Guntur Di Makam Kiai Subkhi Bambu Runcing: Kiainya Jenderal Soedirman

Parakan, Temanggung: Makam Kiai Subuki atau yang terkenal dengan nama KH Subkhi Bambu Runcing Parakan, yang wafat pada 1958, sangatlah sederhana.
Jangankan keramik, batu nisannya saja terbuat dari batu biasa seperti layaknya makam rakyat jelata.
Bahkan, jika ingin berziarah kesana dan tidak diantar penduduk setempat, dijamin Anda pasti bingung dimana letak persisnya makam Kiai Subkhi. Walaupun Anda sudah tahu makamnya di komplek Kuburan Islam Sekuncen Parakan Kauman, tapi sulit dicari karena memang benar-benar senada dengan batu nisan sekitarnya.
Padahal, di masa revolusi kemerdekaan, nama Kiai Subkhi tersohor sampai kemana-mana dan menyatu dengan kata "bambu runcing".


Di kalangan Nahdliyin, Kiai Subkhi adalah salah satu tipologi Kiai NU yang jadi sumber spirit dan penyemangat para pejuang Hizbullah dan Sabilillah di garis depan perlawanan terhadap agresor Belanda.
Menariknya, selain dikenal sebagai pendiri NU Temanggung (1926), Kiai Subkhi belakangan dapat julukan juga sebagai "Kiai-nya Jenderal Soedirman". Julukan itu terkait catatan sejarah perjalanan Jenderal Soedirman yang berangkat dari Purwokerto menuju Ambarawa guna mengusir pasukan Sekutu.
Saat itu Pak Dirman mampir dulu di Parakan, lalu persenjataaan yang dibawa pasukannya didoakan Kiai Subkhi dibantu para santri. Kemenangan di Palagan Ambarawa bukan hanya mengibarkan nama Kolonel Soedirman yang pada akhirnya ditunjuk menjadi Panglima Besar, tapi juga menyohorkan nama Kiai Subkhi.
Keterbatasan persenjataan modern di masa revolusi kemerdekaan, membuat para pejuang menggunakan senjata apa adanya termasuk bambu runcing. Inilah senjata terbanyak yang digunakan pejuang saat itu untuk mengusir Belanda dan Sekutu.
Penggunaan bambu runcing menghadirkan peran sejarah Kiai Subkhi. Beliau diminta para pejuang mendoakan dan mengisi senjata Bambu Runcing dengan tenaga dalam. Orang jawa menyebutnya "Bambu Runcing e disepuhke".
Menurut berbagai sumber catatan sejarah, lebih dari 10 ribu orang setiap hari datang ke Parakan guna menyepuhkan bambu runcing. Mereka berasal dari berbagai wilayah di pulau Jawa, Madura, bahkan luar Jawa.
Pada waktu itu suasana kota Parakan bagaikan seperti di Mekah. Setiap hari terlihat antrian panjang orang menyepuhkan bambu runcing layaknya para jama’ah haji saat thowaf. Baik siang maupun malam Parakan sangat ramai.
Begitu banyaknya jumlah bambu runcing yang harus disepuhkan, sehingga Kiai Subkhi memerintahkan beberapa santri untuk membantu menyepuhkan.
Santri yang diperintahkan membantu tidak sembarangan tapi dipilih yang sudah hafal Al-Quran. Termasuk almarhum kakek saya, KH Istakhori Syam'ani Al-Hafidz yang pada saat itu berusia 20 tahun.
Kemarin, lebaran hari ketiga (27/06/2017) saya mudik ke Parakan, Temanggung. Rutinitas setiap tahun kami sekeluarga berziarah ke makam kakek saya yang bersebelahan dengan makam Kiai Subkhi.
Tentu, setelah mendoakan kakek dan nenek, saya mendoakan Kiai Subkhi.
Tapi, kali ini agak aneh. Belum sempat saya berdiri, tepat selesai mendoakan Kiai Subkhi, terdengar suara guntur yang agak panjang. Gejala alam biasa ataukah isyarat pertanda sesuatu?
(Faris Mujaddid, cucu almarhum KH Istakhori Syam'ani Al Hafidz, pelaku Sejarah Bambu Runcing Parakan)

Advertisement