Terbongkar Oleh Indra Wardhana : Kemenangan Pertamina Blok Rokan-chevron , Langkah Politik Jokowi 2019 - Bukan Karena Nasionalisme Dan Kebangsaan
POLITIK JOKOWI MENUJU PILPRESS 2019
PADA KASUS BLOK ROKAN, CHEVRON INDONESIA
Friday, August 03, 2018
Oleh : Indra WARDHANA
International Geopolitics and Security Observer
16 years of Oil and Gas field experience in Offshore Production and Drilling &/or HES
7 years Risk Security Management and HES Senior - Country Manager
(Design of ISMS, Threat and Risk Analysis, Investigation, Audit, Assessment, Terrorism and Cyber Attack)
Hegemoni Kekuatan Asing di Indonesia
A, Multinational Corporation (Perusahaan Multinasional)
Di abad ke 21, perusahaan multinasional (Multinational Corporation) atau lebih sering disebut MNC telah tumbuh dan berkembang dalam skala besar dimana mereka sekarang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Kehadiran dan artinya di kehidupan masyarakat merupakan fakta tak terbantahkan. Saat ini banyak MNC yang merupakan institusi yang kuat dan memiliki sumber daya lebih banyak dari kebanyakan negara di dunia. Ukuran dan sentralisasi operasi merupakan dua hal yang membuat MNC sebagai kekuatan penting dalam hubungan internasional saat ini.
MNC pada dasarnya adalah sebuah perusahaan yang menjual produk, dan karena tidak semua perusahaan bisa dikatakan sebagai MNC maka para ahli memberikan definisi untuk MNC. Menurut Dunning, MNC adalah sebuah perusahaan yang melakukan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment / FDI) dan memiliki atau mengontrol aktivitas yang menambahkan nilai di lebih dari satu negara. Hal yang serupa dipaparkan pula oleh Gooderham yang menjelaskan MNC sebagai sebagai investasi langsung yang dikelola secara aktif yang dibuat oleh perusahaan yang memiliki komitmen jangka panjang untuk beroperasi secara internasional.
Dalam International Encyclopedia of the Social & Behavioral Sciences di sebutkan bahwa MNC adalah suatu organisasi bisnis yang aktivitasnya terlokasi di lebih dari dua negara dan berbentuk organisasi yang menjalankan investasi asing secara langsung. Definisi ini hampir sama dengan penjelasan dalam Multinational Corporation and Governments Business-Government Relations in an Interntional Context tentang MNC yaitu sebuah perusahaan yang memiliki markas besar atau pusat operasinya di satu negara dan memiliki serta mengoperasikan perusahaan lain atau anak \perusahaannya di negara lain. Perusahaan lain atau anak perusahaan ini biasa disebut sebagai cabang (subsidiary). Sebuah MNC kemudian persis seperti namanya yaitu mengidikasikan sebuah perusahaan yang beroperasi di berbagai lingkungan nasional Melihat perkembangan MNC yang pesat sejak Perang Dunia ke II dan memiliki andil yang cukup besar dalam masyarakat global, maka di tahun 1973 Departemen ECOSOC PBB membuat sebuah laporan mengenai MNC. Laporan ini menjelaskan bahwa MNC adalah perusahaan yang menguasai asset berupa pabrik pabrik, pertambangan, penjualan dan pemasaran serta kantor-kantor lainnya di lebih dari dua negara. Perumusan ini cukup luas sehingga dapat meliputi hampir semua investasi langsung dari luar negeri. Padahal dalam kenyataannya hanya sebagian kecil yang merupakan MNC besar. Sehingga dirumuskan kembali bahwa MNC pada umumnya merupakan suatu usaha yang ‗large-size’, oligopolistic (dikuasai oleh beberapa perusahaan besar), jumlah penjualannya melebihi beberapa ratus juta US dollar dan mempunyai cabang tersebar di berbagai negara. MNC sangatlah besar jika dilihat dari cabang-cabangnya yang tersebar di berbagai negara. Mereka memiliki pengalokasian sumber daya yang terkordinasi secara global dalam suatu manajemen terpusat tunggal. Selain menguasai sumber daya alam, MNC juga memiliki modal yang sangat besar. Menurut laporan Departemen