Advertisement
Antara Persebaya, Jawa Pos dan Walikota

Stadion Gelora 10 November Surabaya tinggal kenangan bagi Persebaya. Persatuan sepakbola yang pernah jadi kebanggaan warga kota Surabaya itu tidak bisa lagi bermain di Tambaksari, karena stadion yang mampu menampung hingga 30 ribu penonton itu oleh Pemkot Surabaya dinyatakan sebagai cagar budaya.
Cagar budaya? Kan termasuk bangunan baru, selesai dibangun tahun 1951, masak masuk katagori cagar budaya? Kalau tidak boleh digunakan untuk sepak bola, lantas dipakai untuk apa? Apa mau dijadikan monumen? Atau mau dijual, terus di atasnya dibangun mall?
Pertanyaan-pertanyaan itu layak diajukan oleh warga kota Surabaya. Sejak walikota Surabaya dijabat Doel Arnowo tahun 1950 s/d 1952, warga kota Surabaya sudah akrab dengan Stadion Tambaksari. Dinamakan Stadion Tambaksari, karena lokasinya berada di wilayah Kecamatan Tambaksari. Stadion legendaris ini berada di pusat kota, jaraknya dari Kantor Pemkot Surabaya tak sampai 1,5 kilometer. Wajar bila banyak investor yang mengincar.
Advertisement
Karena pintu Stadion Tambaksari tertutup bagi Persebaya, akhirnya kandangnya bergeser ke ujung barat kota Surabaya yaitu ke Stadion Gelora Bung Tomo yang berada di Kecamatan Benowo, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Gresik. Lokasinya termasuk terpencil. Stadion ini dibangun pada masa akhir kepemimpinan Walikota Bambang Dwi Hartono.
Tapi baru separuh musim Liga II mengunakan Gelora Bung Tomo (GBT) sebagai kandang, Persebaya kembali ‘terusir’. Pintu GBT lagi-lagi ditutup untuk Persebaya. Pertandingan terakhir yang dihelat Persebaya di GBT berlangsung 27 Juni lalu, saat melawan juara Liga Indonesia dua kali yaitu Persik Kediri untuk menyambut ulang tahun ke 90 Persebaya.
Untuk menjamu tamu-tamunya dalam lanjutan Grup 5 kompetisi Liga II, Persebaya tidak diperbolehkan lagi menggunakan GBT. Karena dua stadion yang ada di Surabaya sudah tertutup, maka untuk lanjutan Liga II setengah musim berikutnya, Persebaya rencananya akan menggunakan Stadion Delta Sidoarjo sebagai kandang. Sampai kapan, tidak ada yang mampu menjawabnya. Aneh juga Persatuan Sepak Bola Surabaya berkandang di kota tetangga.
Harus diakui, Persebaya sekarang identik dengan Jawa Pos. Persebaya sudah jauh berubah, tidak seperti dahulu ketika warga Surabaya seakan ikut memiliki. Sejak beberapa waktu lalu Persebaya berubah menjadi PT, dan mulai akhir tahun lalu sebagian besar sahamnya dimiliki Jawa Pos. Dalam struktur organisasinya yang sudah modern, CEO Grup Jawa Pos Azrul Ananda, duduk sebagai Direktur Utama PT Persebaya Indonesia.
Apakah Persebaya yang dikendalikan Azrul Ananda sekarang ini masih ada hubungannya dengan Persebaya yang didirikan Paijo dan M. Pamoedji pada 18 Juni 1927 dengan nama Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond atau SIVB? Ya jelas tidak berhubungan.
Sebenarnya posisi Persebaya yang identik dengan Jawa Pos ini banyak manfaatnya. Salah satunya promosi Persebaya bisa lebih gencar dilakukan melalui Jawa Pos sebagaimana Jawa Pos gencar memberitakan cabang olahraga bola basket.
Advertisement
Tapi dampak buruknya, apabila ada pemberitaan di Jawa Pos yang mengkritisi kebijakan Pemkot Surabaya, maka kerjasama dalam hal penggunaan stadion itu bisa terganggu.
Konon, menurut sebuah sumber, memang hal inilah yang sebenarnya terjadi. Walikota Surabaya Tri Rismaharini tidak berkenan terhadap pemberitaan di Jawa Pos, sehingga beliau marah dan akhirnya melarang Persebaya menggunakan stadion GBT.
Berita yang tidak dikehendaki walikota itu dimuat pada terbitan 27 April 2017 sebagai head line halaman Metropilis dengan judul “Hore, Surabaya Ranking ke 27”. Dalam berita itu Jawa Pos memuat hasil penilaian Tata Kelola Daerah yang menempatkan kota Surabaya berada di peringkat ke 27 dari hasil survei pemeringkatan 32 ibukota provinsi se Indonesia. Artinya, kota Surabaya lebih buruk dibanding 26 kota lainnya, dan hanya lebih bagus dibanding 5 kota lain di Indonesia. Marahlan walikota.
Sebagian besar masyarakat terutama warga kota Surabaya memang banyak yang memuji gaya kepemimpinan Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Tetapi harus diakui ada juga orang yang berpendapat bahwa dia mengelola Surabaya dengan emosi plus 'tangan besi.'
Kalau dia memutuskan Stadion Tambaksari dijadikan cagar budaya, maka jadilah cagar budaya. Kalau dia mau Persebaya tidak boleh main di stadion GBT, maka Persebaya dipersilahkan main di stadion lain. Termasuk saat Persebaya menjadi tuan rumah melawan Persatu Tuban pada laga lanjutan Liga 2 hari Kamis (6/7) lusa.
Bagi Jawa Pos, kasus Persebaya ini tentu jadi pelajaran berharga. Mencantumkan kata “Hore” pada judul berita di atas, adalah ekspresi kegembiraan terhadap penilaian buruk yang diberikan pada kota Surabaya. Begitulah mungkin persepsi walikota.
Jawa Pos yang sejak pencalonannya selalu mendukung Risma, mengapa sekarang mengkritisinya? Mungkin hanya Azrul Ananda selaku CEO Grup Jawa Pos sekaligus Dirut PT Persebaya Indonesia yang mampu menjawabnya. (anis)

Advertisement
Advertisement