Memanusiakan Riset Sosial (12)
Oleh: Himawan Bayu Patriadi, PhD
Pertanyaan ringan sempat memicu diskusi berat. Dalam konteks keilmuan, perkembangan semacam ini biasa terjadi. Apalagi, isunya menyangkut masalah teori. Kondisi ini, tengah saya alami. Tapi, saya sangat menikmati.
Awalnya, saya sekadar bertanya ke salah satu kolega pengajar Administrasi Publik di Program Doktoral Ilmu Administrasi (PSDIA): “Pak, apa yang dimaksudkan dengan ‘Grand theory’ dalam disertasi mahasiswa? Apakah yang dimaksudkan sama dengan ‘paradigma’?”. Alasan saya bertanya berangkat dari fakta. Dalam salah satu disertasi terdapat istilah Grand theory, tapi minim narasi. Yang ada hanya penyebutan nama teori. Setidaknya, ada dua kemungkinan. Pertama, mahasiswa kurang bisa menjelaskan. Kedua, mahasiswa memang tak paham. Jika kemungkinan kedua yang benar, maka akan membuat saya gusar. Pasalnya, adalah sebuah ironi, mahasiswa yang meneliti untuk menyusun disertasi–dengan obsesi temuan teoritis (theoretical findings)–tapi tak memahami dunia teori.
Gundah bertambah kala menerima jawaban sang kolega. Tanpa basa-basi, ia menegaskan: “Saya juga gak tahu. Saya gak pernah pakai [istilah] itu ketika bikin tesis maupun disertasi”. Jawabannya ini tidak serta merta berarti ia tak memahami teori. Frase ‘gak pernah pakai [istilah] itu’, mengisyaratkan kemungkinan bahwa ia memakai istilah lain. Maklum, dalam literatur, ilmuwan kadang memakai beberapa istilah yang merujuk pada konsep yang sama. Misal, untuk paradigma, ilmuwan kadang memakai istilah school of thought atau meta-theory. Untuk sudut pandang teoritis, ada ilmuwan yang menggunakan istilah theoretical perspective atau theoretical approach, sedangkan untuk Grand theory ada juga yang menggunakan istilah High theory. Dengan alasan ini, sejak semula, pertanyaan saya sama sekali bukanlah bermaksud untuk menguji, apalagi menghakimi. Tujuan saya hanya sekedar untuk menyamakan pemahaman terhadap suatu pengertian di tengah istilah yang beragam. Alasannya, Kesamaan pemahaman terhadap suatu deskripsi akan meminimalisir distorsi keilmuan.
Jawaban sang kolega, ternyata, bukan akhir dari responsinya. Dengan pengkayaan, ia meneruskan pertanyaan saya ke WhatsApp Group (WAG) dosen Program Studi Doktor: “Saya membaca sebuah draf disertasi. Tiga dan banyak sub-bab di disertasi tersebut adalah grand theory, middle-range theory, dan ... (saya lupa). Ada yang bisa bantu [menjelaskan]? …. Apa pembatas antar Grand dengan Middle-range [theories]?
Yang menarik, muncul tanggapan dari dua Profesor. Penjelasan pertama, datang dari Profesor di bidang ilmu Manajemen. Ia menjelaskan bahwa: “Grand theory [adalah] teori besarnya, biasanya kita sebut sebagai payung. Kalau di Sosiologi … yaitu teori yang luas, komprehensif, dan mencakup berbagai aspek kehidupan sosial, berisi konsep-konsep dasar dan prinsip-prinsip umum. … Middle-range theory scope-nya lebih sempit dan fokus pada aspek-aspek tertentu dari kehidupan sosial. … Theory ini sudah membahas konsep-konsep dan proses sosial yang lebih spesifik, dapat diuji secara empirik dan memiliki kemampuan prediktif. … [Dan] Applied theory [adalah] teori yang digunakan untuk memecahkan masalah praktis dan mengatasi kesulitan sosial. Fokus pada masalah praktis … [bertujuan] untuk memberikan solusi”.