ECOSOC PBB, di negara yang sedang berkembang, jumlah modal yang berasal dari MNC lebih besar daripada modal yang datang dari negara maju dan modal domestik. Pada umumnya modal ini mengarah ke sektor manufacturing dan pertambangan. Sebagaimana Amerika Serikat tertarik pada bidang pertambangan di Indonesia dan memberikan modal yang sangat besar. MNC merupakan entitas ekonomi yang memiliki kekuatan di berbagai bidang seperti pasar, keuangan, organisasi, penyebaran dan tingkat pertumbuhan pesat. Bahkan pertumbuhan ekonomi MNC seringkali melebihi rata-rata pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dengan kekuatan tersebut tentu terdapat dampak yang dirasakan di berbagai level dan bagian dari masyarakat global. Dalam buku yang berjudul Multinational Corporation and Governments Business-Government Relations in an Interntional Context dijelaskan bahwa ―
Pihak MNC mengklaim diri mereka memiliki keahlian dan sumber daya untuk membangun sebuah dunia yang lebih efisien secara produktif, dan oleh karena itu meningkatkan standar kehidupan global. Pihak MNC juga berpendapat bahwa mereka membantu negara kurang berkembang untuk memodernisasi dan mengindustriliasisasi dengan mengenalkan teknologi, kesempatan kerja, dan keahlian untuk menghadapi ekonomi yang terbelakang. MNC juga secara alami membuat perang tak lagi terpakai atau kuno. Karena dalam dunia masa depan dimana semua negara bangsa dan regional saling ketergantungan satu sama lain, tak akan ada orang ataupun pemerintahan yang waras yang akan memulai perang.
Memang benar bahwa terdapat keuntungan potensial dari kehadiran MNC dalam suatu negara. Keuntungan tersebut antara lain MNC dapat menyediakan dana investasi, pekerjaan, teknologi tinggi dan jasa pendidikan. Terkait dana investasi, kehadiran sebuah MNC dikatakan dapat menambah stock nasional jika modal berasal dari negara induk dan dapat apabila pengusaha local terdorong untuk melakukan investasi. Selain kehadiran MNC dapat menambah lapangan pekerjaan, terdapat pula pelatihan ataupun pendidikan lanjutan bagi tenaga kerja untuk mempertinggi skillnya. Bersamaan dengan adanya transfer teknologi dan tenaga kerja local yang telah terlatih dan berpengalaman, diharapkan dalam jangka panjang negara penerima dapat merubah struktur perekonomiannya meskipun MNC telah pergi. Walaupun begitu, menurut ECOSOC PBB, masuknya MNC ke suatu negara belum tentu positif terhadap masalah kesempatan kerja, karena harus dilihat tipe investasi yang masuk. Jika berbentuk padat modal dan bukan padat kerja maka hal ini mungkin dapat melumpuhkan industri nasional sehingga justru menimbulkan penyiutan kesempatan kerja. Pendapat ini kembali ditekankan oleh Richard J. Barnet and Ronald E.Muller dalam bukunya yang berjudul Global Reach: The Power of the Multinational Corporation. Mereka melihat MNC memiliki kemampuan produksi dengan modal intensif yang besar, hal ini dianggap mampu membuat saingan lokal di pasar domestik tersingkir dari bisnis yang tentu saja meningkatkan pengangguran di negara penerima. Selain itu, MNC dilihat tidak banyak melakukan kegiatan riset dan pengembangan di negara penerima sehingga mengakibatkan negara penerima selalu tergantung pada negara induk. Ditambah lagi, untuk memiliki teknologi dan pengetahuan yang dimiliki oleh MNC, negara penerima
