Menjaga Hati Petani Agar Tak Setor Tebu ke Pabrik Gula Lain

Ekonomi dan Bisnis

Jumat, 03 Februari 2023 14:00 WIB

Pagar besi depan pabrik tertutup rapat pagi itu. Sesekali sepeda motor keluar masuk lewat pintu yang lebih kecil melewati pos jaga depan sekuriti. Meski pabrik, namun hari itu tak ada asap membumbung yang menandakan sedang ada proses produksi.

Januari memang bukan masa Pabrik Gula Tjoekir Jombang untuk melakukan produksi. Biasanya pabrik gula yang didirikan pada 1884 ini baru akan produksi gula antara Juni sampai Oktober setiap tahunnya. Pabrik akan produksi gula sekitar 130-140 hari. Menyesuaikan masa panen petani yang dilakukan sekitar bulan-bulan itu. Selebihnya, mesin pabrik akan tak beroperasi. Karyawan bagian teknik biasanya yang akan melakukan perawatan. Memastikan agar mesin tetap beroperasi maksimal pada masa produksi.

Pabrik gula memang berbeda dengan pabrik manufaktur lainnya yang bisa terus berproduksi 1x24 jam penuh. Pabrik gula sangat bergantung pada pasokan bahan baku tebu. Satu sisi, tanaman tebu adalah tanaman semusim. Baru bisa dipanen setelah 12 bulan masa tanam. Kondisi yang seperti ini adalah hal biasa bagi pabrik gula di mana pun.

"Budidaya tebu memang tanaman semusim. Pabrik gula seluruh dunia misalnya di Brazil, India, Australia juga seperti ini. Enam bulan biasanya mereka selesai produksi," kata Abdul Azis Purmali General Manager Pabrik Gula Tjoekir Jombang kepada Ngopibareng dalam sebuah kesempatan.

 Abdul Azis Purmali General Manager Pabrik Gula Tjoekir Jombang. Salah satu tugasnya menjaga pasokan tebu agar aman saat masuki musim giling. (Foto: Amir Tejo/Ngopibareng.id)
Abdul Azis Purmali General Manager Pabrik Gula Tjoekir Jombang. Salah satu tugasnya menjaga pasokan tebu agar aman saat masuki musim giling. (Foto: Amir Tejo/Ngopibareng.id)

Azis pun mengibaratkan pabrik gula seperti mulut yang terbuka lebar. Siap menelan tebu yang disetorkan oleh petani. Namun sayang, antara supply tebu dari petani dengan demand yang dibutuhkan pabrik gula belum imbang. Masih lebih besar demand dibandingkan dengan supply dari petani.

Soal menjaga pasokan tebu biar aman saat masuk masa produksi atau musim giling ini memang menjadi tantangan. Apalagi Pabrik Gula Tjoekir lokasinya berdekatan dengan pabrik gula plat merah lain dan pabrik gula milik swasta. Pabrik Gula Tjoekir ini dikepung oleh dua pabrik gula swasta besar yaitu Pabrik Gula Kebun Tebu Mas dan Rejoso Manis Indo. Manajemen Pabrik Gula Tjoekir pun harus bekerja keras menjaga hati petani jangan sampai berpaling setor panen tebunya ke pabrik gula lain.

Beruntung pada saat masih di bawah naungan PTPN X mengambil keputusan strategis. Tuhu Bangun sebagai Direktur Utamanya berpikir cepat melakukan penyesuaian iklim persaingan dengan pabrik gula swasta. Penyesuaian yang dilakukan itu adalah dengan ikut memberikan pilihan dengan menerapkan sistem beli putus tebu kepada petani.

Dua pabrik gula swasta ini sebelumnya juga sudah menerapkan beli dengan sistem putus. Petani menerima cash and carry. Petani menganggap sistem cash and carry lebih menguntungkan karena lebih cepat dapat uang.

"Karena polanya seperti itu, kita harus adaptif dengan perubahan. Pak Tuhu juga berusaha mengikuti ritme yang seperti itu. Tapi tetap saja berbasis cost and benefits. Tak asal beli. Duitnya dari mana? Biar perusahaan induk yang mengusahakan," kata Azis.

