Das Kapital (5)
Oleh:
Himawan Bayu Patriadi, PhD., Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember.
Dalam setiap karyanya, Karl Marx dikenal dengan analisanya yang tajam dan mendalam. Bahkan, banyak konsep dan teorinya yang bersifat membongkar kemapanan. Seperti dilansir oleh Hobden dan Jones (2001), Marxian theories galibnya memang bertujuan untuk “to expose a deeper, underlying–indeed hidden–truth”. Seperti telah saya singgung dalam esai serial sebelumnya, sifat kritis semacam ini selalu melekat pada pemikiran Karl Marx.
Analisa tajam dan mendalam juga bisa ditemukan dalam buku Das Kapital. Tujuannya, membongkar topeng naratif kapitalisme, seperti jaminan kebebasan (freedom), penegakan kesetaraan (equality), dan perwujudan kesejahteraan (prosperity). Salah satu bentuk kritismenya tercermin dalam anak judul dari buku ini: “A Critique of Political Economy”. Karl Marx mengkritik pandangan mazhab Ekonomi-Politik klasik, khususnya dari David Ricardo, berkaitan dengan kelemahan analisisnya tentang tenaga kerja (labour) yang dikeluarkan oleh buruh dan nilai dari komuditas yang dikreasinya. Dalam kritiknya, Marx menyatakan: “Menyangkut nilai [komuditas] secara umum, kelemahan dari mazhab Ekonomi-Politik klasik yang, dengan penuh kesadaran, tidak pernah tegas dalam membedakan antara kerja [buruh], sebagaimana yang tampak dalam nilai [tukar] suatu produk, dan kerja buruh tersebut, sebagaimana yang tampak dalam nilai guna produk tersebut (As regards value in general, it is the weak point of the classical school of Political-Economy that it nowhere expressly and with full consciousness, distinguishes between labour, as it appears in the value of a product, and the same labour, as it appears in the use-value of that product)”. [ Capital, Vol.1, 1887:57 footnote no.32]. Pertanyaannya, mengapa secara substantif Marx melihat bahwa pembedaan antara keduanya signifikan?
Kritik Karl Marx di atas berangkat dari hasil investigasinya. Ia berpendapat bahwa perlu untuk membedakan use-value dari exchange-value komuditas guna membongkar apa di balik obsesi kaum kapitalis yang senantiasa mengakumulasi kekayaan. Digambarkannya, bahwa “kaum kapitalis sudah merasa nyaman dengan metode ekonominya yang kasar, sembari berseru: “Oh! Saya hanya menginvestasikan uang saya [untuk produksi] dengan tujuan khusus [yakni] menghasilkan lebih banyak uang …(Our capitalist, who is at home in his vulgar economy, exclaims: Oh! but I advanced my money for express purpose of making more money … )”. [ Capital, Vol.1, 1887:134]. Padahal, obsesi ini melahirkan sosok kapital, yang secara endemik mendorong ketimpangan ekonomi dan eksploitasi kaum buruh. Seperti telah disinggung dalam tulisan serial sebelumnya, temuan Marx menunjukkan bahwa pemicu utama perilaku kapitalis ini adalah sosok komuditas, yang dengan use-value yang dimilikinya, selalu menjadi sumber exchange-value yang jumlahnya jauh lebih besar. Walhasil, pembedaan secara tegas antara kedua bentuk nilai ini menjadi penting untuk menjelaskan karakteristik dari sosok kapital.