harus memberikan harga untuk transfer pricing dan royalty. Oleh karena itu negara berkembang susah untuk bisa lepas MNC dan mandiri mengelola perekonomiannya. Hubungan antara MNC dengan nation states dapat menimbulkan ketegangan dan konflik. Fakta yang tak dapat di elakkan adalah bahwa ukuran yang sangat besar dari MNC bermakna bahwa mereka memiliki dampak ekonomi maupun politis di negara penerima, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Jika operasi ekonomi dari MNC itu kritikal terhadap ketahanan suatu politik di negara penerima, maka pemerintahan tersebut tak bisa dihindari akan tertekan. Hal ini tentu membuat negara berada dalam posisi ‗ketergantunganterhadap MNC baik itu secara ekonomi maupun politik. Penguasaan MNC akan sumber daya alam di suatu negara dalam jumlah yang tidak sedikit menimbulkan pertanyaan mengenai kedaulatan permanen atas sumber daya alam tersebut. Disebutkan pula dalam laporan ECOSOC PBB bahwa penguasaan MNC pada sektor kunci (sektor yang melibatkan hajat hidup orang banyak) dilihat sebagai suatu pelanggaran terhadap negara-negara yang merdeka. Namun, tetap terdapat banyak negara yang menganjurkan masuknya investasi langsung ke negaranya. Hal ini merupakan suatu kompromi untung rugi (cost and benefits) yang bersifat politis, ekonomis, dan sosio kulutural. Dalam prakteknya terdapat suatu perbedaan tujuan dan scope kegiatan antara negara dan MNC. MNC jelas berorientasi laba sedangkan negara memiliki tujuan mensejahterahkan rakyatnya. MNC memiliki kekuatan ekonomis dan nation state memiliki ―sovereign power- Sovereign power ini sebenarnya dapat digunakan untuk menentukan aturan masuknya MNC ke suatu negara. Dan dengan menerima kekuatan MNC, Negara dapat bekerjasama dengan MNC dalam area ekonomi untuk memperoleh national interest.
Pada kondisi yang dialami sendiri di Indonesia, banyak pihak, khususnya para ekonom, yang masih lekat memandang atau berasumsi bahwa investor asing adalah tamu-tamu yang ramah dan memiliki tatakrama yang baik. Suatu asumsi yang bila dilihat kenyataannya saat ini jelas jauh dari kebenaran. Kita patut bersyukur bahwa Multilateral Agreement on Investment (MAI) akhirnya tidak jadi disetujui, jika hal tersebut disetujui maka akan membuat kelompok kapitalis global (lewat MNC dan TNC) akan makin merajalela, menundukkan semua institusi apapun yang ada, baik itu lokal maupun global. MAI yang disusun oleh International Chamber of Commerce, sebuah asosiasi pebisnis raksasa tingkat dunia, dan akan dimasukkan dalam WTO, merancang suatu perjanjian yang memungkinkan perusahaan swasta diberi status legal seperti negara, yang dapat mengadakan perundingan setara dengan negara (yang menurut sistem WTO, perjanjian hanya terjadi oleh dan antar negara, tidak antar perusahaan). MNC akan diberi hak untuk membela kepentingannya terhadap keberatan yang diajukan oleh negara Hal mengerikan yang ada dalam rancangan pengaturan MAI tersebut adalah MNC dapat menuntut sebuah negara jika negara mengesahkan undang-undang yang dapat mengurangi keuntungan (profit) yang bakal diperoleh. Peraturan MAI juga mengizinkan investor asing untuk menuntut negara jika negara menyediakan dana bagi program sosial yang mereka anggap dapat menimbulkan distorsi terhadap pasar bebas (atau kepentingan MNC). Atau bila sebuah pemerintahan ingin mengadakan privatisasi perusahaan milik negara (BUMN), maka negara tidak boleh memberi preferensi pada pembeli domestik. Negara juga dilarang untuk menuntut investor asing (MNC) mendahulukan kandungan domestik, mengangkat staf/pekerja lokal, menetapkan tindakan afirmatif, transfer teknologi, dan sebagainya. Bahkan negara tidak boleh membatasi jumlah keuntungan yang boleh dibawa pulang ke negara asal. Sementara itu laporan dari Urban Secretariat of UNCHS (2002) menyebutkan bahwa banyak pemerintah saat ini tidak lagi berada dalam posisi menetapkan peraturan yang dibutuhkan untuk mengelola investor asing (MNC). Banyak kepentingan kelompok/tertentu (vested interest) yang menyebabkan kepentingan ekonomi nasional terabaikan. Serta politik kebijakan ekonomi yang bersifat populis, praktis dan jangka pendek makin menegaskan bahwa tata kelola terhadap MNC ini tidak dapat sepenuhnya bergantung pada peraturan pemerintah sebagai suatu solusi.
