona tersebut muncul di luar negara asalnya. Dalam konteks ini, Ernest Mandel (1982), seorang pemikir Marxist independen yang tersohor, menggambarkan: “Ketika volume 1 Das Kapital pertama kali diterbitkan [1867], industri kapitalis, meski [sudah] dominan di beberapa negara Eropa Barat, masih tampak [layaknya] sebagai pulau terpencil yang dikelilingi oleh lautan petani dan perajin independen yang meliputi seluruh dunia, [bahkan] termasuk sebagian besar wilayah Eropa (When volume 1 of Capital was first published, capitalist industry, though predominant in a few Western European countries, still appeared as an isolated island encircled by a sea of independent farmers and handicraftsmen which covered the whole world, including the greater part even of Europe”.
Sebagai teks, Das Kapital bukanlah karya sekali jadi. Buku ini merupakan proyek akademis selama hampir empat dasawarsa. Mengawali penelitian tahun 1849, Karl Marx baru bisa mulai menuangkannya dalam tulisan tahun 1857. Satu dasawarsa kemudian, persisnya 17 September 1867, edisi perdana Das Kapital baru berhasil terbit. Lamanya proses penulisan buku ini tak aneh. Pasalnya, selain sebagai proyek akademik yang ambisius, sewaktu menyelesaikan manuscript-nya Karl Marx juga menghadapi banyak tantangan non-akademik, seperti persikusi akibat sosok activist-nya dan beberapa pemikirannya yang secara politik dianggap berbahaya. Persikusi ini memaksanya untuk terus berpindah-pindah, dari Berlin ke Paris, Brussels, Cologne, dan akhirnya berlabuh di London. Sampai di London-pun, saat ia fokus penelitian untuk penulisan Das Kapital di British library, aparat Prusia masih saja terus memantaunya. Selain itu, himpitan kemiskinan, rapuhnya kesehatan, plus tragedi keluarga, khususnya kematian anaknya, Edgar, tahun 1855, juga sempat membuatnya terpuruk. Tak ayal, dari 4 volume (buku) Das Kapital, Karl Marx hanya sempat menyaksikan penerbitan volume 1. Pasalnya, ia keburu wafat tahun 1883, hanya berselang dua tahun setelah kematian istrinya–Jenny–tahun 1881. Pasca kematian Marx, Friedrich Engels berupaya mengkompilasi dan mengedit berbagai manuscript-nya yang terserak, dan akhirnya berhasil diterbitkannya menjadi 3 volume Das Kapital berikutnya.
Dari segi substansi, saya memandang teks Das Kapital laiknya sebuah muara dari perjalanan intelektual yang panjang. Keberangkatan perjalanan ini bukanlah penelitian yang dilakukan Marx di British library tahun 1849, tapi lebih awal dari itu sekian tahun. Di setiap persinggahannya, Karl Marx sempat menuangkan hasil renungan pemikirannya. Publikasi hasil kontemplasinya ini, antara lain “Economic and Philosophic Manuscripts of 1844” (1844), yang berisi eksplorasinya tentang tema buruh, alinasi, dan karakter dari karakter potensi manusia; “Wage Labour and Capital” (1847), membahas dinamika upah buruh dalam sistem kapitalis yang bertumpu pada kontemplasinya tentang konsep alinasi; dan “Contribution to the Critique of Political Economy” (1859), berisi argumen yang menjadi landasan kritiknya terhadap Ekonomi-Politik kala itu, termasuk konsepnya yang masyhur tentang commodity fetishism. Semua naskah ini, pada akhirnya, menjadi pilar bangunan tekstual Das Kapital.