Sebenarnya, mazhab Ekonomi-Politik klasik sempat mengupas kaitan tenaga kerja yang dikeluarkan buruh dengan kedua bentuk nilai komuditas. Namun, sayangnya, Karl Marx menilai analisa mazhab ini relatif masih dangkal, karena tak pernah menyentuh isu mengapa kedua kedua bentuk nilai tersebut muncul. Seperti digarisbawahi Marx sendiri, “mazhab Ekonomi-Politik [klasik] sebenarnya telah menganalisnya, meskipun belum lengkap, baik nilai maupun besarannya, dan telah menemukan apa yang ada di balik bentuk-bentuk [nilai] ini. Namun, mazhab ini, sama sekali tak pernah mengajukan pertanyaan mengapa kerja [buruh] direpresentasikan oleh nilai produknya dan waktu kerja [dicerminkan] oleh nilai tersebut (Political-Economy has indeed analyzed, however incompletely, value and its magnitude, and has discovered what lies beneath these forms. But it has never once asked the question why labour is represented by the value of its product and labour time by the magnitude of that value)”. [ Capital, Vol.1, 1887:52]. Padahal, pertanyaan yang terakhir ini krusial sebagai pintu masuk untuk menjelaskan mengapa kapitalis senantiasa berobsesi melipat-gandakan nilai komuditas.
Untuk menjawabnya, Karl Marx menyodorkan analisa tajam, bahkan cenderung filosofis. Dalam eksplanasinya, ia mengenalkan commodity fetishism, sebuah konsep penting yang masih kuat pengaruhnya hingga kini. Tapi, tak jarang terjadi misinterpretasi terhadap konsep ini. Pasalnya, istilah ‘fetish’ juga sering dipakai dalam psikologi, khususnya berkaitan dengan sexual fetish. Sejatinya, Marx meminjam istilah fetish ini dari antropologi, sebuah konsep yang merujuk pada kepercayaan primitif di mana kekuatan supranatural dapat melekat pada benda mati. Anggapan serupa berlaku pula pada komuditas, yang mana dipersepsikan punya semacam kekuatan ‘mistis’ atau ‘supranatural’. Dalam realitanya, komuditas dipersepsikan mempunyai ‘kekuatan’ atau ‘nilai’ yang inheren dalam dirinya. “Sekilas, sebuah komuditas tak lebih dari sesuatu yang sederhana, dan mudah dipahami (A commodity appears, at first sight, a very trivial thing, and easily understood)”, tandas Marx. Namun, “dari analisa terhadapnya menunjukkan bahwa, dalam realitasnya, merupakan sesuatu yang aneh, penuh kehalusan metafisik dan teologis (Its analysis shows that it is, in reality, a very queer thing, abounding in metaphysical subtleties and theological niceties)”. [ Capital, Vol.1, 1887:47]
Pertanyaannya, dari mana commodity fetishism berawal? Yang jelas, kata Marx, karakter mistis dari komuditas bukan dalam nilai-guna (use value)-nya, melainkan terletak “dalam karakter sosial khusus dari kerja yang membentuknya (in the peculiar social character of the labour that produces them)”. Ia memberikan ilustrasi, “ketika bentuk kayu … diubah, menjadi sebuah meja … [maka] meja tersebut tetap mencerminkan benda yang umum, [yang dikenal] sehari-hari, [yakni sebagai barang yang terbuat dari] kayu (the form of wood … is altered, by making a table out of it … the table continues to be that common, very-day thing, wood)”. Tapi, segera setelah menjadi sebuah komuditas, maka “meja tersebut berubah menjadi sesuatu yang transenden (it is changed into something transcendent)”. [ Capital, Vol.1, 1887:47]. Dengan kata lain, commodity fetishism muncul bukan pada saat proses produksi suatu barang; melainkan setelah barang berubah menjadi komoditas, yang secara empirik maujud dalam nilai-tukar (exchange-value)-nya.
