Sujud Syukur Tanpa Wudhu, Bolehkah?
Seringkali kita menyaksikan seorang Muslim melakukan sujud syukur di depan umum. Baik di pengadilan, maupun sepulang dari ibadah haji. Atau pada kesempatan lain, yang mengundang perhatian banyak orang.
“Bagaimana tata cara untuk sujud syukur. Apakah boleh disembarang tempat. Lalu apa bedanya dengan sujud tilawah,” tanya Harun Amin, warga Putatjaya Surabaya, pada ngopibareng.id.
Mengenai sujud syukur dan sujud tilawah, akan dijelaskan secara detail sehingga umat Islam memahami dan menjalankannya sesuai ajaran agama Islam. Redaksi ngopibareng.id mendapat jawaban yang tegas dari Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Mengenai sujud syukur dan sujud tilawah telah diputuskan dan ditetapkan hukumnya pada Muktamar Tarjih di Pekalongan, 9-14 Rabi‘ul Awal 1392 / 23-28 April 1972 (baca HPT cet. III hal. 356-361). Namun untuk lebih jelas lagi tim Fatwa Tarjih terangkan sebagai berikut:
Sujud Syukur.
Sujud syukur ialah sujud yang dilakukan oleh seseorang ketika ia diberitahu atau memperoleh sesuatu yang menggemberikan hatinya, atau ia merasa telah memperoleh nikmat yang besar dari Allah SWT. Sujud syukur dilakukan sebagai reaksi spontan dari seseorang atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya, lalu ia bersujud kepada Allah sebagai tanda bahwa ia tunduk dan patuh kepada-Nya dan mensyukuri atas nikmat serta kegembiraan yang telah dianugerahkan-Nya. Dasar hukum sujud syukur ialah beberapa hadits berikut ini:
Advertisement
“Diriwayatkan dari Abu Bakrah ra., bahwasanya Nabi saw apabila datang sesuatu yang menggemberikan kepadanya ia tunduk dalam keadaan bersujud kepada Allah.” [HR. lima Imam Hadits kecuali an-Nasaa’i]
Hadits berikutnya: “Diriwayatkan dari Al-Baraa’ bin ‘Azib ra., bahwasanya Nabi saw telah mengutus Ali ke Yaman, - maka tersebut dalam hadits, - ia berkata: Maka Ali menulis surat (kepada Nabi saw) yang memberitakan tentang masuk Islamnya penduduk Yaman. Maka tatkala Rasulullah saw membaca surat itu, beliau tersungkur dalam keadaan sujud sebagai tanda syukur kepada Allah atas peristiwa itu.” [HR. al-Baihaqi dan asalnya dari al-Bukhari].
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdurrahman bin ‘Auf ra., ia berkata: Rasulullah saw pernah sujud dan lama sujudnya, kemudian beliau mengangkat kepalanya, lalu bersabda: Sesungguhnya Malaikat Jibril telah datang kepadaku (membawa kabar), dan kabar itu menggemberikan hatiku, karena itu aku sujud sebagai tanda syukur kepada Allah.” [HR. Ahmad dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim]
Tidak ditemukan tuntunan tentang sujud syukur itu, kecuali sebagaimana diterangkan hadits-hadits di atas. Karena itu para ulama berbeda pendapat tentang kaifiyat sujud syukur tersebut. Sebagian ulama mengqiyaskannya kepada shalat biasa, dengan arti sebelum sujud syukur itu berwudlu lebih dahulu, kemudian takbir dengan menghadap ke kiblat, kemudian sujud dan berdoa dan diakhiri dengan salam (Subulus-Salam, Jilid 1 hal. 211).
Sedang pendapat yang lain menyatakan, sujud syukur itu dilakukan tanpa wudlu, tidak perlu menghadap ke kiblat, di sembarang tempat, dilakukan sekali saja, tanpa takbir dan salam, serta dilakukan di luar shalat. Pendapat yang terakhir ini berdasarkan pemahaman terhadap arti zhahir dari hadits-hadits di atas. Pada waktu sujud dibaca doa dan tasbih, berdasarkan hadits:
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Paling dekatnya seorang hamba kepada Tuhannya ialah pada waktu ia sedang sujud, oleh karena itu perbanyaklah doa.” [HR. Muslim]
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam mengikuti pendapat yang kedua, dengan arti bahwa sujud syukur itu dilakukan tanpa wudlu, tidak dalam shalat,tanpa takbir dan salam serta langsung bersujud ketika mendengar atau memperoleh sesuatu yang menggembirakan, dengan mengucapkan tasbih, tahmid, dan doa. (bersambung)
Advertisement