4 Jam Demi Mendapat 1,5 Liter Air Sungai di Ruas Mameh-Windesi
Sulitnya membuka akses untuk Trans Papua sudah bukan cerita baru. Banyak kisah-kisah menarik di dalamnya yang bisa menyunggingkan senyum bagi siapapun. Termasuk kisah tim lapangan ketika membuka akses koridor ruas Mameh-Windesi untuk bisa ditemukan dengan koridor dari Batas Provinsi Papua di Selatan.
Beratnya medan Pegunungan Wondiboy, seolah jadi tembok pemisah alami antara Kebupaten Teluk Wondama dengan kawasan barat wilayah kepala burung lainnya dari akses darat. Di ruas inilah, Trans Papua Barat akhirnya tersambung dengan Trans Papua.
“Pengerjaan paket ruas Mameh-Windesi baru tembus pada Desember 2017. Ruas ini akhirnya bisa tersambung dengan paket Trans Papua yang dari arah Batas Provinsi-Simpang Goro tepat di kampung Werianggi. Kalau dari arah Manokwari tepat di KM 330+913,” terang Muchlis Mahmud, Koordinator Pengawas Lapangan (Korwaslap) PPK IV.01 Satker PJN Papua Barat Wilayah Bintuni.
Tersambungnya ruas Mameh-Windesi dengan ruas Simpang Goro-Wasior-Batas Provinsi mengakhiri perjuangan panjang yang ditempuh sejak 2011. Usaha itu tentu saja bukan tanpa pengorbanan mental dan fisik.
Advertisement
“Pada 2014, saya pernah terhenti di jalur yang sudah terbuka dalam kondisi kehabisan bekal air. Kembali tidak mungkin karena jauh, maju juga tidak mungkin karena jalan belum tembus. Akhirnya bersama teman, saya turuni jurang mencari air,” kata Sekawan Lumbantoruan Sihombing, Pengawas Lapangan dari PPK IV.01.
Kisah tragedi penuh tawa pun dimulai. Jurang curam yang dituruni ternyata penuh tanaman berduri. Otomatis, pergerakan keduanya kerap terhambat dan berulangkali terperosok. Butuh waktu sekitar 2 jam sebelum Sihombing dan rekannya menemukan aliran air di dasar jurang. Yang membuat sedikit nervous setelah puas menuntaskan dahaga, persediaan air yang akan dibawa ke atas hanya sebotol plastik besar bekas air kemasan.
Perjalanan berat pun kembali dilakukan untuk naik ke atas. Kendati badan terasa lebih segar setelah minum air sungai tapi cuaca panas yang menyengat membuat fisik mereka terkuras.
“Apalagi Pardede teman saya kan badannya besar. Bisa dibayangkan bagaimana susahnya kami naik kembali ke atas. Lama kami naik ada sekitar tiga jam baru sampai di mobil. Airnya... Sudah habis,” ungkap Sihombing yang tak kuasa melepas tawanya ketika menceritakan kisah ini.
Ternyata, selama perjalanan naik air di botol sedikit demi sedikit dihabiskan Pardede. Kombinasi cuaca panas dan medan menanjak membuat Pardede tak kuat menahan godaan habiskan persediaan air.
Dengan perasaan campur aduk, situasi itu bukannya menimbulkan kecemasan. Mereka justru tergelak membayangkan perjalanan turun naik demi sebotol air sungai kemasan 1,5 liter.
Kisah ini menjadikan penanganan Trans Papua memang tidak boleh dilakukan dalam kondisi tertekan. Apapapun permasalahan yang terjadi di lapangan, harus dihadapi dengan ketegasan dan sikap terbuka plus sedikit humor untuk melepas ketegangan.
Apalagi Trans Papua ditujukan untuk menjadi pembuka daerah-daerah pemekaran yang selama ini terkendala akses darat mengejar ketertinggalan dengan provinsi lainnya. (gem
Advertisement