Haul Gus Dur, Inspirasi Moderasi Agama Kekinian
Minggu malam, Gus Dur –panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid– hidup lagi. Dalam acara Haul Gus Dur ke-15 di Masjid Chengho Surabaya.
Sejumlah tokoh lintas agama berkumpul. Juga sejumlah tokoh nasional seperti Ning Alisa Gus Dur, Prof Dr Mahfudz MD, dan Eros Jarot. Juga ada santri yang jago budaya China Novi Basuki.
Selain Ning Lisa –panggilan putri Gus Dur yang memimpin Gerakan Gusdurian– kedua tokoh nasional itu dikenal dekat dengan Gus Dur. Mahfudz pernah menjadi murid dan menteri Gus Dur saat menjadi presiden. Sedangkan Eros adalah kawan gerakan Gus Dur yang ikut melahirkan reformasi politik di Indonesia.
Saya beruntung pernah mendapat ‘’berkah’’nya Ketum PBNU yang pernah menjadi Presiden RI ke-4 ini. Darinya saya ikut nebeng terkenal karena menerbitkan buku Islam, Demokrasi Atas Bawah yang membandingkan strategi perjuangan Gus Dur dan Amien Rais.
Yang masih menyesal sampai sekarang, saya sempat menolak untuk mengantarkan Gus Dur dari Jogja ke Jombang. Saat itu, saya sedang menjadi seorang wartawan yang menjadi pengagumnya. Untung, dalam beberapa tahun kemudian, saya sempat bekerja dengannya mendirikan surat kabar milik NU dengannya.
Bagi komunitas Tionghoa, Gus Dur memang istimewa. Karena Gus Dur, hak politik mereka di negeri ini menjadi hidup kembali. Juga ekspresi untuk menunjukkan keyakinan mereka secara terbuka.
Budaya moderasi yang pernah dikembangkan Gus Dur seakan menjadi bersemi lagi. Setidaknya di komplek Masjid Chengho malam itu. Kematiannya diperingati semua lapisan kelompok etnis dan agama.
Saya tidak tahu persis berapa kali Haul Gus Dur diperingati komunitas lintas agama di Surabaya. Yang melibatkan berbagai kelompok seperti kelompok Katolik, Kristen, Budha, Hindu, dan Konghucu. Juga dari Islam, tentunya.
Ada yang unik. Dalam rangkaian acara tampil kelompok musik dari Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Waru Sidoarjo. Kelompok musik yang menggabungkan musik tradisi dan modern. Semacam kelompok musik Kiai Kanjeng yang didirikan Emha Ainun Najib alias Cak Nun.
Kelompok musik ini membawakan tiga lagu. Diantaranya lagu Yalal Wathan, syair ke-Indonesia-an yang diciptakan salah satu pendiri NU KH A Wahab Hasbullah. Juga membawakan shalawat. Keren.
Sungguh, ini peristiwa yang mencerminkan ke-Indonesia-an. Yang menjadikan manusia dihormati sebagai manusia. Bukan atas dasar keyakinan dan status sosialnya. Kumpulan manusia yang saling menghormati keyakinan masing-masing.
Agama dalam kumpulan ini bukan sebagai identitas. Tapi sebagai nilai yang menjadi landasan bagi individu-individu dalam menjalani kehidupannya. Nilai kebaikan yang tercermin dalam tingkah laku keseharian. Bukan benih dari kebencian antar satu dengan lainnya.
Dalam bahasa kekinian, Gus Dur bisa dianggap sebagai Bapak Moderasi. Yang memoderatkan cara beragama. Tidak hanya dalam wacana, tapi dalam kehidupan keseharian. Yang sebetulnya sejalan dengan cita-cita para pendiri bangsa ini. Yang bersatu dalam keanekaragaman.
Imaginasi Gus Dur tentang keberagaman telah bersemi dan tumbuh di Surabaya. Tidak hanaya dalam relasi antar kelompok dan penganut keyakinan. Tapi juga mewujud dalam infrastruktur di perkotaan. Misalnya, fasilitas perumahan.
Di Surabaya barat, misalnya. Ada pengembang yang membangun sejumlah tempat ibadah dari berbagai agama dalam satu komplek perumahannya. Kawasan perumahan elit lagi. Kawasan itu adalah Royal Residence.
Mereka membangun masjid, gereja, pura, dan klenteng dalam satu kawasan. Berjejer dan berdampingan. Dulu, sejumlah mall di kota ini sebagian besar ada gerejanya. Kini dalam satu lantai bisa ada masjid dan gereja.
Bagaimana spirit keberagaman dan keberagamaan seperti ini bisa mewujud di Surabaya? Inisiatif seperti itu tak mungkin bisa lahir dari masyarakat yang sudah memiliki akar kuat dalam keberagaman. Bisa saja, posisinya sebagai kota perdagangan menjadi awal mulanya.
Setiap kota perdagangan selalu melahirkan keberagaman. Bahkan, menjadi jabang bayi dari sebuah kota yang kosmopolitan. Pusat pertukaran barang itu selalu juga menjadi pusat pertukaran kebudayaan. Menjadi tempat berkumpulnya orang dari berbagai latar belakang.
Di kota ini, komunitas Tionghoa, Arab, Melayu, dan berbagai etnis dari seluruh Indonesia bekerjasama. Tidak pernah ada konflik yang memicu perpecahan antar mereka. Di kota ini, komunitas Tionghoa dan Madura menjadi kongsi bisnis yang saling menopang. Madura jualan soto, Tionghoa jual minuman di satu tempat.
Masjid Chengho yang bergaya arsitektur China kali pertema berdiri di kota ini. Sampai kemudian kini sudah berkembang menjadi 16 di seluruh Indonesia. Masjid ini diinisiasi dan dirikan oleh seorang mualaf Tionghoa bimbingan Gus Dur. Bambang Sujanto, namanya.
Spirit moderasi beragama kota Surabaya ini memang layak untuk dirawat. Biar tetap menjadi inspirasi kota-kota di Indonesia lainya. Yang menjadikan relasi antar iman dan etnis begitu terbuka. Saling menghormati dan bahkan saling menopangnya.
Kita berharap dari kota inilah, beragama yang disatukan dengan kemanusiaan selalu bersemi dan tumbuh kembang. Menggelorakan kepahlawanan baru di tengah ancaman yang menjadikan keyakinan sebagai benih pertentangan antar kelompok manusia.
Di Masjid Chengho, malam itu, tak hanya merasakan Gus Dur kembali hidup. Tapi juga harapan baru bahwa bangsa ini bisa dikelola dengan menyatunya keberagaman dan keberagamaan. Yang disebut terakhir adalah perilaku yang dilandasi nilai-nilai agama.
Bangsa ini tampak masih perlu Gus Dur-Gus Dur baru ke depan.
Advertisement