Wartawan Senior Ini Blak-blakan Nulis Sosok M.Anis Seperti Ini, Weh, Ternyata Dulunya Begini
Amang Mawardi, wartawan senior di Surabaya, yang juga seniman, menulis sosok M. Anis, wartawan senior juga yang seniman --- dan sekarang M Anis adalah Pimred ngopibareng.id.
Seperti apa M Anis? Bagi Amang, Anis tak cuma wartawan yang militan, seniman lukis, tapi juga penyair yang gigih memperkenalkan karyanya sejak remaja. Ada kisah sepeda onthel. Baca aja. Menarik deh.
Oleh : Amang Mawardi
NAMA lengkapnya Moh Anis, salah satu sosok fenomenal di Bengkel Muda Surabaya/BMS (organisasi kesenian yang dibentuk oleh Dewan Kesenian Surabaya). Kalau mengerjakan sesuatu selalu serius dan istiqomah.
Dalam dunia jurnalistik dia meraih tiga kali Anugerah Prapanca, sebuah penghargaan tertinggi yang banyak didambakan wartawan di Jawa Timur.
Dua kali menjadi Ketua Festival Seni Surabaya pada tahun 2002 dan 2003, iven ini sukses luar biasa. Presiden Megawati bahkan sampai hadir pada perhelatan tersebut.
Dan prestasi terakhir yang diraihnya, sudah 10 kali menyelenggarakan Pasar Seni Lukis Indonesia, sebuah acara rutin setahun sekali yang diikuti dua ratusan pelukis se-Tanah Air.
Di luar itu semua ada satu hal yang membikin saya tersenyum jika mengingatnya.
Pada sekitar pertengahan tahun 1970-an kehidupan sastra begitu marak di Surabaya, antara lain ditandai dengan munculnya buku-buku antologi puisi bersama. Mengapa? Mungkin lantaran biayanya ditanggung sama-sama dan masing-masing peserta bisa urunan puisi. Kalau bikin antologi solo, boleh jadi berat di ongkos dan terbentur masalah produktifitas.
Suatu hari saya ketemu Anis dengan sepeda ontelnya di Jalan Tegalsari depan Gedung Serba Guna Unair (sekarang bekas lahannya dipakai apa saya kurang tahu).
Rupanya dia baru dari kantor perwakilan harian Sinar Harapan dekat kantor Kodim Surabaya Selatan.
Jelasnya, Anis barusan memperkenalkan buku antologi solonya yang salah satu puisinya kalau tidak salah berjudul “Segerombol Burung-burung …” yang jenaka tapi filosofis. Puisi ini pernah dibacakannya di kampus AWS (Akademi Wartawan Surabaya) dalam acara Malam Chairil Anwar dan mendapat aplaus panjang.
Saya bayangkan hari itu betapa capeknya Anis keliling kantor-kantor media di Surabaya untuk memperkenalkan puisi-puisinya yang termuat dalam buku antologi itu.
Cekas aos, saya menerima antologi tunggalnya yang akan saya promosikan di harian Pos Kota tempat saya bekerja sebagai koresponden di Jawa Timur.
Selang kemudian berita antologi tunggal Anis dimuat pada opening halaman dalam Pos Kota disandingkan dengan berita saya yang lain yakni tentang kunjungan mahasiswa Fakultas Publisistik Universitas Hasanudin ke kampus AWS yang dipimpin ketua senat Marwah Daud (kelak jadi tokoh perempuan Golkar).
Pada suatu hari koran yang muat berita puisi-puisi Anis itu saya masukkan tas, lantas saya datangi markas BMS di Balai Pemuda, siapa tahu ketemu Anis. Tapi saat ketemu, saya bilang "Nis, sori, korane lali ga tak gowo (Nis, maaf, koran yang muat berita antologi tidak saya bawa. Lupa)". Anis bilang dengan kalem, "Gak masalah, santai aja …"
Berikutnya ketemu Anis lagi saya katakan seperti di atas. Dan Anis menjawab seperti biasanya, kalem. Padahal koran yang muat berita antologi Anis itu masih ada di tas saya.
Ada apa? Intinya saya sungkan. Atau mungkin kikuk. Ternyata terjadi salah teks caption foto. Foto Anis tertulis teks Marwah Daud. Begitu sebaliknya. Kesalahan pada layout man di Jakarta. (Sepurane ya, Pak Anis...).
Pada jauh kemudian hari, persisnya pada saat pembukaan pameran lukisan Makhfoed dan Ruang Imajinasi di Galeri Prabangkara, Taman Budaya Jawa Timur, Kamis malam 16 November lalu, atas penjelasan Anis saya baru tahu kalau judul buku antologi puisi Anis di atas “Sekarang Ada Senggang Panjang Bersatu dalam Petualanganku”.
