Kasasi, Mantan Walikota Probolinggo Malah Divonis Lebih Berat
Mahkamah Agung (MA) akhirnya menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap mantan Walikota Probolinggo, HM Buchori. Vonis MA itu dua kali lipat dibandingkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Tinggi (PT) Jatim sebelumnya yakni, hukuman dua tahun penjara.
Hal itu diungkapkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kota Probolinggo, Martius Chaniago kepada wartawan, Kamis, 20 September 2018. Dikatakan sebenarnya salinan putusan MA itu diterima Kejari Kota Probolinggo, 30 Agustus 2018 lalu. Sedangkan putusan kasasi ditetapkan oleh majelis hakim MA pada 20 Agustus 2018.
Martius menambahkan, dalam amar putusannya MA menolak permohonan kasasi terdakwa HM Buchori dan mengabulkan permohonan kasasi penuntut umum Kejari Kota Probolinggo serta membatalkan putusan pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Surabaya.
Mantan walikota dua periode itu dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama. Selain menjatuhkan pidana empat tahun, terdakwa juga dipidana denda sebesar Rp 200 juta.
“Jika denda itu tidak dibayar, maka diganti pidana kurungan 3 bulan,” ujar Kajari. Tidak hanya itu, terdakwa korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) bidang pendidikan tahun 2009 itu juga berkewajiban membayar pengganti kerugian negara sebesar Rp 375 juta.
Karena sudah menjalani hukuman penjara sekitar dua tahun, terpidana bakal menjalani separo lagi (dua tahun) hukumannya. Seperti diketahui, HM Buchori telah ditahan saat kasus DAK tersebut mencuat.
Kajari mengaku, segera melaksanakan putusan MK yang diberi tenggang waktu tidak sampai seminggu. Karena terpidana sudah ditahan di Lapas Medaeng, Kajari akan mengekskusinya di dalam tahanan.
Dihubungi terpisah, penasihat hukum HM Buchori, SW Djando Gadohoka mengaku, kaget karena kliennya divonis lebih berat di tingkat kasasi. “Terus terang kami belum menerima salinan putusan dari MA,” ujarnya.
Djando mengaku, akan berkoordinasi dengan klien dan keluarganya untuk menyikapi putusan tersebut. “Jadi kami belum tahu, apakah menerima putusan itu atau akan mengajukan PK (Peninjauan Kembali, Red.),” ujarnya. (isa)