"Daging ini berasal dari Australia, lalu kita lakukan penindakan bersama Dinas Peternakan. Barang buktinya yang kami dapatkan 5 ribuan daging sapi impor, 740 daging kerbau impor, 1.000 kikil, 3 kepala sapi lokal," ujar Arman. Arman menambahkan, melalui aksinya yang dilakukan sejak tahun 2014 hingga 2019, tersangka SWR mendapatkan omzet sebesar Rp 150 juta per bulan. Dari situ, setiap bulannya ia mendapat keuntungan Rp 50 juta, maka dalam setahun ia bisa meraup Rp 5 Miliar."Pelaku ini sudah menjalankan usahanya yang tak memenuhi rekom dari Dinas Peternakan selama 5 tahun. Ini dijual ke masyarakat di Jatim, masuk pasar lokal," kata dia. Sementara itu, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet) Dinas Peternakan Jatim, Juliani Poliswari, mengatakan bahwa SWR telah memperdagangkan dagingnya dengan cara yang tak memenuhi syarat dan rekomendasi, yakni tidak memiliki Nomor Kontrol Veteriner (NKV). Semua produk daging impor, kata dia, harus mendapat rekomendasi dari Dinas Peternakan, Bidang Kesehatan masyarakat veteriner. Juliani menegaskan, NKV mestinya wajib disematkan kepada produk makanan, khususnya impor. "Semua jenis unit usaha dan produk asal hewan itu harus memiliki nomor kontrol venteriner. Intinya, untuk penjaminan keamanan pangan. Jadi dasar untuk hygiene dan sanitasi," kata dia. Atas perbuatannya, SWR dijerat dengan Pasal 135 Juncto Pasal 71 ayat (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Namun, tersangka tidak dilakukan penahanan. Polisi menyebut, ancaman hukuman pasal tersebut di bawah lima tahun penjara, yakni maksimal dua tahun penjara dan/atau dengan denda Rp 4 miliar. "Maksimal penjara 2 tahun dan denda 4 Miliar. Tidak ditahan karena ancamannya dibawah 5 tahun. Saat ini tempat penyimpanan kita segel police line," pungkas Arman.