Tak berselang lama, menyusul responsi berikutnya. Penjelasan kedua ini datang dari Profesor di bidang Diplomasi. Ia menambah penjelasan: “Grand theory adalah kerangka konseptual yang luas dan abstrak untuk menjelaskan fenomena sosial secara menyeluruh, seperti Fungsionalisme Struktural (Parsons) atau Teori Konflik (Marx). Teori ini memberikan landasan filosofis untuk memahami isu universal, tetapi kurang praktis untuk menjelaskan fenomena spesifik. Middle-range theory menjembatani Grand theory dan teori spesifik, dengan cakupan lebih terbatas dan dapat diuji, seperti teori Anomi (Merton) yang menjelaskan perilaku menyimpang atau teori Labelling dalam kriminologi. Pentingnya: Membantu menghubungkan konsep besar dengan fenomena sosial tertentu yang lebih konkret dan relevan. Small-range theory memberi fokus pada fenomena sangat spesifik, seperti pengaruh media sosial terhadap produktivitas. Teori ini bersifat empiris, mudah diuji, dan sangat terfokus pada konteks tertentu. Pentingnya: Menyediakan solusi langsung untuk masalah kecil melalui analisis detail dan terfokus. Di dalam kajian Antropologi, teori Agama Jawa (Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa) Clifford Geertz barangkali termasuk kategori ini”. Selain melengkapi, responsi ini sedikit mengoreksi penjelasan sebelumnya, dengan menggunakan Small-range theory daripada Applied theory. Penjelasan yang kedua ini juga menyertakan contoh beberapa teori.
Menanggapi isu teoritis di atas, saya merasa perlu untuk lebih berhati-hati. Setidaknya ada dua alasan untuk teliti dalam membahas teori. Pertama, dunia teori merupakan arena yang kompleks karena melibatkan banyak dimensi. Kedua, tidak jarang ilmuwan juga berbeda pandangan, termasuk pemakaian istilah teoritis. Tanggapan saya, yang berupa beberapa catatan, berangkat dari tradisi Positivism atau tertib keilmuan Scientific. Alasannya utamanya, Grand theory merupakan istilah dalam tradisi Scientific. Catatan pertama, penjelasan dari dua Profesor di atas sedikit banyak membantu dalam memahami teori. Tapi, sayangnya, keduanya mengandung kerancauan; karena mencampuradukkan beberapa dimensi teori, seperti tipe dan fungsi teori, serta istilah teoritis. Dalam konteks keilmuan, terdapat beberapa tipe teori. David Easton mengklasifikasikan teori menjadi empat kategori, yakni berdasarkan: cakupan (scope), jangkauan (range), tingkatan (level), dan struktur internal (internal structure)-nya. Grand theory adalah nomenklatur teori berdasarkan range. Tak mengherankan, jika klasifikasinya dilengkapi dengan teori-teori dengan jangkauan yang berbeda, yakni Middle-range dan Small-range theories.
Istilah Grand theory, pertama kali diracik oleh C. Wright Mills. Ia menggunakannya untuk mengkritisi teori dari Talcott Parson tentang Sistem Sosial. “Let us begin with a sample of grand theory, taken from Talcott Parson’s The Social System [1951] ”, tulisnya, mengawali kritiknya yang tersurat dalam bukunya, The Sociological Imagination (1959). Terinspirasi teori ilmu-ilmu Eksakta (Sciences), lahirnya Grand theory dilandasi obsesi pembuatan teori yang berjangkauan universal, dan bisa berlaku melintasi ruang dan waktu. Mengingat bahwa fenomena sosial selalu kompleks–dalam arti memuat banyak aspek dan variabel–maka perumusan Grand theory selalu menuntut oversimplification fenomena sosial. Implikasinya, harus mengabaikan banyak unsur variabel yang melekat pada fenomena. Oversimplification ini tercermin dalam parsimony, yakni kapasitas ‘mengambarkan banyak dimensi dengan sependek mungkin narasi’. Prinsip utamanya: The simplest one is the best!
