Berjiwa Independen, Hamka: Kursiku adalah Buatanku Sendiri
Sosok Hamka yang ramah, akrab dengan anak muda. Tiada jarak dengan segala lapisan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari sejarah Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta. Hamka saat itu baru pindah ke Jakarta diminta saran Yayasan Pesantren Islam (YPI).
“Manakah yang akan dibangun lebih dahulu, bangunan sekolah ataukah masjid, mengingat dana yang ada sangat terbatas?.”
“Bangunlah masjid lebih dahulu!”. Demikian Hamka memberi saran.
Hamka kemudian sebagai pemimpin, khatib dan Imam Besar Masjid Agung Al-Azhar yang pertama kali menggerakkan kegiatan masjid yang paling luas pengaruhnya di tanah air itu. Ceramah-ceramah subuh di Jakarta dipelopori Masjid Agung Al-Azhar. Seperti diketahui dari sejarah, masjid Al-Azhar menjadi kubu pertahanan umat Islam terhadap Komunis/PKI yang hendak menguasai Indonesia sebelum lahirnya Orde Baru.
Dari kompleks Masjid Agung Al-Azhar yang selesai dibangun pada 1957 itu Hamka menggerakkan penerbitan majalah Gema Islam, dan memimpin majalah Panji Masyarakat sejak terbit hingga ditinggalkan untuk selamanya.
Advertisement
Hamka menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama pada 1975 hingga 1981. Dia berhasil membangun citra MUI sebagai lem-baga independen dan berwibawa untuk mewakili suara umat Islam. Hamka menolak mendapat gaji sebagai Ketua Umum MUI.
Menteri Agama H.A. Mukti Ali (almarhum) mengatakan, “Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri.”
Dalam sejarah hidupnya kita membaca Hamka mengisi tempat yang penting di dalam perjuangan kemerdekaan nasional di Sumatera Barat. Selanjutnya tahun 1950-an dia aktif dalam Dewan Pimpinan Masyumi.
Salah satu statemen yang melukiskan muruah (martabat) sebagai pemimpin umat, antara lain tatkala politik menjadi “panglima” sekitar 1950-an. Hamka mengatakan, “Kursi banyak, dan orang yang ingin pun banyak. Tetapi kursiku adalah buatanku sendiri.”
Sebagai pengawal akidah umat, Hamka sebagai Ketua Umum MUI, menyampaikan masukan kepada Presiden Soeharto mengenai persoalan Kristenisasi. Sikap Presiden sejalan dengan pandangan MUI bahwa kalau hendak menciptakan kerukunan beragama, maka orang yang sudah beragama jangan dijadikan sasaran untuk propaganda agama yang lain.
Pada awal dekade 70-an Hamka mengingatkan umat Islam terhadap tantangan al-ghazwul fikri (penjajahan alam pikiran). Menurut Hamka, penjajahan alam pikiran beriringan dengan penghancuran akhlak dan kebudayaan di negeri-negeri Islam.
Sekularisasi atau sekularisme adalah setali tiga uang dengan ghazwul fikr (sesat pikir) yang dilancarkan dunia Barat untuk menaklukkan dunia Islam, setelah kolonialisme politik dalam berbagai bentuk gagal.
Di mata tokoh Nahdlatul Ulama (NU) K.H.A.Syaikhu dalam buku Hamka Di Mata Hati Umat, Hamka menempatkan dirinya tidak cuma sekedar pimpinan Masjid Agung Al-Azhar atau organisasi Muhammadiyah saja, tetapi juga sebagai pemimpin umat Islam secara keseluruhan, tanpa memandang golongan. (bersambung)
Advertisement