Mengapa commodity fetishism terjadi? Misteri ini muncul karena obyektifikasi dimensi subyektif dari komuditas, yakni proses ‘pem-benda-an’ dimensi manusia yang melekat di dalamnya. Dalam bahasa Marx, proses ini terjadi semata-mata “karena di dalam komuditas, karakter sosial kerja manusia diimpresikan sebagai karakter obyektif yang dilabelkan pada produk kerja tersebut, karena hubungan para produsen … direpresentasikan sebagai sebuah hubungan sosial, di mana yang eksis bukanlah hubungan antara mereka sebagai sosok manusia, melainkan sebagai hubungan antara produk-produk mereka (the social character of men’s labour appears to them as an objective character stamped upon the product of that labour; because the relation of the producers … is presented … as a social relation, existing not between themselves, but between the products of their labour)". [ Capital, Vol.1, 1887:47]. Singkatnya, dalam sosok komuditas terdapat “sebuah hubungan yang pasti antara manusia (a definite social relation between men)” yang diasumsikan sebagai “bentuk fantastis dari sebuah hubungan antar benda (the fantastic form of a relation between things). [ Capital, Vol.1, 1887:48]. Jadi, laiknya sebuah 'kesadaran palsu' (false conciousness), esensi commodity fetishism adalah ilusi manusia tentang sebuah barang, yang menyembunyikan realitas sosial dari proses produksinya, dengan memandang barang tersebut hanya dari sisi nilainya semata.
Yang menarik, tapi penuh aroma sarkatis, Karl Marx melengkapi penjelasannya dengan majas personifikasi. Andai komuditas bisa bicara, mereka akan berkata: “Nilai-guna kita mungkin adalah sesuatu yang menarik minat manusia. Itu bukan bagian dari kita sebagai obyek. Namun, yang menjadi milik kita adalah nilai kita. Hubungan alami kita sebagai komuditas membuktikannya. Di mata kita satu sama lain hanyalah nilai-tukar (Our use-value may be a thing that interests men. It is no part of us as objects. What, however, does belong to us as objects, is our value. Our intercourse as commodities proves it. In the eyes of each other we are nothing but exchange-value). [ Capital, Vol.1, 1887:52]. Ilustrasi ini, sekali lagi, menandaskan bahwa exchange-value, esensinya, adalah atribut komuditas; refleksi dari reduksi dimensi manusia dalam produksi.
Explorasi filosofis Karl Marx tentang commodity fetishism mempertajam diagnosenya terhadap mazhab Ekonomi-Politik klasik. Kritiknya yang tajam menuding mazhab ini punya kelemahan mendasar, yakni tak menghargai dimensi manusia dalam sistem produksi. Seperti dilansir Elena Lousia Lange (2021), kelemahan Ekonomi-politik klasik terletak pada: “titik buta dari bentuk sosial khusus yang mengasumsikan tenaga kerja [yang dikeluarkan buruh] hanya sebagai nilai dalam masyarakat kapitalis. Karena para ekonom politik klasik dan yang vulgar mengabaikan bentuk sosial dari tenaga kerja buruh (the blind spot of the specifically social form that labour assumes as value in capitalist societies. Because classical and vulgar political economists disregards the social form of labour)”.
Elaborasi commodity fwtishism di atas, menghantar kita pada konsep Karl Marx yang lain, yakni alinasi (alienation). Reduksi dimensi manusia dalam sistem produksi kapitalis mengakibatkan buruh mengalami alinasi. Konsep alinasi ini merujuk pada sebuah proses di mana buruh dibuat asing terhadap produk hasil kerjanya. Jadi, alinasi di sini lebih mencerminkan fenomena sosiologis daripada gejala psikologis. Dalam Economic and Philoshopic manuscripts-nya (1844), Marx menegaskan: “Ketika buruh tenggelam ke dalam sebuah komuditas (sinks to the level of commodity)”, mereka akan kehilangan semua identitas diri dan nilainya. Argumennya, “alinasi buruh dalam produk yang dihasilkannya (the alienation of the worker in his product” bermakna bahwa “hidupnya tak lagi menjadi miliknya (his life no longer belongs to him)”, dan hasil kerjanya eksis “sebagai sesuatu yang asing baginya (as something alien to him)”. Merenungi argumen Marx ini, tak mengherankan bila the capitalist mode of production selalu dituduh mengidap de-humanisasi, karena senantiasa mendegradasi nilai-nilai manusiawi. Wallahua’alam … (bersambung)
Advertisement