Suara NU-Gereja
Ini perbincangan yang lama hilang di kalangan pemuka agama kita. Berlangsung di Kantor PBNU Jakarta. Antara Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf dan Ketum Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Pendeta Jacklevyn Fritz Manuputty.
Agenda pembicaraan kedua tokoh agama di Indonesia itu dalam rangka forum diskusi rutin yang digelar PBNU. Setiap hari Jumat. Namanya Forum Keramat. Forum yang digelar di Jalan Keramat Raya Jakarta. Berlangsung terbuka. Diikuti banyak peserta.
“Tapi kali ini menjadi forum triple keramat. Diselenggarakan di hari keramat bagi umat Islam: Jumat, diselenggarakan di Jalan Keramat Raya Jakarta, dengan pembicara keramat karena ada Ketum PGI,” gurau Gus Yahya –panggilan Yahya Cholil Staquf.
Bagi saya, ini menarik bukan tentang keramatnya. Tapi tema yang diangkat untuk dibahas para tokoh agama tersebut. Yakni soal perlunya konsensus baru. Untuk memberi landasan operasional konsensus bangsa yang telah dirumuskan para pendiri bangsa.
Wacana ini sangat penting. Sebab, sekian lama kita telah terjebak ke dalam pembahasan teknis tentang berbangsa dan bernegara. Ini tidak hanya mendera para penyelenggara negara. Tapi juga telah merambah kepada para pemimpin agama yang bertanggungjawab menjaga moral bangsa.
Gus Yahya memulai perbincangan itu dengan mengemukakan bahwa Bangsa Indonesia merupakan hasil konsolidasi untuk membuat wahana kebersamaan. Wahana itu diciptakan melalui konsensus tentang dasar, bentuk, dan nilai dasar negara. Konsensus itu diambil oleh para pendiri bangsa yang berasal dari berbagai keyakinan dan suku bangsa.
Tapi, dalam pandangan dia, bukan berarti masalah telah selesai dengan konsensus tersebut. Ada isu-isu baru yang berkembang dan masalah baru dengan kompleksitas yang semakin besar. Semuanya membutuhkan konsensus baru yang lebih operasional.
Banyak hal yang bersifat operasional telah diatur oleh Undang-undang. Misalnya tentang jaminan untuk menjalankan keyakinan beragama. Tapi masih butuh cara-cara yang lebih kuat untuk menjadi rujukan dalam menyelesaikan berbagai perbedaan dalam masyarakat.
Banyak sekali konsensus-konsensus lama yang masih bersifat abstrak. Misalnya UUD 1945 yang menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Nah, bagaimana operasional dari azas kekeluargaan ini?
Di sinilah dibutuhkan konsensus baru yang bersifat etis sebagai rujukan operasional di atas undang-undang. Dibutuhkan jabaran nilai-nilai dasar akan beberapa hal sehingga ada kisi-kisi jalan keluar. Juga kebutuhan konsensus tentang etika. Apa yang patut dan tidak patut.
Ketiadaan rujukan etis hasil konsensus baru setelah konsensus tentang negara bangsa, menjadikan adanya kecenderungan untuk mengakali undang-undang. Mayoritanisme –pandangan mayoritas yang berkuasa– menjadi persoalan baru yang bisa menabrak wahana yang dihasilkan oleh konsensus para pendiri bangsa.
Gus Dur pernah mengusulkan agar MPR menjadi wahana konsensus baru tersebut. Konsensus baru itu bentuknya bukan TAP MPR. Tetapi semacam konsensus baru yang berisi nilai-nilai luhur yang menjadi rujukan berbangsa dan bernegara. Namun, usul tersebut ditolak.
Gus Yahya yang saat Gus Dur menjadi Presiden sebagai salah satu juru bicaranya mendorong MPR kini saatnya mengambil inisiatif. “Sebelum bangsa ini ambyar,” kata kiai muda yang juga jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) ini.
Kegelisahan Gus Yahya ini diamini Pendeta Manuputty. Ia mengapresiasi langkah PBNU dalam membuka wahana dialog kebangsaan seperti ini. Dari dialog mingguan ini diharapkan bisa menghasilkan konsensus-konsensus baru yang dirumuskan oleh berbagai elemen bangsa yang majemuk ini.
“Ini inisiatif yang mahal. Upaya untuk menginkubasi konsensus bersama agar keguyuban kita sebagai bangsa yang majemuk tidak hilang. Padahal, keguyuban itulah yang menjadi karakter kita,” katanya.
Dia pun setuju agar terus menerus dilakukan rosonansi konsensus tentang bangsa Indonesia. Konsensus baru sangat diperlukan untuk menyikapi berbagai dinamika baru. Hanya saja, kemajemukan harus tetap menjadi landasan konsensus baru tersebut.
Mengapa perjumpaan lintas sahabat –meminjam istilahnya Pendeta Manuputty– seperti diinisiasi PBNU ini menjadi sangat penting? Karena para pemuka agama memiliki peran strategis dan historis dalam membangun bangsa Indonesia.
Setelah konsensus-konsensus fundamental yang dirumuskan para pendiri bangsa seperti Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, tantangan baru terus muncul seiring perkembangan zaman. Maka dari itu, dibutuhkan konsensus-konsensus baru yang tetap berakar pada nilai-nilai kebangsaan.
Pemuka agama membawa otoritas moral dan dipercaya oleh umatnya. Dalam dialog kebangsaan, mereka dapat menawarkan perspektif etis atas isu-isu kontemporer seperti keadilan sosial, kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan korupsi.
Mereka harus aktif menciptakan ruang-ruang inklusif untuk dialog lintas iman dan budaya. Ini penting guna memperkuat kohesi sosial dan menghindari polarisasi yang berbasis identitas.
Para pemuka agama perlu terus mengembangkan narasi keagamaan yang sejalan dengan semangat kebangsaan dan kemanusiaan universal. Bukan yang eksklusif atau ekstrem.
Bayangkan kalau konsensus baru dibangun atas dasar wahana media sosial yang tak jelas landasan etisnya? Kebenaran akan terbangun atas dasar algoritma mesin yang bisa direkayasa seperti merekayasa undang-undang. Disinilah kehadiran pemimpin agama sangat penting artinya.
Dengan menggunakan “sisa otoritasnya”, mereka bisa mendorong umat untuk aktif berpartisipasi dalam proses demokrasi. Tentu proses demokrasi yang tetap menjunjung tinggi etika dan prinsip kebangsaan, tanpa membawa agama sebagai alat politik praktis.
Singkatnya, pemuka agama perlu terlibat aktif dalam membangun dialog yang bermakna dan menyusun konsensus baru demi keberlanjutan Indonesia sebagai negara-bangsa yang beragam. Peran mereka tidak hanya sebagai penyampai ajaran, tetapi juga sebagai penjaga moral publik, pemersatu bangsa, dan penjaga nilai-nilai luhur Pancasila.
Meski demikian, inisiatif MPR tetap harus dikedepankan. Karena merekalah yang dibiayai negara untuk mengambil inisiatif-inisiatif penting yang menyangkut urusan negara bangsa. Bukan hanya menjadikan pemuka sebagai bamper ketika bangsa ini menghadapi kegentingan.
Rasanya dibutuhkan suara lebih keras dan lebih luas. Tak hanya suara NU dan gereja yang muncul dalam Forum Keramat. Tapi merambah ke dalam perbincangan dalam semua elemen bangsa. Agar bangsa ini tak menjadi ambyar.
Di sinilah, Forum Keramat menjadi melegakan. Sedikit mengurangi kegelisahan ketika pragmatisme politik merambah ke mana-mana.
Advertisement