Kepasrahan Nabi Ismail, Akhirnya Menggemakan Takbir
Menggemakan takbir, merupakan ikhtiar pemosisian diri manusia atas kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala (SWT). Hamba yang kecil, mengagungkan kebesaran Tuhannya. Dalam Qishashul Anbiya’ (Kisah-kisah Para Nabi), tergambar jelas betapa para Utusan Allah itu, berpasrah diri di hadapan Sang Khaliq. Inilah kisah di balik Idul Adha dari redaksi ngopibareng.id.
Mereka segera beranjak dari Arafah. Namun setibanya di Mudzdalifah Nabi Ibrahim AS mengajak mereka untuk beristirahat sejenak. Saking capainya mereka ketiduran. Saat itu Nabi Ibrahim AS bermimpi. Dalam mimpinya ia merasa mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih Ismail. Nabi Ibrahim AS terbangun dengan terkejut.
“Astaghfirullah,” kata Nabi Ibrahim AS dalam hati. “Mungkinkah setan yang telah memberiku mimpi buruk?” Namun esok malamnya, mimpi itu terulang kembali hingga tiga kali. Akhirnya ia membicarakan hal itu kepada Ismail.
“Nak, sesungguhnya ayah telah bermimpi sebanyak tiga kali. Dan dalam mimpiku, Allah memerintahkanku untuk menyembelihmu. Bagaimana menurut pendapatmu?” tanya Nabi Ibrahim AS.
Advertisement
“Ayahku, jika memang mimpi itu perintah Allah, maka laksanakanlah. Insya Allah engkau akan mendapatiku sebagai anak yang berbakti dan sabar,” jawab Ismail.
Nabi Ibrahim AS sangat bersedih hingga menitikkan air mata. Bagaimana tidak, setelah bertahun-tahun tidak bertemu, kini ia harus menyembelih putera tercintanya. Ismail memantapkan hati ayahnya.
Maka esoknya Ismail berdandan dengan baju terbaiknya. Kepada Siti Hajar mereka pamit untuk berjalan-jalan. Di tengah jalan mereka bertemu seseorang.
“Hai Ibrahim. Betapa kejam hatimu hingga tega menyembelih anakmu sendiri,” katanya.
Nabi Ibrahim AS segera menyadari siapa yang menegurnya. Ia mengambil batu kerikil dan melempari orang itu. Kelak inilah yang dalam ibadah haji disebut Jumratul Ula.
“Dengan nama Allah pergilah kau setan,” kata Nabi Ibrahim AS.
Setan itu pun lari ketakutan dan menghilang.
Lalu muncul lagi orang yang kedua. Ia pun mengatakan hal yang sama dan Nabi Ibrahim AS melemparinya dengan batu juga. Inilah yang disebut Jumratul Wustha.
Muncul lagi yang terakhir yang juga dilempari batu oleh Nabi Ibrahim AS. Yang ini disebut sebagai Jumratul Aqobah. Kemudian sampailah mereka di bukit Mina tempat Nabi Ibrahim AS akan menyembelih Ismail.
“Nak, benarkah kau ikhlas dengan perintah Allah ini?” tanya Nabi Ibrahim AS.
“InsyaAllah,” jawab Ismail. “Tapi aku meminta padamu untuk meringankan deritaku. Ikatlah kedua tangan dan kakiku. Tutuplah mukaku dengan baju ini. Percepatlah gesekan pedangmu. Lalu sampaikan salam dan berikan pakaianku kepada ibuku untuk kenang-kenangan.”
“Baik anakku. Aku akan melakukan permintaanmu,” kata Nabi Ibrahim AS dengan hati hancur.
Ismail berbaring terlentang di atas sebuah batu, sementara pedang Nabi Ibrahim AS telah berada di lehernya.
“Bismillahirrohmanirrohiim..” suara Nabi Ibrahim AS begitu gemetar.
Sesaat sebelum pedangnya menyentuh kulit Ismail, terdengar suara ghaib memecah angkasa.
“Wahai Ibrahim kau telah membuktikan ketaatanmu kepada Allah. Dan Allah berkenan memberimu balasan yang setimpal.”
Di depan Nabi Ibrahim AS kini berdiri sesosok malaikat yang bercahaya. Ia menuntun seekor domba yang besar dan bagus.
“Allahu Akbar, Allahu Akbar..” salamnya.
“La Ilaaha Illalahu, Allahu Akbar..” sahut Nabi Ibrahim AS.
“Allahu Akbar, Walillahil Hamdu,” lanjut Ismail.
“Wahai Ibrahim. Allah memerintahkan untuk mengganti kurbanmu dengan seekor domba. Sembelihlah domba itu sebgaia ganti anakmu. Makanlah dagingnya dan jadikanlah hari ini sebagai hari raya bagimu. Sedekahkanlah sebagian dagingnya kepada fakir miskin. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang taat,” kata Malaikat.
Nabi Ibrahim AS dan Ismail sangat gembira. Mereka menyembelih domba tersebut dan membagi-bagikan sebagian dagingnya kepada fakir miskin.
Demikian kisah-kisah di balik perayaan Idul Adha atau dikenal dengan Idul Qurban. Semoga kita mampu meneladani dan mengambil hikmah dari kisah-kisah Para Nabi. (adi)
Advertisement