Tradisi Budaya Bedah Sumber Petani Desa Gogodeso, Blitar
Tradisi budaya bedah sumber masih dipertahankan secara turun-temurun oleh masyarakat Blitar, Jawa Timur. Tradisi ini dianggap sebagai cara untuk mengingat asal-usul tanah yang ditempati juga tanah untuk menanam dalam keberlanjutan kehidupan dalam persediaan ketahanan pangan.
Dalam mempertahankan tradisi ini, para petani pemilik lahan berdatangan dan berkumpul di Sumber Gilang, Desa Gogodeso, Kecamatan Kanigoro, Blitar, Jawa Timur, Jumat Legi, 24 Januari 2025 pukul 06.00 WIB.
Mereka menggelar terpal sebagai alas untuk meletakkan beberapa ambeng (makanan untuk kenduri). Selanjutnya, mereka duduk melingkar di bawah pepohonan besar, tempat mata air mengalirkan air untuk mengairi sawah para petani yang berada di tiga di dusun, yakni Ngade, Serut, dan Dogong.
Kepala Desa Gogodes, Suwandi Aribawa menyampaikan pesan kepada para petani tentang harapannya untuk melestarikan tradisi budaya bedah sumber. Selanjutnya, tokoh agama setempat, Widianto menyampaikan ujub (harapan dalam mengantarkan doa sebagai hajat ritual doa), dan doa-doa agar para petani dalam memanfaatkan air mendapatkan keberkahan, dan mendapatkan panen yang melimpah.
Ketua Gapoktan sekaligus budayawan Desa Gogodeso, Heri Dwi Rudi P menyampaikan bahwa sumber ini keberadaannya terlihat sebagai peninggalan seperti situs batu bata yang ada di Candi Penataran.
Sumber Gilang ini, lanjut Heri, dulunya menghidupi tiga dusun. Seiring berkembangnya zaman, sumbernya semakin surut akhirnya hanya lahan Dusun Ngade dan Serut yang bisa terairi dari sumber gilang.
“Bedah sumber merupakan tradisi leluhur yang diwariskan ke kita. Sebenarnya kalau mengacu dari sesaji yang dikenduren, memang arahnya mohon lantaran kalau nabi ya, Nabi Khidir dan Nabi Ilyas,” tuturnya.
“Nabi Ilyas dan Nabi Khidir dijaliki sawab pendongene bareng-bareng ing ngarsane Gusti. (Nabi Ilyas dan Nabi Khidir dimintai melalui doanya bersama-sama kepada Tuhan). Nabi Ilyas yang menguasai lemah (tanah), Nabi Khidir yang menguasai banyu (air) tanah dan air bisa menghidupkan tanaman,” sambung Heri.
Heri menyebut yang menjaga tanaman Dewi Sri. Ia juga menambahkan, ada istilah Sri Sedono. “Sebenarnya Sedono pamomonge sebangsa ular agar makan hama wereng, ada yang beranggapan bahwa Sedono yang memelihara wereng,” imbuh dia.
Harapannya, terang Heri, dengan ujuban seperti ini ada empat jurusan yaitu bumi, air, tanaman dan hama. “Bedah sumber ngaweruhi (menyapa) isilahnya danyang. Ini danyang bukanlah setan,” jelasnya.
Menurut Heri, danyang berasal dari kata Dat Yuang atau istilahnya Zat yang disucikan. Orang yang berhasil membuka lahan dianggap petani sebagai orang yang suci. Sehingga orang Jawa menyebutnya danyang.
“Melalui tradisi bedah sumber, diharapkan petani di desa Gogodeso tetap ingat dengan asal usulnya tanah yang ditinggali, dan tanah tempat menanam,” terang Heri.
Di setiap desa di Pulau Jawa biasanya mempunyai danyang, dan desa tersebut biasanya dipagari. Makanya dalam menyampaikan ujub disebutnya Banjar Pekarangan. Terhadap jasa-jasanya sebagai pengingat, sehingga diadakan supaya walaupun sudah tidak ada secara fisik.
“Tetapi kelanggengannya masih mempunyai sawab (dampak) sampai jaman sekarang menurut anggapan orang Jawa,” papar Heri.
“Kita orang Jawa mempunyai budaya adiluhung, makrokosmos, dan mikrokosmosnta tetap dilestarikan. Sehingga energi tersebut bisa menyatu dalam diri kita sebagai petani, untuk bisa menyatu dengan alam itu. Menyatu denga pemangku wilayah, Dewi Sri dan Sedono, dengan Nabi Khidir dan Nabi Ilyas,” paparnya.
Heri juga menilai, orang Jawa mempunyai falsafah perspektif pemikiran tentang masa sekarang, masa lalu, dan masa yang akan datang. “Orientasi berpikir manusia Jawa itu, tidak hanya memikirkan masa sekarang. Dia memikirkan saat ini, saat dirinya hidup yang sedang dijalankan juga memikirkan masa lalu dan masa yang akan datang,” ujarnya.
Masa lalu, lanjut Heri, buat pegangan hidup masa sekarang. Sedangkan pegangan masa sekarang buat bekal untuk masa yang akan datang, saat manusia meninggal dunia atau tidak ada jasad.
“Sesaji atau kenduri yang dilakukan saat bedah sumber sebagai anasir empat perkara yaitu angin, tanah, api dan air itu juga diperingati. Menyatunya energi antara makrokosmos dan mikrokosmos yang mewujudkan satu energi gerak langkah manusia untuk mengolah lahan pertanian, untuk ketahanan ketersediaan pangan,” pungkasnya.
Advertisement