B. Keamanan Energi
Konsep Keamanan Energi muncul ketika di masa Perang Dunia II,Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill mengganti bahan bakar kapal perang Inggris dari batu bara ke minyak agar dapat menandingi kekuatan kapal perang German yang cepat. Keputusan Winston Churcill ini membuat Inggris bergantung akan impor minyak dari Timur Tengah. Menyadari bahwa bahan bakar krusial ini
melewati berbagai lintas batas Negara maka Winston Churcill mengemukakan keamanan energi harus menjadi salah satu perhatian para pembuat kebijakan.
Keamanan energi merupakan tujuan penting dari kebijakan energi di banyak negara di dunia. Uni Eropa memiliki tiga pilar kebijakan energi yaitu efisiensi, keberlanjutan dan keamanan ketersediaan energi.
Indonesia sendiri dalam UU no. 30 tahun 2007 menyatakan bahwa energi memiliki peranan yang sangat penting artinya bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional, sehingga pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaaatan, dan pengusahananya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, optimal, dan terpadu.
keamanan energi harus tetap dilekatkan dengan definisi keamanan berdasarkan situasi yang terjadi saat ini:
Tahun-tahun terakhir dan bulan-bulan telah meningkatkan perhatian terhadap masalah keamanan energi. Ada sejumlah kekhawatiran dan ketakutan seperti (meskipun tidak terbatas pada):
1. Minyak dan penipisan bahan bakar fosil lainnya (minyak puncak, dll)
2. Ketergantungan pada sumber energi asing
3. Geopolitik (seperti mendukung kediktatoran, meningkatnya terorisme, stabilitas negara-negara yang memasok energi)
4. Kebutuhan energi negara-negara miskin, dan tuntutan kebutuhan dari negara-negara yang pesat seperti Cina dan India
5. Efisiensi ekonomi versus perdebatan pertumbuhan populasi
6. Masalah lingkungan, khususnya perubahan iklim
7. Terbarukan dan sumber energi alternatif lainnya
8. Kerawanan energi yang dikombinasikan dengan isu-isu global lainnya berisiko memicu konflik, dan dapat mengulang kesalahan masa lalu dalam sejarah.
” Hal ini karena perluasan definisi keamanan energi tersebut juga berpotensi menimbulkan politisasi keamanan energi. Hal ini juga berisiko dijadikan pemerintah untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan tertentu. Tidak hanya itu, perluasan definisi keamanan energi juga memiliki risiko menjadikan konsep keamanan sebagai sesuatu yang banal karena apabila keamanan energi harus diperluas hingga mencakup seluruh aspek yang mengancam rantai pasokan energi, pada dasarnya hal ini dapat mencakup kerentanan terhadap semua hal. Hal ini berpotensi membawa isu keamanan sampai ke aspek-aspek paling dalam kehidupan kita.
Pada inti tujuan utama Keamanan Energi merupakan unsur vital yang harus diamankan oleh negara demi keberlangsungan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia, apapun bentuk dan isi kebijakannya.
C. Refleksi Untuk Indonesia
Meskipun Indonesia termasuk ke dalam kategori negara net eksporter energi, impor minyak dan produk olahan minyak bumi lainnya sedang mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir ( 2015). Saat ini, Indonesia tengah mereorientasikan produksi energinya dari yang awalnya berfokus untuk memenuhi pasar ekspor menjadi memunuhi konsumsi domestik yang semakin meningkat tiap tahunnya. Pendefinisian keamanan energi menjadi penting dalam perumusan kebijakan energi seperti apa yang harus diambil oleh Indonesia. Dalam merumuskan kebijakan tersebut, terdapat dua paradigma yang dapat diambil.
1. Pertama, pemerintah Indonesia dapat memberlakukan energi sebagai komoditas pasar.
2. Kedua, pemerintah Indonesia dapat memandang energi sebagai komoditas strategis.
Indonesia melakukan pendekatan pertama, energi dilihat sebagai komoditas pasar. Sehingga mendapatkan banyak intervensi dari negara.
