Saat Gus Dur Digugat Para Kiai, Fakta Keharuan yang Mencerahkan
Desember di negeri ini acap disebut bulan Gus Dur. Maka KH Husein Muhammad mengirim ulang cerita Gus Dur ini. Dipetik dari Pengantar Buku Kiyai Menggugat Gus Dur Menjawab.
Akhir Tahun 1983 aku pulang dari Mesir. Tanggal 8-12 Desember 1984 aku hadir di Muktamar NU ke 27 di Situbondo. Situasi politik Nasional mencemaskan. Para ulama NU terbelah dalam dua kubu. Kubu NU Politik versus NU Kultural. Di situ aku melihat Gus Dur memperlihatkan kecerdasan luar biasa, Brilian. Aku terkagum-kagum penuh pesona.
Beliau terpilih sebagai Ketua Umum PBNU bersama K.H. Achmad Siddiq, sebagai Rois Am. NU kembali ke Khittah 1926. Ia bermakna kembali ke Jatidiri sebagaimana cita-cita pendiriannya sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. NU melepaskan diri sebagai organisasi Politik Praktis. Ini, kata banyak peserta Muktamar adalah gagasan genuin Gus Dur yang didukung sepenuhnya oleh Kiyai Ahmad Siddiq dan sejumlah Kiyai yang lain.
Sesudah itu aku mengikuti kabar pikiran dan langkah Gus Dur yang disebut banyak orang sebagai "Nyleneh", sebuah kata Jawa yang bermakna "aneh" atau "menyimpang" dari kebiasaan pikiran mainstream. Aku aktif berdiskusi dengan para Kiyai sepuh di banyak kesempatan bukan hanya di Cirebon, tetapi juga di daerah lain tentang perkembangan pemikiran dan gerakan keagamaan masyarakat muslim, khususnya kaum Nahdliyin serta tentang situasi Politik mutakhir.
Pandangan Gus Dur pun Dikaji
Pandangan-pandangan, aktivitas dan langkah-langkah Gus Dur selalu dibicarakan, dikaji dan diperdebatkan dengan hangat, sengit dan berlarut-larut.
Nah, entah kapan tepatnya, aku menjadi sekretaris Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI), Jawa Barat. RMI bermakna Ikatan Pondok Pesantren NU, sebuah lembaga dalam NU. Ketuanya K. H. A. Ibnu Ubaidillah, pengasuh Pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon.
Beliau adalah pamanku. Pada suatu kesempatan dalam perbincangan dengan sejumlah Kiyai sepuh, antara lain, K. H. Fuad Hasyim (Buntut Pesantren, K. H. Ayip Usman (Kempek), Kiyai Ibnu Ubaidillah dan Kiyai Chozin Nasuha, dan muncul gagasan mengundang Gus Dur untuk bicara pada pertemuan RMI Jawa Barat, tanggal 8 dan 9 Maret 1989. di Pesantren Dar al-Tauhid, Aku saat itu menjadi Ketua Panitia.
Lalu agenda apakah yang akan dibicarakan dalam pertemuan tersebut?. Para kiyai sepakat, selain agenda organisasi, untuk meminta Gus Dur memberikan pengarahan dan meminta pertanggungjawaban beliau atas pernyataan-pernyataan, Pandangan-pandangan dan langkah-langkahnya selama ini yang sangat menggelisahkan dan menggeramkan publik, termasuk para Kiyai terutama dalam isu-isu keagamaan.
Aku bilang, Gus Dur adalah manusia kontroversial. Pikiran-pikirannya sering - jika tidak boleh disebut selalu- dikatakan "keliru", " konyol", "membingungkan", " menyimpang" dan bikin "gaduh" jagat raya. Adalah tradisi dan karakter Kiyai dan ulama, untuk "tabayyun" atau konfirmasi dengan pihak yang dituduh keliru yang dalam kasus ini adalah Gus Dur. Mekanisme "tabayyun" ini diperintahkan al-Qur'an. Apalagi beliau adalah cucu pendiri NU, Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari, guru para ulama Indonesia dan putra K. H. Abdul Wahid Hasyim, menteri Agama.
