Panti Asuhan Ilegal Milik Pelaku Pencabulan Anak di Surabaya Pernah Jadi Klinik Aborsi
Tempat penampungan anak, yang sebelumnya disebut-sebut sebagai panti asuhan dan menjadi lokasi pencabulan oleh pemiliknya, NK terhadap anak-anak asuhnya di Kecamatan Gubeng, Kota Surabaya, diketahui sempat berstatus sebagai klinik bersalin dan menjalankan praktik aborsi ilegal pada tahun 2022.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Kota Surabaya Anna Fajriatin mengatakan, praktik aborsi ilegal tersebut sempat terkuak dua tahun silam. Kemudian izin sebagai klinik bersalin dicabut, dan tidak pernah sekalipun tempat penampungan itu berstatus sebagai panti asuhan.
“Bukan izin sebagai panti asuhan, tetapi izin klinik bersalin. Kemudian waktu itu (tahun 2022) di situ muncul kasus aborsi, dan sudah ditangani polisi,” terang Anna.
Ia juga menyampaikan, sebelum kasus kekerasan seksual tersebut terungkap oleh kepolisian, Anna mengakui pihaknya sempat menyarankan NK untuk mengurus izin Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS). Sebabnya, lokasi rumah bekas klinik bersalin itu difungsikan sebagai penampungan anak.
“Kami sudah mengingkatkan kepada NK, supaya datang ke kantor Dinsos, tapi tidak datang-datang serta kami sudah dua kali memperingatkan,” tegasnya.
Anna pun mengungkapkan, selama ini memang tidak ada aktivitas mencurigakan di dalam tempat tersebut. Dinsos pun tidak bisa mendeteksi perilaku yang dilakukan pria lanjut usia itu terhadap anak asuhnya.
“Bagi warga yang mengetahui ada yang kurang pas atau sesuatu yang mencurigakan di masyarakat, tolong laporkan kepada kami,” pungkasnya.
Seperti diberitakan Ngopibareng.id sebelumnya, Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur resmi menetapkan pemilik panti asuhan Budi Kencana, NK, warga Surabaya, sebagai tersangka kasus kekerasan seksual terhadap anak asuhnya.
Direktur Ditreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol Farman mengatakan, aksi tersebut sudah dilakukan pria 61 tahun itu sejak 2022, sampai terakhir yang dilaporkan pada 20 Januari 2025.
Farman mengatakan, awalnya panti asuhan tersebut dikelola tersangka bersama sang istri. Namun, Februari 2022, istrinya mengajukan cerai karena sering mengalami kekerasan secara verbal dan psikis dari tersangka.
Setelah itu, tersangka kemudian melakukan aksinya tidur sekamar dengan anak asuhnya yang berjenis kelamin perempuan
"Pada malam harinya ketika korban tidur, kemudian dibangunkan, lalu diajak ke kamar kosong. Selanjutnya tersangka melakukan persetubuhan dengan korban," ungkap Farman di Mapolda Jatim, Surabaya, Senin 3 Februari 2025.
Dari hasil pendalaman, mantan Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya itu menjelaskan, aksi tersebut dilakukan berulang hingga 20 Januari 2025.
Sementara itu, Kasubdit IV Renakta Ditreskrimum Polda Jatim AKBP Ali Purnomo mengatakan, bahwa dalam melakukan aksinya pelaku melakukan ancaman secara psikis. Hanya saja, ia tidak menjelaskan secara rinci bentuk ancamannya.
"Ancamannya psikis karena memang para korban sejak lahir dia dari masyarakat miskin kemudian diadopsi sejak lahir sehingga seperti keluarga sendiri. Dilakukan bujuk rayu sehingga terjadi perbuatan itu," ujar Ali.
Terkait dengan jangka waktu aksi selama tiga tahun. Ali mengatakan, aksi itu dilakukan secara berulang. "Berulang sejak 2022 sampai 20 Januari 2025, eskalasi 1 bulan bisa 2-3 kali, tapi pernah dari korban pernah seminggu melakukan setiap harinya. Sehingga kenapa korban berani melapor, karena dia tidak kuat lagi menahan beban itu," pungkasnya. Untuk itu, saat itu sudah diamankan dan ditempatkan di shelter Dinas Sosial.
Terkait itu, Ali masih melakukan pendataan terhadap anak-anak lain apakah turut menjadi korban apa tidak. Sebab, di dalam panti itu awalnya ada lima orang, namun karena kejadian itu ada dua yang sudah kabur.
Dalam kasus ini, pihaknya mengamankan sejumlah berang bukti berupa selembar fotocopy legalisir Kartu Keluarga, selembar fotocopy legalisir Akta Kelahiran korban, satu buah miniset hitam milik korban, dan satu buah celana dalam korban.
Atas tindakannya, pelaku dijerat dengan Pasal 81 jucto Pasal 76 D dan atau Pasal 82 juncto Pasal 76 E Undang-Undang (UU) RI nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU RI nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan atau Pasal 6 (b) UU nomor 12 tahun 2022 tentang tidak Pidana Kekerasan Seksual dengan ancaman minimal 5 tahun atau maksimal 15 tahun penjara.
Advertisement