Ditambahkan Dwi, pihaknya menduga, karena KPK memiliki batas waktu 1x24 jam, maka demi mengejar waktu, pemohon ditetapkan tersangka tanpa melalui gelar perkara. “Ini kan namanya abuse of power. Saya yakin Hakim melihat ini sebagai fakta dalam mengambil keputusan nanti,” ungkap advokat dari kantor hukum IHZA & IHZA Law Firm itu. Selain itu di persidangan juga terungkap fakta, bahwa pada saat OTT dilakukan KPK di rumah dinas Walikota Batu, ketika itu Eddy Rumpoko sedang berada di kamar mandi. Sama sekali tidak pernah menerima uang suap yang didalilkan KPK. Karena faktanya, barang bukti uang Rp. 200 juta disita dari pengusaha Filipus Jap, yang menjadi tersangka penyuap. Bukan dari tangan Eddy Rumpoko. “Saat itu Filipus Jap bertamu ke rumah dinas walikota, masih duduk di pekarangan rumah dinas. Eddy Rumpoko sedang mandi. Tiba-tiba datang KPK dilakukan OTT. Proses ini juga menjadi concern kami dalam mengajukan permohonan praperadilan. Apalagi sekarang terungkap, bahwa pemohon ditetapkan tersangka lebih dulu, baru dilakukan gelar perkara,” tukas Dwi. Langgar SOP KPK Di tempat terpisah, Ridwan Parapat, praktisi hukum dari Kantor Advokat Togar M. Nero, mengungkapkan, terkait dengan gelar perkara yang dilakukan setelah penetapan tersangka adalah pelanggaran terhadap SOP KPK yang digunakan Deputi Penindakan. Diungkapkan Ridwan, di dalam SOP KPK, di Bagian 23, Pasal 57 tentang tindak lanjut OTT, disebutkan di ayat 2 sampai 5, tertulis adanya kewajiban dilakukan gelar perkara terlebih dahulu sebelum menetapkan seseorang yang di-OTT menjadi tersangka. “Artinya, penetapan tersangka tanpa diawali gelar perkara terlebih dahulu, atau gelar perkara dilakukan setelah penetapan tersangka, jelas melanggar SOP mereka (KPK, red) sendiri. Dan dalam hukum formil, hal itu adalah tidak sah,” pungkasnya. Tom