Tiga Krisis Sejarah Peradaban Islam, di Konferensi PCINU Belanda
Konferensi internasional yang digelar Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Belanda tahun 2021, mengangkat tema krisis kaitannya dengan sejarah peradaban Islam. Cendekiawan Muslim, Ulil Abshar Abdalla, menjadi pembicara kunci dalam forum yang resmi dibuka pada Senin 23 Agustus 2021.
Konferensi internasional dua tahunan PCINU Belanda tahun ini menapaki gelaran yang ke-3. Kali ini, mengangkat tema khusus di tengah pandemi Covid-19, yaitu ‘Reimagining Religion in the Time of Crisis’.
Setelah edisi pertama sukses digelar di kota Amsterdam bekerjasama dengan Vrije University (2017) mempromosikan tema ‘Islam Nusantara’ ke ranah global, dan yang ke-2 di kota Nijmegen bekerjasama dengan Radboud University (2019) mengusung tema ‘Al Wasatiyya Islam’.
Sambutas Dubes RI di Belanda
Duta Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda, Mayerfas membuka konferensi yang diikuti oleh lebih dari tiga puluh presenter dari beragam latar belakang dan disiplin ilmu.
Dalam pembukaannya Mayerfas menyebutkan bahwa prakarsa yang dilakukan oleh PCINU Belanda ini merupakan upaya penting yang dilakukan oleh organisasi Muslim terbesar di Indonesia dalam berkontribusi mengampanyekan moderasi beragama.
Setelah dibuka, pembicara kunci dalam konferensi ini Ulil Abshar Abdalla memberikan pemaparan selama lebih kurang 45 menit. Dalam paparannya Ulil menggarisbawahi tema krisis kaitannya dengan sejarah peradaban Islam.
Ulil Soroti Tiga Krisis Sejarah Peradaban Islam
1. Kontinyuitas Sejarah Islam
Pijakan utama yang harus dipahami adalah kenyataan bahwa peradaban Islam juga mengalami apa yang ia sebut dengan continuous history of Islam, yaitu sejak tahun pertama peristiwa Hijrah Nabi Muhammad hingga menjelang berkuasanya kekuatan kolonial Eropa ke ‘Muslim land’.
Pada periode tersebut, menurutnya, “syariah was the ultimate governing legal body that plays a very important role in the Muslims’ life” (Syariah adalah badan hukum pengatur tertinggi yang memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam).
Selama kurang lebih 13 abad, kaum Muslim, terutama di jazirah Arab dan Afrika utara secara homogen menggunakan Syariah Islam sebagai komponen utama dalam tatakelola berkeluarga dan bermasyarakat. Perubahan mendasar yang secara bertahap menggeser tradisi homogen tersebut ditandai dengan datangnya Napoleon Bonaparte ke Mesir pada tanggal 1 Juli 1798.
"Inilah momentum awal dimana Islam mengalami krisis, terutama dengan dikenalkannya ide-ide baru yang berasal khazahan struktur dan sistem politik serta tata kelola masyarakat di Eropa," tutur Ulil Abshar Abdalla, pengampu Pengajian Kitab Ihya Ulumuddin secara online di media sosial.
2. Pengaruh The Napoleon Code
Momentum krisis kedua adalah perubahan dari religious authority ke legal authority yang menandai berkembangnya pengaruh new legal system yang awalnya dikenal dengan the Napoleon Code.
"Krisis ini terus berlanjut hingga hari ini yang ditandai dengan terus-menerusnya muncul gerakan penegakan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan," tutur Gus Ulil.
Umat Islam seluruh dunia hari ini dihadapkan pada krisis otoritas dan pertanyaan paling mendasar: “who is authorized or has an authoritative voice to speak about Islam and on behalf of Muslims?” Dengan kata lain: “who represents Muslim today?” (siapa yang mewakili Muslim hari ini?) sangat sulit ditemukan jawaban konseptual, legal, maupun faktualnya.
Dan penting dicatat, kelompok Islam paling aktif dan ‘autoritatif’ secara online di dunia maya dari seluruh dunia adalah gerakan Salafi. Secara de facto, jika kita berselancar di internet untuk bertanya tentang Islam, jangan kaget jika merekalah yang memiliki jawaban paling lengkap dalam seluruh bahasa dari seluruh pertanyaan yang diajukan. Artinya, inilah krisis umat Islam paling nyata hari ini.
