Ekonom seperti Rizal Ramli pun menyebut revaluasi aset BUMN sebagai senjata. Saya pun setuju. Dengan syarat: pajak yang timbul akibat revaluasi harus ditunda. Toh ini sama-sama negara: kantong kiri kantong kanan. Menteri keuangan pasti tidak setuju. Sudah tugasnya untuk banyak tidak setuju. Tapi di atas menkeu kan masih ada presiden. Yang bisa memutuskan apa saja. Termasuk penundaan pajak BUMN. Jangan sampai seperti PLN. Pajak revaluasinya dibayar lunas. Sekitar 15 triliun. Sedang revaluasi itu tidak menghasilkan pendapatan. Hanya menghasilkan utang. Yang juga harus dibayar bunganya. Kas PLN pun terkuras. Seandainya ada di dalam negeri saya akan undang teman-teman pengusaha. Khususnya yang bergerak di ekspor. Cobalah kita diskusikan dengan santai. Ekspor apa saja yang kita masih bisa lakukan. Kita buat daftarnya. Sepanjang-panjangnya. Daftar itu kita susun kembali. Diubah urutannya. Disesuaikan dengan skala prioritasnya. Pengusahalah yang tahu semua itu. Bukan birokrat. Tugas birokrat menyesuaikan aturannya. Agar target ekspor terpenuhi. Seminggu penuh pembahasan itu dilakukan. Siang malam. Pastilah lahir daftar panjang tersebut. Dari situlah angka ekspor bisa disusun. Bisa tahu mencapai berapa. Kalau kurang, didiskusikan lagi. Sampai ketemu angka yang ideal. Itu untuk kemajuan ekonomi negara. Kalau perlu, ekspor menjadi 'perang baratayudha' zaman ini. Agar upacara 17 Agustus tahun depan bisa lebih meriah. Ingat, HUT Kemerdekaan tahun depan adalah yang ke-75. Angka misteri. Kalau tidak, justru tahun depan kita merayakannya dalam keadaan resesi.(Dahlan Iskan) Kemerdekaan RI Neraca Perdagangan