Publikasi Karl Marx atas berbagai pemikirannya di atas, telah melambungkan namanya di seantero Eropa. Sosok activist-nya dan profesinya sebagai jurnalis ikut pula berkontribusi dalam penyebaran pemikirannya. Pasalnya, Marx sering mendapatkan panggung, baik untuk menjadi pembicara, menulis dan menerbitkan tulisan, serta mendebat banyak pemikir politik lainnya. Pemikirannya mulai merambah publik Amerika Serikat ketika ia menjadi koresponden New-York Daily Tribune untuk Eropa. Bahkan, sebuah untold story yang sekian lama tak terpublikasikan, akhirnya terkuak. Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-XVI, ternyata mengenal dan pengagum berat Karl Marx. Keduanya bahkan sempat saling berkirim surat. Yang menarik, seperti dilansir Washington Post (27/7/2019), tahun 1861 Lincoln menulis surat panjang ke Congress Amerika Serikat, yang akhirnya menjadi naskah pidato kenegaraan (the State Union Speech)-nya. Nukilannya yang terkenal: “Buruh [eksistensinya] mendahului dan tidak tergantung pada kapital (labor is prior to and independent of capital)”, tegas sang Presiden; dan, “kapital hanyalah buah [kerja] dari buruh, dan tidak akan pernah ada jika tidak ada buruh terlebih dahulu. Buruh lebih unggul daripada kapital, dan layak untuk mendapatkan penilaian yang lebih tinggi (capital is only the fruit of labour, and could never have existed if labour had not first existed. Labour is the superior of capital, and deserves much the higher consideration”, lanjutnya.
Penegasan Abraham Lincoln di atas jelas senada dengan semangat emansipatoris yang diusung Karl Marx dalam bukunya Das Kapital. Memang terkesan agak aneh, dua tokoh yang tinggal berjauhan, apalagi kala itu transportasi dan tehnologi komunikasi belum se-modern sekarang, bisa melakukan perjumpaan pemikiran. Tapi, beberapa argumen persuasif bisa disodorkan untuk menjelaskan. Pertama, dua tokoh ini memang hidup dalam era yang sama. Kedua, yang lebih penting, mereka sama-sama punya sikap anti-perbudakan. Cuma bedanya, Lincoln berkomitmen memberantas perbudakan ‘primitif’, sedangkan Marx berobsesi untuk menghapus perbudakan ‘modern’. Ketiga, seperti diungkapkan sejarahwan John Nichols (Benyamin: 2021); partai Republik, partai di mana Lincoln bernaung sejak tahun 1856, di masa-masa awal pendiriannya memang tak jarang mengadopsi elemen ‘red streak’ (sosialis), dengan platform politik yang cenderung radikal.
Selama lebih dari 150 tahun perjalanannya sejak penerbitan perdananya, Das Kapital menghadapi banyak kritikan maupun pujian. Bahkan, pemikiran Kal Marx di dalamnya sempat divonis telah ‘usang’, menyusul kebangkrutan sistem Komunis di Uni-Soviet dan negara-negara Eropa Timur. Dalam setiap perdebatan tentang topik ini, saya selalu membedakan Marxism sebagai political ideology dengan istilah Marxian sebagai scientific perspective. Keduanya memang bisa dipilahkan meski tak bisa dipisahkan. Argumennya, Marxism memang dibangun bertitik tolak dari kritik perspektif Marxian terhadap kapitalisme. Tapi, orang sering lupa, bahkan mungkin alpa; bahwa yang bangkrut sebenarnya adalah Marxism sebagai political ideology; sedangkan Marxian sebagai scientific perspective tetap fungsional sebagai salah satu paradigma dalam teori Sosial. Sampai kini, perspektif Marxian, termasuk Das Kapital, secara akademik masih bermanfaat setidaknya dengan dua alasan. Pertama, perspektif ini menyediakan framework untuk memahami karakter penting kapitalisme dalam berbagai bentuknya. Kedua, perspektif Marxian juga menyediakan kritik tajam terhadap sistem kapitalisme, khususnya tentang proses dehumanisasi yang inheren didalamnya, seperti alinasi, eksploitasi, dan ketimpangan sosial-ekonomi.
Apakah Marxism sebagai ideologi politik sudah mati? Saya berpandangan: “Tidak!”. Argumennya, laiknya sebuah gagasan, ideologi tak akan pernah mati. Sekali dicetuskan, sebuah ideologi akan tetap eksis. Alasannya, sebagai sebuah gagasan, ideologi tak bisa dibunuh. Metaforanya, Marxism seperti sebulir benih. Jika ia jatuh di tanah yang subur, maka ia akan tumbuh dan berkembang. Bagaimana mencegahnya? Jangan sampai menyediakan lahan yang subur yang memungkinkannya untuk tumbuh dan berkembang. Caranya, dengan membangun lanskap sosial, ekonomi, dan politik yang berkeadilan. Dalam kaitan upaya ini, Das Kapital telah menyediakan kritik sosial-ekonomi yang bisa untuk direnungkan sekaligus didiskusikan … Wallahua’lam. (Bersambung).
Advertisement