Namun, hal ini bukan berarti bahwa pemerintah harus seutuhnya mengabaikan paradigma energi sebagai komoditas strategis. Biar bagaimana pun kita tidak dapat menafikan adanya pengaruh politik dan dinamika keamanan internasional pada isu energi. Krisis minyak I (1973), misalnya, terjadi karena sebuah keputusan politik, yaitu embargo yang dilakukan oleh negara-negara anggota OPEC.
Oleh karena itu, kembali lagi pada argumen awal, pendefinisian keamanan energi harus dilekatkan kembali pada definisi keamanan tentang negara, dan melakukan pemilihan, mana yang menjadikan energi sebagai komoditas pasar dan energi sebagai komoditas strategis. Hal ini menjadi penting karena jika suatu negara memandang isu energi sebagai isu strategis, negara tersebut akan cenderung memperjuangkan ketersediaan energi karena ia menjadi penting untuk keberlangsungan negara tersebut. Akan tetapi, jika memperlakukan energi sebagai komoditas pasar, negara tersebut akan cenderung mengejar profit. Hal ini juga dapat ditarik ke perdebatan klasik mengenai negara maju dan negara berkembang. Kepentingan dari negara-negara maju yang pada umumnya adalah importir energi adalah bagaimana mendapatkan akses energi secara mudah dan murah. Sementara bagi negara berkembang, khususnya negara produsen atau eksportir energi, tindakan negara maju tersebut sering dilihat sebagai perampasan sumber daya mereka.
D. MIGAS indonesia :
PERTEMPURAN KEDAULATAN RAKYAT VS KEKUATAN ASING
PADA KASUS CHEVRON BLOK ROKAN dan PERTAMINA bersifat POLITIS
Pengalaman kerja yang selama ini terjadi Antara pihak Asing menunjukkan bahwa kondisi migas Indonesia berada pada titik yang cukup mengkhwatirkan. Selain itu, perusahaan migas asing yang dibahas yaitu Total E&P dan Chevron yang beroperasi di Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dalam pengelolaan energi di Indonesia. Dominasi mereka di bidang hulu migas sangat berpengaruh terhadap ketersediaan energi Indonesia karena hasil dari produksi mereka kebanyakan di ekspor ke negara lain sehingga Indonesia sendiri harus mengimpor minyak. Hal ini tentu menunjukan bahwa perusahaan migas asing ini telah membuat ketersediaan energi Indonesia menjadi sedikit.
Dalam beberapa hari ke belakang isu Blok rokan sebagai salah satu wilayah konsesi kerja CHEVRON di Indonesia menjadi topik yang hangat. Mari kita telusuri wilayah kerja yang di miliki chevron Indonesia :
Chevron memegang banyak kepentingan bisnis melalui berbagai PSC di Indonesia.
Di Sumatra, perusahaan memiliki 100 persen saham yang dimiliki dan dioperasikan di Rokan PSC. Chevron juga mengoperasikan empat PSC di Cekungan Kutai, yang terletak di lepas pantai timur Kalimantan. Kepentingan ini berkisar antara 62 persen hingga 92,5 persen. Selain itu, Chevron memegang 25 persen hak partisipasi nonoperatif di Blok B di Laut Natuna Selatan. Produksi setara minyak bersih pada tahun 2016 rata-rata 203.000 barel per hari, terdiri dari 173.000 barel cairan dan 182 juta kaki kubik gas alam. Pada kuartal pertama 2016, Chevron menyarankan pemerintah Indonesia bahwa mereka tidak akan mengusulkan untuk memperpanjang PSC Kalimantan Timur dan bermaksud untuk mengembalikan aset kepada pemerintah setelah PSC berakhir pada 2018. Pada bulan Desember 2016, perusahaan menandatangani perjanjian untuk menjual aset South Natuna Sea Block B. Transaksi ini diharapkan akan ditutup pada awal 2017.