Tapi, oversimplification fenomena sosial menuntut pengorbanan akademis. Pasalnya, oversimplification akan mengurangi ketepatan deskriptif dari Grand theory. Akibatnya, isu tentang ‘kejelasan’ (clarity) dari Grand theory menjadi mengemuka. Dalam kritiknya, Wright Mills mempermasalahkan isu tentang kejelasan ini: “All this raises a sore point–intelligibility. Is grand theory merely a confused verbiage or is there? After all the impediments to meaning are removed from Grand theory and what is intelligible becomes available, what, then, is being said? (Semua oversimplification ini memunculkan permasalahan pelik–[yakni tentang] kejelasan. Apakah Grand theory hanya sekedar proposisi yang membingungkan, ataukah ada makna yang terwakili di dalamnya? Setelah semua hambatan untuk pemaknaan disingkirkan dari Grand theory dan kejelasan [gagasan teoritik] yang didambakan sudah dirumuskan, apa yang kemudian bisa diungkapkan [oleh Grand theory tersebut]?). Kritik Mills tentang kejelasan Grand theory ini cukup substantif, mengingat salah fungsi utama teori Scientific adalah eksplanasi, atau menjelaskan, fenomena.
Kritik Wright Mills di atas menghantar pada pembahasan keterbatasan dari Grand theory. Dalam tradisi Positivism, kriteria teori yang baik ada dua. Satu, dilihat dari jangkauan (range)-nya, dengan asumsi bahwa semakin luas jangkauan sebuah teori maka teori tersebut semakin bagus. Kedua, ditentukan oleh kekuatan daya eksplanasi (explanatory power)-nya, yaitu kapasitas menjelaskan fenomena empiris dengan sesedikit mungkin anomali. Dengan kata lain, explanatory power sebuah teori ditentukan oleh ketepatan deskriptif (descriptive accuracy)-nya. Tapi, ironisnya, ketepatan deskriptif Grand theory cenderung berkurang karena tergerus oleh oversimplification fenomena. Di titik inilah Grand theory selalu menghadapi dilema antara ambisi parsimony di satu sisi, dan tuntutan descriptive accuracy di sisi lain. Dengan dilema ini, saya menyebut Grand theory selalu mengidap ‘paradoks teoritis’. Menurunnya descriptive accuracy-nya, akibat oversimplification fenomena, pada gilirannya juga mengurangi relevansi Grand theory bagi referensi pembuatan kebijakan.
Keterbatasan akademis Grand theory di atas menyulut pertimbangan teorisasi ilmu Sosial. Banyak teorisi ilmu Sosial, khususnya dalam ilmu Politik dan Ilmu Hubungan Internasional, akhirnya cenderung melakukan teorisasi hanya sampai pada middle-range saja. Argumennya, untuk mempertahankan descriptive accuracy, sekaligus menjaga relevansi teori bagi pembuatan kebijakan. Munculnya teorisasi berbasis region, seperti munculnya non-Western theories, adalah salah satu contoh Middle-range theorization. Sementara itu, teori Elit karya C. Wright Mills, tertuang dalam bukunya The Power Elite (1956), punya jangkauan yang lebih sempit lagi. Teori Elite karya Wright Mills ini, intinya ingin menjawab pertanyaan: “Siapa atau kekuatan apa yang mengendalikan Amerika Serikat?” Jawabannya: “Selain elite politik, yakni Presiden beserta jajaran kabinetnya, dua kelompok lainnya adalah elite korporasi dan elite militer”. Dengan jangkauannya yang spesifik, yakni terbatas di Amerika Serikat, teori Elite dari Mills ini bisa dikategorikan sebagai Small-range theory.
Catatan kedua, berangkat dari elaborasi tentang esensi dan sifat Grand, Middle, dan Small-range theories di atas, pemahaman saya agak berbeda dari penjelasan kedua Profesor di atas. Penilaian bahwa Small-range theory lebih aplikatif dibandingkan dengan Grand dan Middle-range theories, pada hemat saya, adalah kurang tepat. Argumennya, Small-range theory bukanlah hasil deduksi dari Grand dan Middle-range theories, karena pembedaan ketiga teori ini tidak berlandaskan derajat abstraksi atau konseptualisasi, melainkan berdasarkan pada jangkauan (range)-nya.
