Sejak Kuliah, Arifin C Noer Sudah Dimusuhi Lekra PKI
ARIFIN C NOER, dari "Serangan Fajar" hingga "Pengkhianatan G-30-S PKI.
Viral pro kontra film legendaris Pengkhianatan G-30-S PKI, tentu saja, tak lepas dari sosok Arifin Chairin Noer, sebagai sutradara film produksi PFN milik negara ini.
Arifin C.Noer, adalah sutradara milik Indonesia yang mumpuni, punya daya akurasi dan ketajaman visi yang jelas, punya kekuatan sinematografi dan mampu membuat skenario sendiri yang tak perlu diragukan lagi.
Sebelum film Pengkhianatan G-30-S PKI, Arigin lah yang jadi sutradara film sejarah perjuangan lainnya, Serangan Fajar.
Bila anak tokoh PKI, Ilham Aidit di TV One beberapa hari lalu meragukan akurasi filmnya Arifin, misalnya soal D.N. Aidit merokok atau tidak, akhirnya terbantahkan. Aidit memang merokok. Seperti ada dalam film Arifin.
Pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 10 Maret 1941 ini, meninggal di Jakarta, 28 Mei 1995, pada usia 54 tahun.
Arifin menikah dengan Nurul Aini, istrinya yang pertama, dikaruniai dua anak: Vita Ariavita dan Veda Amritha. Pasangan ini bercerai tahun 1979.
Arifin kemudian menikah dengan Jajang Pamoentjak, putri tunggal dubes RI pertama di Prancis dan Filipina, yang juga seorang aktris dikenal dengan nama Jajang C. Noer. Darinya, Arifin mendapat dua anak, yaitu: Nitta Nazyra dan Marah Laut.".
Arifin meninggal karena sakit kanker hati dan lever pada 1995.
Arifin menekuni kariernya dari dunia teater, sutradara teater hingga sutradara film Indonesia, yang beberapa kali meraih Piala Citra untuk penghargaan film terbaik dan penulis skenario terbaik.
Sejak Panglima TNI menyerukan mobar Pengkhianatan G30S PKI, maka kita menyaksikan lagi karya Arifn.
Berangkat dari Teater Muslim
Ketika kuliah di Yogyakarta, Arifin jafi anggota Teater Muslim pimpinan sastrawan dan sutradara teater Mohammad Diponegoro.
Dalam pementasannya tema pertunjukannya selalu kontra dengan teater Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra, organasi seniman underbow-nya PKI. Arifin memang dimusuhi PKI sejak kuliah.
Teater Muslim memilih memantaskan karya bertema Islami seperti memanggungkan lakon ‘Iblis’ karya Mohammad Diponegoro. Teater Muslim digolongkan kelompok seniman yang memperjuangkan hak asasi manusia universal, bertentangan dengan teater Lekra yang memperjuangkan ide kerakyatan.
Dalam membuat film G-30-S PKI ini, Arifin selaku sutradara dan pihak PFN yang diketuai G Dwipayana, terikat perjanjian tertulis yang isinya pihak PFN tidak bisa mengintervensi kemandirian sutradara. Ini karena Arifin C Noer tak mau dicampuri siapapun
Dalam bidang film, karya Arifin C Noer banyak mendapat penghargaan. Film perdananya adalah Suci Sang Primadona.
Salah satu film Arifin yang laris sekaligus mendapat banyak Plala Citra di awal tahun 1990-an adalah ‘Taksi’ yang dibintangi Rano Karno dan Meriam Belina. Di film inilah Rano meraih Piala Citra pertamanya sebagai aktor.
Memulai Karier dari Yogjakarta.
Arifin C. Noer adalah anak kedua Mohammad Adnan. Menamatkan SD di Taman Siswa, Cirebon, SMP Muhammadiyah, Cirebon, lalu SMA Negeri Cirebon tetapi tidak tamat, kemudian pindah ke SMA Jurnalistik, Solo. Setelah itu ia kuliah di Fakultas Sosial Politik Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta. Tahun 1972-1973 ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat.
Mulai menulis cerpen dan puisi sejak SMP dan mengirimkannya ke majalah yang terbit di Cirebon dan Bandung. Semasa sekolah ia bergabung dengan Lingkaran Drama Rendra, dan menjadi anggota Himpunan Sastrawan Surakarta.