Bidang produksi terbesar adalah Lapangan Duri - Pekanbaru, yang terletak di Rokan PSC. Duri telah berada di bawah *steamflood sejak tahun 1985 dan merupakan salah satu perkembangan steamflood ( salah satu metode dalam Enhanched Oil Recovery yaitu Metode Injeksi Uap (Steam Flooding) terbesar di dunia. Program pengeboran dan workover infill terus berlanjut di 2016. Kita ketahui bahwa cadangan minyak blok tersebut berkisar antara 500 juta barel of oil equivalent sampai 1,5 miliar tanpa EOR (enhanched oil recovery). Rokan PSC berakhir pada 2021. Terdapat dua lapangan minyak raksasa di Blok Rokan, Riau. Kedua lapangan itu adalah Minas dan Duri. Lapangan Minas yang telah memproduksi minyak hingga 4,5 miliar barel minyak sejak mulai berproduksi pada 1970-an adalah lapangan minyak terbesar di Asia Tenggara.
Blok Rokan yang memiliki luas wilayah 6.264 km2. Pada 2016 lalu masih mampu menghasilkan minyak hingga 256.000 bph (barel per hari), hampir sepertiga dari total produksi minyak nasional saat ini. Chevron sudah memegang kontrak Blok Rokan sejak 1971 atau 50 tahun lalu
• menurunan viskositas minyak, mengurangi Saturasi minyak yang tersisa, menambah efek pemuaian /pengembangan, meningkatkan efek penguapan (Distillation effect) minyak sehingga pendesakan minyak lebih efektif dalam upaya meningkatkan perolehan minyak.
Ada dua proyek pengembangan gas alam laut dalam di Cekungan Kutai yang berkembang di bawah satu rencana pembangunan. Secara kolektif, proyek-proyek ini disebut sebagai Pembangunan Deepwater Indonesia. Salah satu proyek ini, Bangka, memiliki kapasitas desain 110 juta kaki kubik gas alam dan 4.000 barel kondensat per hari. Minat perusahaan adalah 62 persen. Produksi dari Bangka dimulai pada bulan Agustus 2016 dan telah mencapai kapasitas desain penuh.
Proyek lainnya, Gendalo-Gehem, memiliki kapasitas rancangan yang direncanakan sebesar 1,1 miliar kaki kubik gas alam dan 47.000 barel kondensat per hari. Minat perusahaan adalah sekitar 63 persen. Perusahaan terus bekerja menuju keputusan investasi akhir, sesuai dengan waktu persetujuan pemerintah, termasuk perpanjangan dari PSC terkait, dan mengamankan kontrak penjualan LNG baru. Pada akhir tahun 2016, cadangan terbukti belum diakui untuk proyek ini.
Di Jawa Barat, perusahaan mengoperasikan ladang panas bumi Darajat dan memegang 95% saham di dua pembangkit listrik. Lapangan memasok uap ke pembangkit listrik dengan total kapasitas operasi 270 megawatt. Chevron juga mengoperasikan dan memegang 100% saham di area panas bumi Salak di Jawa Barat, yang memasok uap ke pembangkit listrik enam unit, tiga di antaranya milik perusahaan, dengan total kapasitas operasi 377 megawatt. Pada bulan Desember 2016, perusahaan menandatangani perjanjian untuk menjual aset panas bumi di Indonesia. Transaksi ini diharapkan akan ditutup pada tahun 2017.
E. KEMENANGAN PERTAMINA SEBAGAI LANGKAH POLITIK JOKOWI MENUJU PILPRESS 2019
Mari kita lihat beberapa data menyangkut Kerugian Pertamina :
Temuan lain
1. adalah joint operating body (JOB) Pertamina-Talisman Jambi Merang melakukan amandemen kontrak sehingga Kontraktor PT CPM tidak dikenakan denda keterlambatan senilai USD2,027,222.98 atau Rp27 miliar dan PLK senilai USD508,842 atau Rp7 miliar tidak dapat di-cost recovery. Dari pemeriksaan ditemukan adanya keterlambatan waktu hingga 97 hari senilai USD2 juta karena PT CPM tidak memperhitungkan akan terjadi crossing dengan pipa TGI padahal hal itu sudah dinyatakan dalam pelelangan. Selain itu, ada amandemen kontrak yang menyebut OT. CO USD508 ribu sudah termasuk dalam scope of work kontrak. Hal tersebut berakibat kehilangan pendapatan denda sebagai pengurang cost recovery. “BPK merekomendasikan untuk menagih denda dan melakukan koreksi Temuan yang juga belum final adalah amandemen II pekerjaan technical service contract for Arco Ardjuna Dry Docking oleh PHE ONWJ tidak sesuai ketentuan mengakibatkan belum diperhitungkannya denda keterlambatan senilai USD920,209.90 atau Rp12 miliar dan kelebihan bayar senilai USD722,221.33 atau Rp9 miliar kepada Konsorsium PTK Korindo Jasa Petra-PT Jurong SML Pte.Ltd. Vendornya adalah, Konsorsium PTK Korindo-Jurong. Awal keterlambatan adalah 199 hari diakui oleh ONWJ hanya 103 hari, sehingga 96 hari kesalahan kontraktor.
