Apa Ada Wanita Yang Mau Saya Nikahi, Tanya Pak Parni
Kandang sapi itu berada di halaman belakang. Menempel pada rumah berdinding bata di Dusun Grintingan Desa Lohjejer, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember.
Jalan dusun di depan rumah sederhana itu belum beraspal. Masih berupa tanah dengan tanaman rumput tinggi di kanan kiri. Usai hujan jalanan langsung berubah mirip sawah. Di ruang tamu tidak ada perabotan kecuali tv tabung 14 inci kotor, dan selembar tikar anyaman dari plastik. Kursi tamu yang sudah reyot dan tidak lengkap, berada di luar.
Untuk masuk ke dusun ini dari arah Wuluhan atau Puger, harus melewati jalan makadam yang rusak berat. Naik kendaraan apapun akan terguncang keras sepanjang kira-kira 2 kilometer, sebelum sampai di rumah yang ada kandang sapinya tadi.
Parni ditemui pertama kali berada di dalam kandang sapi. Entah dia melakukan apa, tapi di dalam kandang tidak ada sapinya. Cuma ada tumpukan ranting kering untuk kayu bakar. Juga tidak ada aroma menyengat, pertanda kandang itu sudah lama tidak berpenghuni. Maksudnya tidak dihuni sapi.
Advertisement
Dari kegelapan kandang, Parni keluar. Wajahnya terkena sinar matahari sore yang pada hari Rabu pekan lalu tertutup awan tebal.
Melihat wajah Parni di tempat yang lebih terang, sungguh amat mengejutkan. Sekaligus juga menyedihkan. Wajahnya tertutup oleh puluhan benjolan berbagai ukuran. Maaf, sekali lagi maaf, wajah Parni mirip monster. Sekali lagi maaf.
Benjolan terbesar di wajahnya kira-kira sebesar kepalan tangan balita. Menggantung persis di sisi kanan hidung, menutup lubangnya. Dua benjolan lain yang lebih kecil menggantung di alis, bersama belasan benjolan lain yang lebih kecil hingga menutupi matanya. Menurut Parni, kedua matanya nyaris tak bisa untuk melihat karena tertutup benjolan-benjolan itu.
Karena lubang hidung sebelah kanan juga tertutup oleh benjolan, maka sebentar-sebentar dia harus mengangkat benjolan itu agar bisa bernafas. Kasihan sekali Parni.
Dia lupa, bahkan tidak tahu tahun berapa dia lahir. “Kula mboten sekolah, mboten kimutan tahun pinten kula lahir," katanya, katanya dalam bahasa Jawa. Saya tidak sekolah, jadi tidak tahu tahun berapa saya lahir.
Kabupaten Jember termasuk kawasan Pendhalungan, umumnya berbahasa Madura. Tetapi di wilayah barat daya, sekitar Kecamatan Ambulu, Wuluhan, Balung dan Puger, masyarakatnya mayoritas berbicara dengan bahasa Jawa.
Parni menderita penyakit Neurofibromatosis atau Von Recklinhausen Neurofibroma. Disebut juga Von Recklinhausen Neurofibroma, sebagai penghargaan kepada Prof. Dr. Friedrich Daniel von Recklinghausen (1833 – 1910), seorang ahli patologi Jerman yang pertama kali memperkenalkan penyakit ini pada tahun 1882.
Neurofibroma adalah istilah medis yang digunakan untuk menggambarkan tumor jinak dengan pertumbuhan lambat yang tidak menimbulkan rasa sakit, dan dapat ditemukan di sistem saraf manapun. Neurofibromatosis adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan, disebabkan oleh cacat genetik atau gen, bisa juga diturunkan dari orang tua meskipun tidak mutlak.
Parni biasa dipanggil Bethu, punya tiga saudara. Dia punya dua kakak yaitu Juariyah (60) dan Jemani (56), serta seorang adik Kotibin, 46 tahun. Juariyah tinggal di dusun sebelah, Jemani bersebelahan rumah dengan Parni, sedang Kotibin tinggal di desa lain tapi masih wilayah Kecamatan Wuluhan.
