Das Kapital (1)
Oleh:
Himawan Bayu Patriadi, PhD
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember.
Belum genap jam 6 pagi, WAG dosen Program Doktor FISIP, Universitas Jember; dibangunkan oleh postingan yang berat. Seorang kolega mengirim epub bertajuk “Tentang Das Kapital Marx”, karya Friedrich Engels yang judul aslinya: On Marx’s Capital. Penerjemahnya, Oey Hay Djoen, seorang penulis sekaligus sosok yang rajin menerjemahkan karya publikasi beraliran kiri. Dalam konteks akademik, sang kolega juga menekankan: “Mestinya kelas Teori Sosial Klasik dan Modern [di program Doktor] menjadikan buku [ini] sebagai [salah satu] referensi. Kalau Das Kapital terlalu berat kayaknya”. Alasannya, pemikiran Karl Marx yang tertuang dalam Das Kapital merupakan salah satu fondasi ilmu Sosial. “[Das Kapital telah ikut] membentuk ilmu Sosial dan Humaniora masa kini [kontemporer]”, tegasnya.
Postingan di atas bak menu sarapan pagi. Apalagi, pengantar sang kolega bernada menyuguhkan. “Ini ringkasan Das Kapital, karya terbesar Karl Marx. Selamat menikmati!”, ujarnya. Tapi, setelah sekilas menelaahnya, saya lebih suka melihat karya Friedrich Engels tersebut sebagai tafsiran dari pada sebuah ringkasan. Pasalnya, di dalamnya Engels sering merajut narasi sendiri meski substansinya mencerminkan pemikiran Karl Marx. Walaupun demikian, karya Engels ini secara akademik tetap kredibel dengan dua alasan. Pertama, penulisnya adalah sohib Karl Marx terdekat sekaligus academic collaborator-nya selama tak kurang dari 40 tahun. Selain itu, penerjemahnya-pun juga orang yang fasih dalam mengunyah pemikiran Marx dan telah banyak menerjemahkan karya-karya filsafat, sejarah, dan ekonomi-politik.
Kala menerima postingan karya Engels di atas, reaksi awal saya adalah gumam. Terlintas dalam benak: “Betapa termanjakannya dunia akademik kini dengan kemudahan akses literatur, tak terkecuali referensi dari aliran kiri!”. Kondisi ini jelas bertolak belakang dengan situasi di masa orde Baru. Saya ikut merasakannya, karena dalam penggal waktunya masih kuliah sarjana (S1) di FISIPOL–UGM, Jogyakarta.
Menyangkut Das Kapital ini, dua kenangan selalu menghiasi memori. Pertama, cerita yang berkaitan dengan Gus Dur. Seorang kawan yang baru lulus dari Sosiologi, yang kembali dari Jakarta, cerita tentang keberhasilannya. Ia baru saja sukses menyelenggarakan “Simposium Filsafat Sosial”, semacam seminar berbayar guna menggali sekaligus mengkritisi pemikiran sosial dari berbagai perspektif. Pematerinya beragam, sekaligus ahli dalam bidang yang dipresentasikannya. Salah satunya, Gus Dur. Tapi, yang mengagetkan saya, beliau mengisi materi yang membahas pemikiran Marxist. Saya-pun tertegun sejenak. Sang kawan itu-pun segera berupaya mengikis keheranan saya dengan caranya. Sambil terkekeh ia berkata dengan gaya retoris: “Memangnya kamu pikir Gus Dur hanya khatam Qur’an? Tahu nggak, sejak SMP Gus Dur itu sudah akrab dengan karya-karya besar filsafat dan politik, termasuk membaca Das Kapital!". Sejak itu, saya semakin faham luasnya literasi Gus Dur. Selain kapasitas intelektualnya, status keluarganya beserta iklim keilmuan di dalamnya, plus semangat jaman (zeitgeist) pada waktu itu (orde Lama); nampaknya telah memungkinkan Gus Dur, dalam usianya yang masih belia, mampu mengakses dan menguasai berbagai literatur Barat yang berat, seperti Das Kapital.
Kedua, keistimewaan yang dimiliki Gus Dur, umumnya tak bisa dinikmati oleh mahasiswa di masa orde Baru. Masih segar dalam ingatan, ketika menjadi mahasiswa sarjana (S1); bisa mendapatkan buku asli yang berbau “kiri” adalah sebuah kemewahan. Pasalnya, di bawah rejim orde Baru buku jenis ini dilarang beredar alias dibreidel. Untungnya, di perpustakaan FISIPOL–UGM masih tersisa buku-buku klasik yang secara terserak memuat artikel, setidaknya nukilan, pemikiran sosial-politik klasik. Dua bunga rampai karya William Ebenstein, Great Political Thinkers: From Aristoteles to the Present (1960) dan Modern Political Thought: The Great Issues (1960), misalnya, telah membantu referensi untuk sedikit memahami berbagai pemikiran sosial-politik dari Karl Marx. Tapi, untuk buku teks asli, seperti Das Kapital (Karl Marx) atau Madilog (Tan Malaka) sangat susah didapatkan. Akibatnya, tak sedikit mahasiswa yang tak lebih dari sekedar menjadi “kader kuping”, meminjam istilah Oey Hay Djoen; yakni gambaran tentang sosok “yang gemar mengutip tanpa pernah membaca teks aslinya!”.