Catatan ketiga, menyangkut pengunaan istilah. Misalnya, ungkapan bahwa Grand theory adalah “payung” dari teori-teori di bawahnya, saya pikir juga kurang akurat. Untuk menggambarkan payung teori, saya pribadi lebih memilih istilah perspektif Teoritis (Theoretical perspective). Alasannya, berlandaskan premis dasarnya, perspektif teoritis memfasilitasi klasterisasi teori Sosial. Di bawah payung perspektif teoritis Struktural-Fungsional, misalnya, ada teori Sistem Sosial dan Teori Konsensus. Selain itu, dalam perspektif teori Elitis, terdapat beberapa teori, seperti teori dari Gaetano Mosca, Vilfredo Pareto, Robert Michels, dan C. Wright Mills; sedangkan dalam perspektif teoritis Kelas ada sekian teori, seperti teori Dependencia, teori Hegemoni karya Gramsci, teori Imperialisme dari Lenin, dan World-system theory temuan Immanuel Wallerstein.
Catatan ke empat, pendapat bahwa “Middle-range theory … membahas konsep-konsep dan proses sosial yang lebih spesifik”, juga sedikit membingungkan. Pasalnya, pandangan ini mencampuradukkan domain teori yang berdasarkan jangkauan (range) dengan kriteria teori yang berlandaskan cakupan (scope). Berkaitan dengan bahasan teori, diksi “spesifik” (lawan dari umum/general), lazimnya, masuk kategori teori berdasarkan scope-nya. Dilihat dari scope-nya, teori Sosial bisa diklasifikasikan antara Macro dan Micro-theories. Macro-theory bahasannya lebih terfokus pada proses dan isu sosial skala besar, seperti teori tentang stabilitas politik dan teori Perubahan Sosial. Sementara itu, Micro-theory fokus bahasannya lebih pada scope yang kecil, seperti karakteristik atau perilaku individu. Dari sisi ontologi (the nature of being), Macro-theory bertumpu pada holism.
Menurut Alexander Wendt, basis ontologi holism ini mempunyai premis bahwa penjelasan scientific tentang sistem Sosial tak bisa direduksi menjadi unit atau agent yang lebih kecil. Sebaliknya, Micro-theory bersandar pada ontologi individualism, dengan premis bahwa penjelasan scientific dari fenomena sosial harus direduksi pada perilaku dan interaksi individu. Contoh pernyataan politis yang mencerminkan ontologi individualism pernah dikemukakan oleh mantan Perdana Inggris, Margareth Thatcher, bahwa: “No such thing as a society, [but] only individuals”.
Catatan terakhir, berkaitan dengan statemen bahwa “teori Agama Jawa (Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa) [karya] Clifford Geertz barangkali termasuk kategori ini [Small-range theory]”. Yang perlu disadari, ‘teori’ dari Clifford Geertz ini bukanlah dibangun dalam tradisi Positivism atau tertib keilmuan Scientific. Geertz merumuskan Teori Agama Jawa melalui tradisi Interpretivism. Teorisasinya ini merupakan bagian dari kritiknya terhadap pembuatan teori dalam tradisi Positivism; yang menurutnya mengutamakan Grande idée (Grand theory) yang mana, seperti telah dielaborasi di atas, cenderung mengabaikan partikularitas fenomena sosial.
Namun, jika kita ‘memaksa’ untuk menilainya dengan kriteria tertib keilmuan Scientific, dalam segi range teori ‘Agama Jawa’ karya Geertz tersebut bisa dimasukan dalam kategori Small-range theory. Alasannya, karena range-nya hanya menjangkau komunitas Jawa. Tapi, dari segi tingkat (level) teori, sebenarnya teori Geertz ini masuk ‘Klasifikasi’ atau ‘Tipologi’, dengan kadar teoritis yang rendah. Pasalnya, kata Mohtar Mas’oed (1990), sistem Klasifikasi esensinya bukanlah sebuah sistem teoritis. Argumennya, dalam tradisi Positivism, seperti telah disinggung di muka; fungsi utama teori adalah ‘eksplanasi’ untuk menjawab pernyataan ‘mengapa’. Implikasinya, sebuah proposisi teoritis seyogyanya berbentuk kausalitas, sedangkan sistem Klasifikasi hanyalah sekedar menghasilkan kategorisasi. Walaupun demikian, sistem Klasifikasi tetap berperan penting dalam proses penelitian, khususnya dalam upaya untuk merumuskan theoretical findings. Alasannya, sistem Klasifikasi membantu peneliti mengorganisasikan hasil observasi empiris, sehingga bisa memfasilitasi deskripsi hubungan antar kategori dari hasil observasinya. Wallahua’alam …
*) Penulis: Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember.
Advertisement