Advertisement
Ketiga saudara Parni serta anak-anak mereka semua normal. Artinya tidak muncul benjol-benjol di tubuh mereka. “Bapak saya dulu juga normal. Mbah saya juga,” kata Juariyah, kakak sulung Parni ditemui di rumahnya di dusun sebelah.
“Sejak kecil Parni itu memang kasihan sekali. Dia masih kecil saat kami semua dulu membantu ibu mencari kayu di hutan. Saya dan ketiga adik saya ikut masuk hutan cari kayu untuk dijual, uangnya dibuat beli gaplek buat makan keluarga,” kata Juariyah didampingi suaminya, Suwadi.
Persis di selatan Dusun Grintingan berjarak tak lebih dari 2 kilometer, memang nampak bagian dari Pegunungan Iyang yang cukup terkenal. Di sebelah selatannya lagi, nyaris sejajar dengan pegunungan itu membentang pantai selatan Lautan Hindia. Dua tempat terkenal di balik pegunungan itu adalah pantai Puger dan Watu Ulo.
Ke hutan di lereng Pegunungan Iyang inilah Juariah dan ketiga adiknya diajak ibu mereka mencari kayu. “Sejak kecil Parni sudah ikut kerja mencari kayu, jadi ya tidak sekolah. Ibu tidak punya uang untuk menyekolahkan anak-anaknya. Bapak saya meninggal saat Parni masih kecil,” kata Juariyah, juga dalam bahasa Jawa.
Ibu keempat bersuadara ini, Kasemi, akhir bulan Januari 2018 lalu meninggal dunia dalam usia 83 tahun. Juariyah mengaku berusia 60 tahun. "Kalau tidak salah Parni itu sekarang umurnya 50 tahun. Saya lupa tahun berapa dia lahir," tambahnya.
Juariyah juga lupa berapa usia adiknya itu ketika benjolan pertama muncul di tubuhnya. “Kalau tidak salah benjolan pertama muncul ketika usianya 10 tahun atau 15 tahun. Pertama kali benjolan muncul di kaki kanannya. Terus saya bawa ke rumah sakit untuk dioperasi . Waktu dioperasi di rumah sakit dia teriak-teriak sakit. Habis itu benjolannya makin banyak. Dia sudah tidak mau lagi dioperasi. Karena sakit,” lanjutnya.
Advertisement
Sepeninggal ibunya bulan lalu Parni tinggal sendiri di dalam rumah peninggalan. Tidak ada orang lain, karena ketiga saudaranya masing-masing sudah memiliki rumah. Hingga sekarang dia belum menikah.
"Takut," jawabnya ketika ditanya soal nikah. Kenapa? “Napa wonten tiang setri purun kula nikahi?” Jawab Parni dalam bahasa Jawa, di rumahnya. Apa ada wanita yang mau saya nikahi, katanya. Kami sama-sama diam.
Tahun sembilanpuluhan, keluarga Parni pernah hendak melamar seorang wanita dari Desa Ampel, juga di Kecamatan Wuluhan, untuk dinikahkan dengan Parni. Semua saudara Parni ikut mengantar ke rumah calon pengantin yang berjarak sekitar 5 kilometer.
“Setelah kami tiba di rumah wanita tersebut, ternyata rumahnya kosong. Tidak ada orang sama sekali. Dari tetangga kami memperoleh informasi, keluarga itu dua jam sebelumnya telah keluar semua. Kata tetangga pula, mereka melarikan diri, termasuk wanita yang akan kami nikahkan dengan Parni. Ya sudah, kami balik pulang. Sejak itu Parni seperti putus asa. Dia sama sekali tidak mau diajak ngomong soal calon istri. Dia yakin tidak ada wanita yang mau dikawini karena penyakitnya itu, ” cerita Suwadi, kakak Ipar Parni, didampingi istrinya, Juariyah.