Buku kumpulan puisi ini diterbitkan pada tahun 1977 oleh FBSS (Fakultas Bahasa Sastra dan Seni) IKIP Negeri Surabaya (sekarang Unesa). Saat itu Anis adalah mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia pada fakultas tersebut.
Setelah penerbitan buku antologi puisi itu Anis benar-benar berpetualang. Persisnya pada tahun 1977 hingga 1983, bekerja di Saudi Arabia.
Meski sudah tidak berhubungan lagi dengan Anis, namun saya – dan mungkin teman-temannya yang lain – mengikuti perkembangan Anis karena tulisan-tulisannya selama “bertualang” di Saudi berupa feature sering dimuat di koran Surabaya Post. Pada waktu itu Surabaya Post masih menjadi koran yang terbanyak tirasnya di Jawa Timur.
Pulang dari Saudi Arabia pada tahun 1983 Anis ketemu Agil H Ali Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Memo dan ditawari kerja di koran tersebut.
“Kamu saya gaji 40 ribu rupiah,” ujar Agil. “Siap, Mas !” sahut Anis mantap.
Padahal saat bekerja di Saudi dia bergaji (kalau dikurs ke rupiah) Rp 1.200.000. Waktu itu kurs dollar masih sekitar seribu rupiah.
Sejak saat itu Anis resmi menjadi wartawan. Kemudian pindah ke Surabaya Post. Selama menjadi wartawan – sebagaimana saya singgung pada awal tulisan ini – Anis telah menorehkan banyak prestasi dengan meraih tiga kali Anugerah Prapanca, disusul dengan beberapa penghargaan di bidang jurnalistik lainnya.
Beberapa tulisan Anis berupa laporan perjalanan sering saya ikuti, termasuk perjalanan naik haji melalui jalan darat pada 15 Februari 1990 hingga 17 Juli 1990 yang dimuat Surabaya Post.
Setelah Anis meliput bencana Gunung Kelud meletus pada 12 Februari 1990, lima hari kemudian Anis melakukan perjalanan hajinya. Dimulai dari Kalimantan Timur, terus ke Tawao-Sabah, Kinibalu, lantas menyeberang laut ke Johor, dilanjutkan ke Thailand, Myanmar, Banglades, India, Nepal, Pakistan, balik ke India. Kemudian ke Pakistan lagi, menyeberangi perbatasan Iran, dilanjut ke Irak, Turki, Suriah, dan Libanon-Yordania. Baru kemudian mencapai Saudi Arabia.
Saya membayangkan betapa serunya Anis melakukan perjalanan darat itu, dan banyak pengalaman yang bisa dipetik. Tentu hanya yang bermental baja yang sanggup melakukan “petualangan” tersebut.
Kisah perjalanan haji via darat itu selang beberapa tahun kemudian diikuti oleh Bahari wartawan Jawa Pos, yang kemudian diangkat ke layar perak yang kalau tidak salah diperankan oleh aktor Abimana Aryasatya.
Sebelum Bahari melakukan perjalanan haji via darat tersebut, Anis dua kali diundang oleh Leak Kustiya pemimpin redaksi Jawa Pos untuk dimintai saran-saran mengingat sebelumnya Anis pernah melakukan hal yang sama.
Rupanya petualangan Anis tidak berhenti di situ. Tahun itu juga terjadi Perang Teluk I. Oleh redaksi Surabaya Post Anis ditugasi untuk melakukan liputan. Pada November 1990 Anis terbang ke Pakistan, lantas menyeberang ke Iran, terus Turki. Namun lantaran tidak bisa masuk ke Irak dan Anis masih punya sisa uang, Anis gunakan untuk masuk ke Hadramaut selama 20 hari.
Pulang dari meliput Perang Teluk I, Anis membuahkan sebuah buku perjalanan selama 20 hari tinggal di Hadramaut.
Kalau tidak salah, orang-orang Arab yang tinggal di kawasan Sasak Surabaya, konon kakek-moyangnya banyak yang berasal dari Hadramaut.
Saat ngobrol dengan Anis pada pembukaan pameran lukisan salah satu maestro Surabaya tersebut, ikut bergabung sebentar Sabrot Malioboro dan Henri Nurcahyo.
Selama 33 tahun berkecimpung di bidang kewartawanan, Anis telah bergabung dengan 14 media, Selain Memo dan Surabaya Post, di antaranya adalah tabloid Detik sebagai wapemred, tabloid Adil sebagai redaktur pelaksana, juga redaktur pelaksana pada media on line Presiden Sby, pemimpjn redaksi media on line Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan sekarang menjadi pemimpin redaksi media on line ngopibareng.
Saya membayangkan tentu akan asyik jika suatu hari membaca autobiografi Anis, atau setidaknya monografi Anis di bidang jurnalistik.(*)
Advertisement