Sholat dalam Kendaraan saat Perjalanan, Tiga Pilihan Meringankan

Saya pernah naik kapal besar dari Semarang ke Pontianak, Lawit namanya. Juga dari Surabaya ke Pontianak, seingat saya namanya Bukit Raya. Sudah dilengkapi dengan tempat sholat yang luas, tempat bersuci juga memadai, ada kompas saat kapal berubah haluan yang menyebabkan pergeseran arah kiblat, dan paling utama ada takmirnya yang memberi tahu dan memandu para penumpang yang akan sholat.

Di kapal semua sepakat. Tidak ada masalah. Bagaimana dengan kendaraan lain, seperti kereta api saat ini? Sejak saya naik kereta api zaman desak-desakan sampai ada suara kokok ayam dari bawah kursi belum bisa melakukan shalat secara sempurna.

Di samping itu kalau jaraknya pendek saya shalat di musala stasiun. Kalau jaraknya jauh saya salat jamak di waktu salat pertama (taqdim) atau akhir (ta'khir). Dulu kereta api tidak menyediakan ruang shalat. Kereta pun berganti arah sesuai rel.

Shalat Sunah

Kondisi kereta api zaman dulu masih mirip dengan kendaraan menggunakan hewan di zaman Nabi. Tidak memungkinkan berdiri dan menghadap kiblat secara sempurna. Dalam kondisi seperti ini Nabi tidak pernah melakukan shalat wajib di atas kendaraan, melainkan shalat sunah saja.

Seperti hadis yang dikutip oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar:

ﻭﻷﺑﻲ ﺩاﻭﺩ: ﻣﻦ ﺣﺪﻳﺚ ﺃﻧﺲ: ﻛﺎﻥ ﺇﺫا ﺳﺎﻓﺮ ﻓﺄﺭاﺩ ﺃﻥ ﻳﺘﻄﻮﻉ اﺳﺘﻘﺒﻞ ﺑﻨﺎﻗﺘﻪ اﻟﻘﺒﻠﺔ, ﻓﻜﺒﺮ, ﺛﻢ ﺻﻠﻰ ﺣﻴﺚ ﻛﺎﻥ ﻭﺟﻪ ﺭﻛﺎﺑﻪ.

Riwayat Abu Dawud dari Anas bahwa jika Nabi bepergian dan hendak melakukan SALAT SUNAH maka unta dihadapkan ke kiblat, kemudian Nabi salat kemanapun kendaraannya menghadap (Bulughul Maram)

Bagaimana dengan kereta api saat ini yang sudah ada musala? Kalau saya sepertinya belum bisa. Pasalnya saya sering naik kereta di toiletnya meragukan kesuciannya, air minim, percikan kanan kiri dinding dan sebagainya. Kalau memang kondisi waktu salat hampir habis dan tidak nutut ke tujuan, pakaian suci, wudu terpenuhi, kiblat dapat diketahui dan memungkinkan untuk salat, maka sah-sah saja.

Namun jika ada yang belum melakukan salat di kereta api jangan dikira meninggalkan salat. Sebab keadaan ragu pada najis, pakaian juga najis, keterbatasan air dan lainnya, para ulama 4 mazhab berbeda pendapat.

Tiga Langkah

Seperti yang dijelaskan oleh Syekh Ash-Shawi dari Mazhab Maliki dalam kitab Syarah Ash-Shaghir, 1/346:

وَقِيلَ : يُؤَدِّيهَا بِلَا طَهَارَةٍ وَلَا يَقْضِي . وَقِيلَ : يَقْضِي وَلَا يُؤَدِّي . وَقِيلَ : يُؤَدِّي وَيَقْضِي .

1. Melaksanakan shalat tanpa bersuci dan tidak wajib mengulang

2. Wajib meng-qadla’ dan tidak shalat di awal waktu (Mazhab Hanafi)

3. Melakukan shalat di waktu shalat --dengan cara lihurmatil waqti-- dan wajib qadla’ (Mazhab Syafi'i)

Kalau memang terasa sulit karena keadaan tidak memungkinkan maka boleh memilih pendapat Mazhab Hanafi di atas. Sebagaimana sikap Nabi, seperti yang disampaikan oleh Aisyah:

ﻣﺎ ﺧﻴﺮ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺑﻴﻦ ﺃﻣﺮﻳﻦ ﻗﻂ ﺇﻻ ﺃﺧﺬ ﺃﻳﺴﺮﻫﻤﺎ، ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﺇﺛﻤﺎ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﺇﺛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺃﺑﻌﺪ اﻟﻨﺎﺱ ﻣﻨﻪ

Tidaklah Nabi shalallahu alaihi wasallam diberi pilihan di antara 2 hal, kecuali Nabi mengambil yang paling ringan, selama bukan dosa. Kalau berupa dosa maka Nabi adalah manusia yang paling menjauhinya (HR Bukhari)

Dan seperti dijelaskan di atas masalah ini bukan tergolong mujma' alaih (konsensus ulama), tapi masalah khilafiyah. Bagi mereka yang tetap salat di musala kereta api boleh jadi mengambil opsi kehati-hatian.

Wallahu a'lam. (Kiai Muhammad Ma'ruf Khozin, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jawa Timur).