3. Kelangkaan Tradisi Intelektual Dasar
Krisis ketiga adalah, menurut Ulil, “the exclusion of philosophy and theology in Islamic education system” (Penanggalan Filsafat dan Teologi dalam Sistem Pendidikan Islam). Dan oleh karena ini, umat Muslim menghadapi apa yang ia sebut sebagai “the scarcity of basic intellectual tradition” (kelangkaan tradisi intelektual dasar), terutama dengan masifnya kecenderungan umat Muslim di seluruh dunia yang hanya memilih tradisi intelektual tertentu berdasarkan warisan masa lalu, dan pada saat yang sama meng-eksklusi tradisi-tradisi intelektual lain, terutama yang berasal dari Barat.
Tradisi filosofis dan teologis Islam yang teramat kaya dan masyhur di masa lalu namun hari ini terdistorsi oleh, misalnya, dominasi fiqih Islam yang hanya berbasis Halal-Haram, harus dihidupkan kembali dan terus ditumbuhkan untuk generasi Millenial. Dan konferensi internasional PCINU Belanda ini, Ulil berharap, bisa menjadi oasenya.
Usai pidato kunci, kegiatan dilanjutkan dengan presentasi para panelis yang dibagi menjadi enam panel. Meski presentasi dilaksanakan secara paralel, rupanya peserta tetap antusias mengikuti hingga selesai acara. Bahkan tidak jarang peserta meminta agar diskusi panel bisa diperpanjang waktunya mengingat materi-materi yang disampaikan para presenter begitu memikat.
“Kami memberikan ruang bagi para presenter untuk bisa memaparkan materinya pada acara pembukaan agar publik khususnya masyarakat Indonesia bisa menikmatinya tanpa harus mengikuti secara penuh kegiatan konferensi selama satu minggu ke depan,” kata Wakil Ketua PCINU Belanda, Yus Sa’diyah Broersma.
Antusiasme Peserta
Konferensi ini digelar secara daring melalui platform zoom meeting dimana pada saat acara pembukaan dihadiri lebih dari 150 orang.
Pengurus PCINU Belanda Ayu Swaningrum yang juga merupakan kandidat doktor dari Universitas Leiden menjadi pemandu acara ini.
"Besarnya perhatian publik juga terlihat dari banyaknya penonton yang mengikuti melalui siaran langsung maupun siaran tunda pada beberapa kanal media NU di Indonesia," tuturnya.
Gus Yahya dan Generasi Nahdliyin
Acara pembukaan konferensi internasional ini ditutup oleh pemaparan dari Katib Aam Syuriah PBNU KH Yahya Cholil Staquf.
Dalam pemaparannya, Gus Yahya menyebutkan bahwa sejak dua tahun lalu, ia telah berkomitmen untuk mendukung penuh konferensi yang diadakan oleh PCINU Belanda.
"Kegiatan semacam ini merupakan ikhtiar yang sejalan dengan perjuangannya dalam mewujudkan tata dunia yang baru berdasarkan nilai-nilai humanitarian dan etika universal," tutur Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibiin, Rembang, Jawa Tengah.
Gus Yahya mengingatkan, situasi dunia sedang tidak baik-baik saja. Seperti dalam tema utama yang diangkat dalam konferensi ini yakni bagaimana membayangkan peran agama dalam dunia yang sedang krisis seperti yang kita hadapi saat ini.
Krisis tersebut tidak hanya dalam bentuk pandemic Covid-19 saja melainkan juga krisis multidimensional. Diperlukan visi besar yang melampaui berbagai krisis yang terjadi tersebut.
Salah satu yang kerap disampaikan oleh Gus Yahya adalah visi untuk mencapai tata dunia yang harmonis dan berkeadilan. Forum-forum internasional seperti konferensi ini sekali lagi bisa menjadi ajang untuk mempertajam cita-cita tersebut.
“Apa yang disampaikan oleh Gus Ulil maupun Gus Yahya menjadi pemantik bagi para presenter untuk bisa berkontribusi lebih besar pada kegiatan selama seminggu ke depan.” tambah Yus yang juga merupakan Ketua Panitia Konferensi dua tahun lalu.
“Kami berterima kasih atas dukungan berbagai institusi antara lain Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Netherlands-Indonesia Consortium for Christian Muslim Relations (NICMCR), dan Nuffic-Neso NL Alumni Network Indonesia hingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan sukses.” tutur Yus mengakhiri.
Advertisement