Untuk Indonesia, Jangan Tanya Pengorbanan Umat Islam
UMAT Islam meski mayoritas dan kuat keyakinan keagamaaanya, sungguh mencitai dan menjadi tonggak penyangga keindonesiaan yang setia. Umat juga sangat toleran dan menjunjung tinggi kebhinekaan.
Keislamannya tidak opisisi biner dengan keindonesiaan dan kemajemukan bangsa, bahkan menjadi perekat utama. Islam menjadi kekuatan integrasi nasional, ujar Prof.Dr. Koentjaraningrat.
Merupakan suatu ironi dan melukai hati manakala umat Islam dianggap sebagai golongan eksklusif, yang hanya mementingkan urusannya sendiri. Keislaman juga bukan tidak berseberangan dengan keindonesiaan. Jika ada yang berlogika, “Tak perlulah bicara Islam, sebutlah Indonesia”. Pandangan itu justru beraroma ekslusif, karena mengandung makna penegasian Islam di negerinya sendiri.
Tak perlu ada Islamofobia di negeri Muslim terbesar ini, karena watak umatnya juga toleran dan menjadi penyangga utama Indonesia. Ketika terdapat arus aspirasi umat Islam untuk memperoleh hak dan keadilan, sungguh bukankah primordialisme.
Aspirasi itu ekspresi yang wajar, lebih-lebih salurannya demokratis dan konstitusional. Jangan pandang Islam di negeri ini sebagai ancaman keindonesiaan dengan segenap pilarnya.
Advertisement
Pandangan negatif itu tentu sangat tidak beralasan. Perjuangan umat Islam melawan penjajah beratus tahun sarat heroisme. Islam dan umat Islam sangat ditakuti Penjajah, hingga memggunakan berbagai muslihat yang licik.
Para tokoh seperti Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol harus menyerah karena ditipu. Snouck Hurgronje bahkan harus mengaku Muslim untuk dapat masuk ke Saudi Arabia guna mempelajari Islam untuk menaklukkan perlawanan umat Islam.
Ketika pergerakan nasional awal abad keduapuluh menggunakan cara-cara modern, umat Islam pun berdiri di garda depan. Adalah Sarekat Islam dan Muhammadiyah yang memelopori pergerakan Islam modern untuk melawan penjajah dan mengubah nasib rakyat Indonesia yang terbelakang menuju gerbang kemerdekaan dan kemajuan.
Lahirnya Hizbul Wathan atau Pasukan Tanah Air tahun 1918 salah satu contoh kepeloporan bela bangsa kala itu, sebagai wujud jihad fisabilillah. Tatkala Indonesia diambang retak satu hari setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dalam peristiwa Piagam Jakarta, umat Islam melalui tokoh utamanya Ki Bagus Hadikusumo dengan mediator Kasman Singodimedjo memberi jalan keluar, meski harus berkorban luar biasa.
Padahal Piagam Jakarta kala itu merupakan Gentlement Agreement semua golongan, yang pelopor utamanya ialah Sukarno. Para tokoh Islam yaitu Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosujoso, dan Abdul Wahid Hasyim, sebagai anggota Panitia Sembilan yang disebut mewakili golongan Islam harus merelakan tujuh kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pengorbanan keyakinan Islam itu, meski ada unsur siasat tidak fair, dilakukan para wakil umat Islam demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kurang apalagi sebenarnya pengorbanan dan komitmen umat Islam Indonesia untuk bangsa dan negaranya. Jika mau memaksakan kehendak sebagai mayoritas pasti terjadi.
Advertisement
Lebih-lebih tokoh sentral seperti Sukarno menjadi pemrakarsa dan sangat mendukung Piagam Jakarta itu, hingga pada 5 Juli 1959 dalam Dekrit Presiden, konsisten menjadikan Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD 1945. Itulah hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia, ujar Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara.
Namun ibarat ibu yang melahirkan anak, kasih sayangnya melampaui luasnya samudra. Meski laksana anak gemuk yang memperoleh baju sempit karena semua diberi pakaian berukuran sama, umat Islam tetap selalu memberi tak pernah meminta lebih. Apalagi tatkala ada segolongan kecil menguasai kue nasional yang melampaui takaran, umat Islam tetap tak marah meski hatinya terluka dan dirinya marjinal dari pusaran utama Indonesia.
Maka dalam keindonesiaan, termasuk di dalamnya kebhinekaan, sesungguhnya ada nilai-nilai utama yang mesti dijadikan pedoman dan ditegakkan oleh seluruh komponen bangsa. Tumpuannya pada nilai-nilai fundamental yang hidup subur dalam bumi rakyat Indonesia, sebutlah Agama dan Pancasila.
Agama di negeri ini bahkan telah menjadi jiwa kebangsaan dan mendapat tempat konstitusional sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang-tubuhnya pasal 29. Ingatlah kemerdekaan Indonesia itu berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Agama juga telah hidup mendarahdaging dalam jatidiri bangsa jauh sebelum negara Indonesia terbentuk.
Agama harus memperoleh tempat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Agama apapun tidak boleh disepelekan, diabaikan, dan dipinggirkan dari denyut nadi kehidupan bangsa dan negara.
Sekali agama dan perasaan beragama dicederai, dinodai, dan dinista oleh perangai yang semberono maka keindonesiaan dan kebhinekaan pun terlukai. Ada niat atau tidak diniati, tindakan yang berakibat pada pencederaan keyakinan dan rasa keberagamaan tetaplah bermasalah dan muaranya menodai keberagamaan. (adi)
Advertisement