Jelang Musda DKJT: Ini Komentar Lagi dari Beberapa Pelaku Seni
Hari Selasa 25 Juni besok, Dewan Kesenian Jawa Timur mengadakan Musyawarah Daerah yang diikuti utusan dari Dewan Kesenian Kabupaten/Kota seJatim. Berikut adalah komentar dan harapan dari beberapa pelaku seni di Jatim.
Â
Kris Adji AW, Perupa, Gresik:
Sebagai lembaga yang  dekat dengan  pemerintah, DKJT dalam program kedepannya tentu berkewajiban mengacu pada hasil kongres kebudayaan 2018 yang melahirkan Undang undang Pemajuan Kebudayaan dan 7 resolusi kebudayaan.
Terpenting adalah pembenahan hubungan antara Dewan Kesenian Kabupaten/Kota dengan DKJT. Selama ini terkesan DKJT mau hidup sendiri dan tak peduli pada  hidup matinya DK Kabupaten/Kota. Bahkan cenderung kalau  punya gawe yang  butuh suara dan rekomendasi,  baru nyenggol Kabupaten/Kota.  Tapi keberadaannya sering diabaikan.
Contoh saja, berapa banyak Kabupaten/Kota yang  hidup enggan  mati tak mau. Ada kegiatan tapi tak punya SK, atau ada SK tapi tidak  jalan.  Tapi DKJT cuma datang dengan pencitraan, tidak ada sikap pembelaan atau bantuan terkait keberadaan lembaga tersebut,  maupun aktivitas keseniannya.
Advertisement
Belum lagi masalah-masalah budaya di daerah, terutama kesenian tradisi yang jangankan mau merawat dan melestarikannya, datanya pun mungkin tidak punya. Nah... masih perlukah DKJT?
Â
Muit Arsa, Perupa, Surabaya:
Sebagai penggerak seni rupa di Jatim , saya merasa keberadaan DKJT selama ini belum  memberikan kontribusi yang  signifikan bagi perkembangan seni,  khususnya seni rupa. Hal itu disebabkan mandulnya biro-biro atau komite-komite yang ditunjuk menanganinya.
Untuk itu perlu adanya evaluasi serta komitmen yang sungguh-sungguh  bagi seluruh pengurus dalam menjalankan roda  DKJT kedepan.
DKJT perlu penyegaran pengurus,  agar lebih hidup mengingat keberadaan DKJT selama ini kurang dianggap oleh seniman karena  minimnya kontribusi  yang  diberikan.
Untuk kedepannya saya berharap  DKJT diurus oleh figur-figur  yang siap tempur, mau bekerja keras untuk kemajuan kesenian di Jatim, dan yang terpenting pengurus yang tak mata duiten agar dana yang ada benar-benar  dipakai sesuai dengan  fungsinya.
Â
Bambang Budiono, Akademisi FISIP Unair:
Dalam Musda DKJT, menurut saya  selain organisasi Dewan Kesenian Kabupaten/Kota,  para seniman juga mestinya memiliki hak suara.
Pendekatan multi stake holder  teruji cukup membantu. Karena  pendekatan itu merajut modal sosial lebih luas dan  lebih kuat.
Asumsinya, setiap sumber modal sosial, misalnya jaringan dokter, birokrat, atau pengusaha, budayawan dll, pasti punya potensi sumberdaya  yang  tidak dimiliki oleh pemeran lain. Begitu juga sebaliknya.
Tetapi kalau sumberdaya  itu dipersatukan di bawah prinsip moral dan  prinsip teknis, misal manajemen tata kelola yang  bisa diterima semua pihak, lembaga bisa menjadi besar dan  kuat.
Kelemahannya, kalau  jejaring multi stake holder ini dicederai seccara  moral, trust atau kepercayaan akan berkurang atau hilang. Dan mereka menyingkir satu demi satu.
Â
Je Muhammad, praktisi seni, Sumenep:
Advertisement
Dewan Kesenian Kabupaten  Sumenep mati suri. Tidak pernah terdengar kegiatannya. Barusan ketua saya kontak tentang rencana Musda DKJT, tapi tidak ada respon apa. Belum up date  informasi dari DKJT, katanya.   Saya merasa heran saja.
Nah, kalau kondisi dewan kesenian seperti ini, lantas siapa yang jadi utusan untuk mengikuti Musda DKJT mewakili Sumenep? Seharusnya kan ada, dan itu hak Sumenep untuk mengirim utusan. Saya dan banyak teman di Sumenep yang sangat berminat untuk mengikuti Musda DKJT. Tetapi bagaimana karena tidak diundang. Aspirasi-aspirasi dari daerah, terutama dari Sumenep kan juga perlu diakomodasi oleh DKJT? Â
Â
Chrisman Hadi, Ketua Dewan Kesenian Surabaya:
Saudara Jil Kalaran dalam tulisannya di Ngopibareng.id berkaca pada New York Art Council. Menurut saya hal itu terlalu jauh. Â Di sana, pengurus New York Art Council malah para profesional antara lain lawyer, dokter, akademisi, jurnalis, filantrophis dan lain-lain.
Mereka itu mencarikan jalan untuk para seniman agar lebih leluasa dalam berkarya. Urusan para seniman adalah berkarya, sedang yang ngurusi art councilnya adalah para profesional yang memiliki komitmen kuat pada pemajuan kebudayaan.
Saya tetap berpendapat, kepemimpin DKJT berbentuk  kolektif saja yaitu Presidium dengan tiga orang ketua.
Â
Meimura, Praktisi Seni, anggota BPH DKJT 2014-2019:
Saya ingin menjawab  beberapa poin tulisan Saudara Bonari di Ngopibareng.id.
Ada contoh sangat menarik ketika  Aribowo sebagai Ketua Umum DKJT tahun 1998 mendapat keluhan dari beberapa daerah tentang biaya izin keramaian untuk penyelenggaraan Sindir  (tandak an) dan Jaranan yang  musti dibayar pada  beberapa meja. Hal itu  dirasakan sangat mahal oleh para seniman di daerah.
Maka Aribowo membahasnya secara serius dan sampai pada keputusan DKJT akan  melakukan pendekatan ke beberapa daerah semacam advokasi.
Dengan dicapainya kesepahaman dengan  daerah atas persoalan yang  ada,  otomatis arah menuju kesejahteraan seniman mulai ada karena sudah tidak perlu lagi mengeluarkan anggaran yang  berlebih untuk perizinan. Yang penting mereka tetap dapat berekspresi   sebagaimana mestinya.
Contoh kedua tentang  Asuransi Kesehatan di era almarhum Ahmad  Fauzi, merupakan hasil dari pertemuan berulang-ulang antara BPH, Komite,  Anggota  Pleno yang  kemudian disampaikan kepada Bapak  Gubernur dan DPRD Provinsi.
Itulah contoh kecil terkait dengan  statemen saya  bahwa menyejahterakan seniman dan kesenian bukan semata-mata  membagi duit dari anggaran. (nis)
Advertisement