"Genjer-Genjer" Menyengsarakan Keluarga M Arif
Gak hanya pencipta lagu Genjer-Genjer M Arif yang menghilang. Sejak G-30-S PKI, keluarga M Arif, ikut sengsara.
Era 60-80an itu, keluarga PKI di manapun, memang sudah untuk berkembang. Mereka dikucilkan masyarakat. Baru abad 21 ini, anak-anak PKI dan simpatisannya, berani muncul lewat seminar di LBHI Jakarta, atau malah live di Indonesia Laywer Club (ILC) TV-One kemarin lusa.
Ini beda dengan keluarga yang ditinggalkan M Arif. Gara-gara bapaknya menciptakan Genjer-Genjer, mereka jadi ikut menderita.
Sinar Syamsi (61), anak dari M Arif, saat ditemui Kompas.com, tiga tahun lalu, mengisahkan, rumah ayahnya di Jalan Kyai Shaleh Nomor 47, Kelurahan Temenggungan, Banyuwangi, dihancurkan oleh massa pada 30 September 1965. Ayahnya, Muhammad Arief pamit keluar rumah. Belakangan diketahui, ayahnya ditangkap Corps Polisi Militer (CPM).
Syamsi bersama Suyekti, ibunya, kemudian membakar buku-buku bacaan yang berbau aliran kiri milik ayahnya. Ia bersama ibunya juga sempat menjenguk M Arif di Markas CPM.
Advertisement
"Bapak ditahan tentara, dan itu terakhir saya bertemu dengan beliau. Sempat dengar, katanya bapak dipindah ke Kalibaru, dan dengar lagi bapak sudah dipindah ke Malang," katanya.
Terakhir, ia mengetahui bahwa Muhammad Arif ditahan di Lowokwaru, Malang.
"Teman bapak yang cerita. Sampai saat ini saya tidak tahu bapak ada di mana. Dia tidak pernah kembali," kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
Sementara itu, ibunya, Suyekti, yang asli Jawa Tengah, memilih untuk tinggal di Banyuwangi di rumah warisan keluarga.
"Kasihan ibu saya. Stigma sebagai keluarga PKI membuat ia tertekan. Ibu meninggal pada tahun 1997. Sampai hari ini, sering ada yang melempari rumah menggunakan batu. Saya kepikiran untuk menjual rumah ini, dan pindah ke mana gitu. Capek dicap sebagai keluarga PKI," ujarnya.
Istri Syamsi, Titik Puji Rahayu, asal Magelang, bersama ketiga anaknya, Cahyo, Andi, dan Rama, tinggal di Tangerang. Cap sebagai keluarga PKI terus menghantui keluarga Syamsi.
Syamsi mengakui, masih memiliki dokumen-dokumen kreatif saat ayahnya menulis lagu. "Kepikiran mau saya bakar. Akhirnya nggak jadi. Mau saya jual juga untuk mencukupi kebutuhan hidup, tetapi mau tidak mau, saya harus tahu diri karena ini dokumen sejarah. Entahlah, saya akan menyimpannya terus. Nggak tahu nanti mau diserahkan sama siapa. Yang penting mereka mau menghargai sejarah," katanya.
Saat ini, Sinar Syamsi tinggal seorang diri di rumah warisan keluarganya di Kelurahan Singotrunan.
Diakui, ayahnya M Arif, sempat bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berhaluan kiri, binaan PKI. Lagu itu sangat lagu popular pada masa itu. Haji Andang CY seniman, serta serta Hasnan Singodimayan, sesepuh seniman Banyuwangi, menyebutkan lagu Genjer-genjer menjadi lagu populer di era tahun 1960-an.
Kedekatan lagu Genjer-genjer dengan tokoh-tokoh Lekra dan komunis memang tak dapat dipungkiri. Bahkan dalam sebuah perjalanan menuju Denpasar, Bali pada tahun 1962, Njoto seorang seniman Lekra dan juga tokoh PKI sangat kesengsem dengan lagu Genjer-genjer ini.
Waktu itu Njoto memang singgah di Banyuwangi dan oleh seniman Lekra diberikan suguhan lagu genjer-genjer. Tatkala mendengarkan lagu Genjer-genjer itu, naluri musikalitas Njoto segera berbicara. Ia segera memprediksikan bahwa lagu Genjer-genjer akan segera meluas dan menjadi lagu nasional. Ucapan Njoto segera menjadi kenyataan, tatkala lagu Genjer-genjer menjadi lagu hits yang berulang kali ditayangkan oleh TVRI dan diputar di RRI.
Di Banyuwangi sendiri, hingga kini, seniman kendang kempul, musik khas Banyuwangi, juga dilarang membawakan lagu itu.
Para seniman tua Banyuwangi pada masa itu seperti Hasnan Singodimayan, dan Haji Andang CY, juga dilarang membawakan Genjer-Genjer dalam versi apapun, termasuk kendang kempul dan gandrung.
Hingga sekarang, keberadaan M Arif, tak pernah terkuak. Ia juga tidak pernah lagi pulang ke rumahnya. (dmr/bersambung)
Advertisement