2. Dugaan tipikor Pengadaan Kapal AHTS oleh PT. Pertamina Transkontinental TA. 2012. Kerugian keuangan Negara Rp.255 M
3. Dugaan tipikor penyalahgunaan investasi pada PT. Pertamina (persero) di Blok Basker Manta Gummy Australia pada tahun 2009 Kerugian keuangan Negara Rp.560 M
4. PT Pertamina (Persero) mengaku mengalami kerugian sebesar Rp 3,,9 triliun. Hal tersebut disebabkan oleh penyaluran Solar dan Premium. Direktur Pemasaran Pertamina Muchamad Iskandar mengatakan kerugian tersebut terjadi pada periode Januari hingga Februari 2018.
5. Mendekati Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2019, Jokowi mengambil keputusan untuk tidak akan menaikkan harga BBM sampai akhir 2019. Harga Premium dan Solar tak lagi mengikuti harga minyak dunia. Padahal, harga minyak sudah jauh melonjak dari kisaran USD 30 per barel ke level USD 60 per barel di 2018. Dampaknya, Pertamina menanggung kerugian dari penjualan Premium dan Solar. selisih atas kenaikan ini menjadi beban pengeluaran rutin bagi BUMN ini yang akan mengurangi laba, bahkan merugikan Pertamina dalam jangka panjang.
6. Laba Pertamina Anjlok 45% di 2014, Jadi Rp 18,5 Triliun
Segelintir data di atas memperlihatkan bagaimana :
1. PERTAMINA tidak pernah terlepas dari masalah KORUPSI, baik bersifat Internal maupun ekternal, karena Kebijakan PEMERINTAH yang tidak menempatkan dukungan penuh kepada PERTAMINA secara konsisten disertai pengawasan yang lebih ketat, melainkan pengaruh praktis kekuasaan terlihat dominan.
2. Arah kebijakan Pemerintah yang in-konsisten dengan bercampur aduknya Kebijakan pemerintah Indonesia memberlakukan energi sebagai komoditas pasar. Dan memandang energi sebagai komoditas strategis dengan sewenang-wenang tanpa memperhatikan Prinsip Keamanan Energi, yang tentunya akan membawa masalah yang sangat besar di Republik ini.
Dengan melihat kondisi PERTAMINA yang tidak pernah luput dari permainan kekuasaan di ERA JOKOWI, kemampuan PERTAMINA dalam memenangkan Blok Rokan, Chevron adalah keberhasilan yang patut untuk kita banggakan, tetapi ada pertanyaan berikutnya menunggu.
ADAKAH pertimbangan politik, termasuk tekanan publik, (isu) nasionalisasi, karena ini mendekati pemilu, atau untuk menjawab tantangan Amien Rais? terkait keputusan pemerintah menyerahkan pengelolaan blok migas ROKAN kepada Pertamina.