 Di sini ia menemukan latar belakang teaternya yang kuat. Dalam kelompok drama bentukan Rendra tersebut ia juga mulai menulis dan menyutradarai lakon-lakonnya sendiri, seperti Kapai Kapai, Tengul, Madekur dan Tarkeni, Umang-Umang dan Sandek Pemuda Pekerja.
Naskah karyanya, Lampu Neon, atau Nenek Tercinta, telah memenangkan sayembara Teater Muslim, 1987. Kemudian saat kuliah di Universitas Cokroaminoto, ia bergabung dengan Teater Muslim yang dipimpin Mohammad Diponegoro. Ia kemudian hijrah ke Jakarta dan mendirikan Teater Kecil pada tahun 1968.
Teater Kecil berhasil mementaskan cerita, dongeng, yang seperti bernyanyi. Tentang orang-orang yang terempas, pencopet, pelacur, orang-orang kolong, dsb. Mencuatkan protes sosial yang transendental tetapi kocak dan religius.
Naskah-naskahnya menarik minat para teaterawan dari generasi yang lebih muda, sehingga banyak dipentaskan di mana-mana.
Karyanya memberi sumbangan besar bagi perkembangan seni peran di Indonesia dan menunjukkan eksistensinya sebagai salah satu pencetus bentuk teater modern Indonesia.
Naskah lakon Kapai-Kapai yang ditulis tahun 1970, terpilih sebagai salah satu karya dalam antologi seratus tahun drama Indonesia yang diterbitkan Yayasan Lontar,[3], diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Moths.[4]. Kapai-Kapai dipilih karena merupakan karya Arifin C Noer yang paling sering dipentaskan serta menandai titik balik penting dalam penulisan lakon di Indonesia, yakni dari teks drama realistis menjadi penulisan puitis yang menuntut agar dikonkretkan di atas panggung.
Kapai-Kapai berada di antara drama absurd Barat dan drama rakyat Indonesia. Menggambarkan dongeng masa kecil Arifin di Cirebon, Jawa Barat, dengan bahasa puitis yang kaya metafor, kata-kata berirama dan struktur ritmik.
Teaternya akrab dengan publik. Ia memasukkan unsur-unsur lenong, stanbul, boneka (marionet), wayang kulit, wayang golek, dan melodi pesisir. Menurut penyair Taufiq Ismail, Arifin adalah pembela kaum miskin.
Arifin Meraih Piala Citra.
Arifin kemudian berkiprah di dunia layar perak sebagai sutradara. Pada film Pemberang ia dinyatakan sebagai penulis skenario terbaik di Festival Film Asia 1972 dan mendapat piala The Golden Harvest. Ia kembali terpilih sebagai penulis skenario terbaik untuk film Rio Anakku dan Melawan Badai pada Festival Film Indonesia 1978. Ia mendapat Piala Citra.
Di bidang sinematografi, Arifin bekerja secara otodidak. Belajar kamera ketika Wim Umboh membuat film Kugapai Cintamu, 1976. Arifin merasakan pengalaman sebagai sutradara teater merupakan dasar yang perlu di dunia film.
Film perdananya Suci Sang Primadona, 1977, melahirkan pendatang baru Joice Erna, yang memenangkan Piala Citra sebagai aktris terbaik Festival Film Indonesia 1978.
Menurut Volker Schloendorf—sutradara Die Blechtrommel, pemenang Palme d'oro Festival Cannes 1979—dari Jerman, film tersebut "menampilkan sosok wajah rakyat Indonesia tanpa bedak. Arifin cermat mengamati tempatnya berpijak."
Menyusul film-film lainnya: Petualangan, Harmonikaku, Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa, Matahari-Matahari. Serangan Fajar dinilai sebagai film FFI terbaik 1982."
Salah satu film Arifin yang paling kontroversial adalah Pengkhianatan G 30 S/PKI (1984).
Film tersebut adalah filmnya yang terlaris dan dijuluki superinfra box-office. " Film ini diwajibkan oleh pemerintah Orde Baru untuk diputar di semua stasiun televisi setiap tahun pada tanggal 30 September untuk memperingati insiden Gerakan 30 September tahun 1965. Peraturan ini kemudian dihapus pada tahun 1997. Melalui film itu pula Arifin kembali meraih Piala Citra 1985 sebagai penulis skenario terbaik. Pada FFI 1990, filmnya Taksi dinyatakan sebagai film terbaik dan meraih 6 Piala Citra." (dmr)
Advertisement