Parni sendiri kini tidak bekerja. Untuk makan sehari-hari dia dibantu saudara-saudaranya dengan cara dikirimi makanan matang. “Ya kami yang membantu kirim nasi dan sayuran. Lha dari mana dia dapat uang untuk beli makan, wong dia tidak kerja. Dulu dia kerja nyabit rumput untuk makanan sapi. Tapi sekarang dia sudah tidak bisa bekerja. Matanya sudah tertutup benjolan-benjolan,” kata Juariyah.
Advertisement
Dulu Parni bekerja merawat sapi dengan sistem bagi hasil atau paron. Artinya pembagiannya separuh untuk yang merawat separuh untuk pemilik sapi. Sapi dipelihara sejak usia beberapa bulan. Setelah dua tahun sapi itu dijual dan hasilnya dibagi dua antara dia dengan pemiliknya.
Setiap hari Parni harus menyabit rumput untuk makan sapi. Hewan ternak itu juga harus selalu dibersihkan. Kalau sapi itu kelak dijual dengan harga Rp 15 juta misalnya, maka Parni mendapatkan setengahnya, yaitu Rp 7,5 juta. Itu penghasilan dia dari memelihara seekor sapi selama dua tahun.
Tapi itu dulu. Sudah bertahun-tahun kandang sapi di belakang rumah Parni tidak berpenghuni. Isinya cuma ranting-ranting berbagai tanaman untuk kayu bakar. Parni sudah lama tidak memelihara sapi dengan sistem bagi hasil atau paron.
“Beberapa tahun lalu saya disundang sapi. Bahu kanan saya patah. Sampai sekarang masih terasa sakit. Sejak itu saya berhenti memelihara sapi. Apalagi mata saya sudah tidak bisa melihat penuh karena tertutup benjolan. Saya bisa melihat, tapi samar-samar. Pernah saya jatuh di sawah. Jadi ya sudah, saya pasrah saja karena tidak bisa lagi bekerja,” kata Parni dalam bahasa yang lebih sederhana.
“Kula pasrah mawon. Kalian Gusti Allah dipun paringi pejah kula nggih ikhlas. Dipun paringi urip kula nggih ikhlas,” kata Parni dalam kalimat yang datar. Wajahnya melihat ke depan. Kedua matanya tak nampak, karena tertutup benjolan-benjolan. Dia seakan-akan berbicara pada dirinya. Bukan bicara dengan orang lain. “Saya pasrah saja. Oleh Gusti Allah diberi mati saya ya ikhlas. Mau diberi hidup saya ya ikhlas.”
Video berdurasi 3,40 menit tentang Parni saya kirimkan melalui WA kepada seorang dokter spesialis saraf yang tak mau disebut namanya dari RSUD dr. Soebandi, Jember. Astaghfirullah, jawabnya pertama kali setelah membuka video yang saya kirim.
Melihat kondisinya rasanya sulit menyembuhkan penderita. Secara medis sulit. Yang bisa dilakukan adalah dengan memberinya vitamin agar daya tahannya meningkat. Dan badannya sehat. “Mungkin itu saja yang bisa kita lakukan seandainya penderita dibawa ke RS Patrang,” katanya melalui WA. RS Patrang adalah sebutan lain untuk RSUD dr. Soebandi.
Bupati Jember yang juga seorang dokter, maupun Kepala Dinas Sosial Kabupaten Jember dan Kahumas Kabupaten Jember, tidak memberi tanggapan setelah saya kirimi video yang sama.
Tapi sebelumnya, Kepala Desa Lohjejer, Joko Santoso yang ditemui di kantornya mengaku sudah memiliki data tentang Parni.
“Ya, saya sudah pernah temui warga atas nama Parni dari Dusun Grintingan yang berpenyakit seperti itu. Yang bersangkutan sudah pernah mendapat bantuan sembako, dan sudah kami ajukan untuk dicatat Dinas Sosial Kabupaten agar bisa mendapat bantuan sembako secara rutin. Datanya sudah kami ajukan,” kata Joko Santoso.
Mungkin, Parni tidak membutuhkan sekadar sembako. Yang lebih penting adalah juga cinta, mungkin saja. Soal yang lain-lain dia sudah legawa. (m. anis)
Advertisement