Sebelum menjawab itu semua, mari kita baca bahan pertimbangan dan data di bawah ini :
Jika dikatahui Saldo PERTAMINA dan Entitas anaknya
LAPORAN PERUBAHAN EKUITAS KONSOLIDASIAN
Untuk Tahun yang berakhir 31 Desember 2017
(dalam ribuan Dolar Amerika, kecuali dinyatakan lain)
sebagai berikut :
1. Modal saham ditempatkan dan disetor 13.417.047
2. Uang muka setoran modal
3. Tambahan modal di setor 2.736
4. Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya
1.361
5. Selesih Kurs karena penjabaran laporan
keuangan dalam mata uang selain US$11 (302.976)
6. Penghasilan komprehensif lainnya 790.675
7. Saldo laba dibagi 2 -->
Ditentukan penggunaannya 871.101
Belum ditentukan penggunaannya 2.540.195
8. Jumlah/Total 23.320.139
9. Kepentingan non pengendali 506.215
10. Jumlah ekuitas 23.826.354
Sumber : PERTAMINA, Laporan keuangan konsolidasian tanggal 31 Desember 2017
Ekuitas/modal (equity) adalah hak pemilik atas aktiva perusahaan yang merupakan kekayaan bersih (jumlah aktiva dikurangi kewajiban). Ekuitas terdiri dari setoran pemilik dan sisa laba yang ditahan (retained earning).
Dengan posisi ekuitas PERTAMINA yang dilaporkan dan telah di Audit pada akhir Desember 2017, Pertanyaan yang timbul :
1. Mampukah Pertamina melakukan pengelolaan 100%, dengan biaya sendiri ? dengan kondisi ekuitas US$ 23.826.354 (dalam ribuan $) per 31 desember 2017?
Jawaban :
Sungguh TIDAK MASUK AKAL dengan melihat kondisi keuangan PERTAMINA di atas.
2. Pertamina berani memberikan 'bonus signature' yang lebih besar dari Chevron. Kemudian KKP (komitmen kerja pasti) yang diajukan oleh Pertamina itu lebih besar dari Chevron ?. Kemana keuntungan Chevron selama 50 tahun ber-operasi di Indonesia jika tidak mampu memberikan penawaran yang lebih baik dan tinggi dari Pertamina?
Pertamina menjanjikan "bonus tanda tangan" atas pengelolaan Blok Rokan sekitar Rp 11,3 triliun (dan bandingkan dengan Ekuitas PERTAMINA di atas) Bonus tanda tangan adalah dana yang harus dibayarkan kontraktor ke pemerintah sebelum kontrak ditandatangani : Jawaban :
Tentu saja TIDAK MASUK AKAL dengan melihat kondisi keuangan PERTAMINA di atas.
3. Surat Menteri Rini Soemarno yang memberikan izin kepada Pertamina untuk menjual aset perusahaan dengan tunjuan menyelamatkan keuangan perseroan dalam penyediaan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Ada 3 poin tertulis pada surat tersebut.
Pertama, menyetujui secara prinsip rencana Direksi untuk melakukan tindakan-tindakan dalam rangka mempertahankan dan menyelamatkan kesehatan keuangan Perseroan, sebagai berikut:
a. Share-down aset-aset hulu selektif (termasuk namun tidak terbatas pada Participating Interest, saham kepemilikan, dan bentuk lain) dengan tetap menjaga pengendalian Pertamina untuk aset-aset strategis dan mencari mitra kredibel dan diuayakan memperoleh nilai strategis lain, seperti akses ke aset hulu di negara lain.
b. Spin-off Unit Bisnis RU IV Cilacap dan Unit Bisnis RU V Balikpapan ke anak perusahaan dan potensi farm-in mitra di anak perusahaan tersebut yang sejalan dengan rencana Refinery Development Master Plan (RDMP).
c. Investasi tambahan dalam rangka memperluas jaringan untuk menjual BBM Umum dengan harga keekonomian, seperti Pertashop.
d. Peninjauan ulang kebijakan perusahaan yang dapat berdampak keuangan secara signifikan dengan tidak mengurangi esensi dari tujuan awal.
Kedua, direksi agar secara simultan menyampaikan kajian komprehensif atas
tindakan-tindakan korporasi yang dimaksud.
Ketiga, dalam pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut Direksi dan Dewan Komisaris agar meminta persetujuan RUPS terlebih dahulu sesuai ketentuan perundang-undangan
Dari pertimbangan dan DATA di atas, maka TAMPAK terang BENDERANG, bahwa di balik pengambilan Blok Rokan – Chevron semua didasarkan pada upaya untuk mempertahankan KEKUASAAN JOKOWI MENJELANG PILPRES 2019 semata. Bukan Nasionalisme Kebangsaan yang selama ini sering di KAMPANYEKAN oleh JOKOWI serta seluruh pendukungnya.
Advertisement