Asal tahu saja, dalam pembelian tebu dari petani, dua pilihan. Pilihan pertama dengan Sistem Pembelian Tebu (SPT). Dalam sistem ini petani tinggal menyetorkan tebu ke pabrik gula lalu ditimbang. Harga menyesuaikan bobot dan kualitas tebu yang disetorkan misalnya tingkat kemanisan, kebersihan dan kesegaran tebu.

Pilihan kedua berdasarkan Sistem Bagi Hasil (SBH). Dengan sistem ini, pabrik gula ibarat tukang selep padi. Tebu yang disetorkan oleh petani tebu ditimbang, dicek rendeman kemudian diolah menjadi gula. Gula yang sudah jadi itu kemudian dibagi dua. Yaitu milik petani sebesar 66 persen dan milik pabrik gula 34 persen. Bisa dikatakan jatah 34 persen ini sebagai jasa pengganti penggilingan tebu milik petani menjadi gula.

Misalnya, petani menyerahkan 100kg tebu kepada pabrik gula dengan tingkat rendeman 10 persen. Maka dari 100 kg tebu yang disetorkan dengan tingkat rendeman 10 persen ini akan dihasilkan gula seberat 10kg. Gula seberat 10kg ini yang kemudian dibagi dua yaitu 66 persen untuk petani dan 34 persen untuk pabrik gula yang mengolah. Rendeman adalah kadar gula yang terkandung dalam tebu.

Gula milik petani itu, kemudian bisa dijual ke pabrik gula. Atau kalau mau menjajal peruntungan lain, petani bisa menjual gulanya sendiri. Biasanya para petani lewat koperasi akan melakukan lelang gula milik mereka. Petani baru mendapatkan uang setelah gula mereka dibeli oleh pabrik atau lewat lelang. Petani tebu memang harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan uang kalau memakai sistem bagi hasil ini.

Pabrik Gula Tjoekir apabila masuki musim giling, butuh pasokan sekitar 3.800 ton tebu per harinya. Dan ini biasanya dipasok oleh 800-900 petani tebu yang berada di sekitar Pabrik Gula Tjoekir Jombang. Dan jumlah itu harus diamankan agar jangan sampai kekurangan pasokan tebu. Jika sampai kekurangan pasokan tebu maka mesin akan menjadi idle capacity alias mesin menganggur yang akhirnya menyebabkan kerugian. Musim giling 2022 yang lalu Pabrik Gula Tjoekir berhasil membukukan laba sekitar Rp 18 miliar setelah dua tahun berturut-turut sempat mengalami rugi.

Soal menjaga hati petani agar tak berpaling ini, tak hanya dilakukan dengan model pembayaran, tapi juga dengan pendekatan personal. Itu biasanya yang dilakukan oleh Azis selaku General Manager Pabrik Gula Tjoekir Jombang. Dia rajin bersilaturahmi ke para petani tebu. Dengan bersilaturahmi dengan para petani tebu Azis biasanya mendengarkan keluhan dan masukan-masukan mereka.

"Kalau memang ada kesulitan petani yang bisa kita bantu, ya kita bantu," kata Azis yang sebelumnya menjabat General Manager Pabrik Gula Lestari.

Kata dia, dibutuhkan soft skill untuk bisa mengambil hati petani. Tak bisa mentang-mentang jabatannya sebagai general manager lalu memberikan perintah seenaknya kepada petani. Jabatannya memang general manager tapi hadapan petani posisinya duduk sama rendah berdiri sama tinggi.

"Petani tebu adalah stake holder paling utama bagi pabrik gula. Kalau tak ada petani tebu, pabrik gula hanya akan menjadi besi yang teronggok," ujar pria asal Madura ini.

Tim Editor

Amir Tejo

Reporter & Editor

Berita Terkait

Kamis, 25 April 2024 15:14

Pasar Banyuwangi Direvitalisasi, Per 1 Mei Pedagang Direlokasi

Selasa, 23 April 2024 22:35

Bank UMKM Jatim Hadapi Tantangan Perbankan dengan 3 Jurus Jitu

Selasa, 23 April 2024 10:58

Lebaran 2024, KAI Layani 4,39 Juta Penumpang

Minggu, 21 April 2024 13:49

Rupiah Nyaris Tembus Rp17 Ribu Per Dollar, Ini Kata Menkeu

Bagikan Berita :