Namun, mungkin sudah suratan bahwa yang dilarang justru memicu rasa penasaran. Tak pelak, tak sedikit mahasiswa, khususnya para aktivis dan anggota kelompok diskusi mahasiswa, yang kala itu menjamur di UGM, selalu memburu foto copy buku-buku kiri yang dilarang beredar tersebut. Saya sedikit beruntung. Pasalnya, seorang sahabat yang kuliah di Fakultas Filsafat, jurusan Filsafat Barat; memiliki buku teks asli Das Kapital edisi bahasa Inggris. Entah bagaimana ia bisa mendapatkannya. Yang jelas, sadar akan nilai ‘kemewahan’ bukunya itu, ia menetapkan aturan tegas: “Tak boleh dipinjam, hanya bisa baca di kontrakannya saja!”. Sejak itulah saya bisa melakukan perjumpaan langsung teks asli Das Kapital, meski dalam versi bahasa Inggris.
Sekian kali baca teks asli Das Kapital, tak langsung mengerti. Ada beberapa sebab di balik kesulitan saya ini. Pertama, keterbatasan dalam bahasa Inggris. Sebagai mahasiswa S1 kala itu, sudah jamak bahasa Inggris merupakan salah satu tantangan utama. Penguasaan bahasa Inggris relatif terbatas, sekedar hasil dari materi kuliah dan pengembangan pribadi. Nihilnya kemampuan keuangan menghambat untuk mengambil kursus, apalagi kelas privat. Kedua, tebalnya teks Das Kapital, yang lebih dari 1000 halaman, memerlukan daya baca yang tangguh. Terdiri dari 3 buku (volume), 33 chapter, plus appendix-nya; tak mengherankan bila Das Kapital ditahbiskan sebagai salah satu buku teks terpanjang. Ketiga, substansinya juga tidak mudah difahami. Bahkan, terdapat bagian yang rumit, khususnya Part One tentang “Commodities and Money”. Pasalnya, di bagian ini banyak menjelaskan logika ekonomi beserta postulat dan rumusnya. Apalagi, elaborasi Karl Marx juga tak jarang menggunakan narasi filosofis. Maklum, seperti dilansir oleh Nicolaievsky dan Maenchen-Helfen (1976); sebagai penggemar filsafat, Marx percaya pada prinsip bahwa “tanpa filsafat, tak ada [permasalahan] yang bisa dituntaskan” (without philosophy nothing could be accomplished).
Dalam konteks hambatan dalam memahami Das Kapital di atas, khususnya kesulitan dalam point tiga, postingan sang kolega tentang terjemahan dari tafsiran Friedrich Engels, On Marx’s Capital, yang terdiri 147 halaman; merupakan teks akademik yang bisa membantu. Tapi, terjemahan tafsir ini pun tak otomatis membuat semuanya jadi mudah. Kolega dosen yang lain masih juga mengkomentari dengan pilihan diksi yang mirip dengan nama si penafsir: “Angel [sulit dicerna]!”. Saya memaklumi keluhan semacam ini. Pasalnya, Karl Marx sendiri juga mengakui kesulitan ini. Dalam Preface dari buku Das Kapital edisi pertama yang ditulisnya di London, 25 Juli 1867, ia berterus terang dengan menegaskan: “Masa-masa awal selalu sulit dalam semua ilmu. Oleh karena itu, memahami chapter pertama, terutama yang menganalisis komoditas, merupakan bagian yang tersulit. [Oleh karena itu] saya telah [berupaya] menjelaskan bagian-bagian tentang substansi nilai dan besarnya nilai [ini] sesering mungkin”. (Beginnings are always difficult in all sciences. The understanding of the first chapter, especially the section that contains the analysis of commodities, will therefore present the greatest difficulty. I have popularized the passages concerning the substance of value and the magnitude of value as much as possible).
Bahkan, penegasan Karl Marx di atas bukan sebatas pengakuan. Bertitik tolak dari saran dan kritik yang diterimanya, ia melanjutkannya dengan perbaikan dan penyempurnaan teks Das Kapital. Dalam Postface edisi bahasa Perancis, yang ditulisnya di London, 18 Agustus 1872; ia juga menggarisbawahi upayanya guna membantu mempermudah pemahaman pembaca: “Setelah melakukan pekerjaan revisi ini, saya terdorong untuk menerapkannya juga pada teks asli dasar (edisi Jerman kedua), untuk menyederhanakan beberapa argumen, melengkapi yang lain, memberikan materi historis atau statistik tambahan, [dan] menambahkan saran-saran kritis, dll.” (Having once undertaken this work of revision, I was led to apply it also to the basic original text (the second German edition), to simplify some arguments, to complete others, to give additional historical or statistical material, to add critical suggestions, etc.). Memang, untuk memahami buku “Babon” (induk) ilmu Sosial, semacam Das Kapital, tidak hanya memerlukan gairah akademik (academic passion) yang tinggi, tetapi juga menuntut stamina baca yang kuat. Wallahua’alam (Bersambung).
Advertisement