Lalu untuk kepentingan agenda ini, dikumpulkanlah isu-isu Kontroversial Gus Dur. Beberapa isu yang dianggap publik sebagai sangat "berbahaya" dan menjadi bahan stigmatisasi, cemooh dan kecaman bahkan pemurtadan terhadap Gus Dur adalah mengganti ucapan "Assalamu'alaikum" menjadi Selamat Pagi/ siang/sore/malam, Kunjungannya ke Israel. "Pembelaannya terhadap Salman Rusydi, penulis novel "The Satanic Verses"(Ayat-ayat Setan), yang menghina Nabi Muhammad, pembelaannya atas kasus majalah "Monitor", "Menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), membuka malam Puisi Yesus Kristus. Pembelaannya terhadap kelompok-kelompok " Minoritas", tentang "Rukun Tetangga" Mendampingi "Rukun Iman" dan "Rukun Islam", dan lain-lain.
Pada hari H, Gus Dur Hadir. Aku menerima dan membawa dan menuntunnya ke tempat istirahat yang sudah disiapkan. Sementara Gus Dur istirahat, para Kiyai dari berbagai daerah telah berkumpul di suatu tempat yang biasa kami sebut "madrasah blong".
Mereka, berjumlah sekitar 200 orang, sangat antusias dan bersemangat untuk mengikuti acara ini. Aku sempat berbincang dengan beberapa Kiyai tentang Gus Dur dan pikiran-pikirannya.
Pada umumnya mereka menyesalkan atau menyayangkan beliau. Mereka ada yang sudah menyiapkan pertanyaan berikut bahan kritiknya terhadap Gus Dur yang diambil dari khazabah "Kitab Kuning". Menarik sekali.
Aku menjemput Gus Dur di tempat istirahatnya dan membawanya ke tempat acara "Pengadilan ", terhadap Gus Dur. Begitu sampai para kiyai bersalaman dan sebagian besar mencium tangan beliau. Sesudah Gus Dur duduk, K. H. Dr. Chozin Nasuha, sebagai moderator, membacakan susunan acara, sekaligus daftar " Kesalahan" Gus Dur. Aku melihat Gus Dur diam saja.
Gus Dur dipersilahkan. Beliau memulainya dengan bergurau sedikit seraya mengkritik. "Apa yang disampaikan moderator tadi saya sudah tahu. Di mana-mana saya ditanyain soal-soal itu. Dan hadirin pun tertawa. Lalu sebelum menjawab satu persatu sejumlah pertanyaan itu, Gus Dur menyampaikan situasi Dunia saat ini dan akan ke mana arahnya. Kemudian situasi Nasional, khususnya dalam politik. Dan terakhir keadaan NU serta harapan beliau kepada organisasi Islam terbesar yang dipimpinnya itu.
Aku mendecak kagum. Gus Dur menyampaikannya dengan sangat luar biasa yang membuat hadirin terdiam. Suasana senyap. Berikutnya beliau juga bicara tentang tradisi kajian di Pesantren, di samping dipuji juga dikritik, stagnan, tekstualis, bermazhab "qauli" , sambil mengusulkan bermazhab "Manhaji" (metodologis) dan "kontekstualisasi".
Nah sesudah itu Gus Dur menjawab satu persatu isu-isu partikular yang kontroversial sebagaimana yang ditanyakan. Para peserta mendengarkannya dengan tekun dan konsentrasi penuh.
Suasana hening, meski asap mengepul di ruangan itu. Sebagian nengangguk-anggukan kepalanya sambil menatap Gus Dur. Ada yang terharu. Ada juga yang menunduk, merenung.
Usai acara mereka berebut menyalami sambil mencium tangan Gus Dur. Wajah berbinar-binar. Tak ada kata-kata terucap. Tak ada lagi keluh.
Aku bicara lirih sendiri : "Betapa menakjubkan. Gus Dur seakan telah menyihir atau menghipnotis hadirin, para kiyai itu. Beliau menjawab semua pertanyaan dan kritik setajam apapun secara cerdas, luas dan mendalam dengan narasi yang arif, tanpa emosi, dan kadang dengan canda yang membuat suasana jadi "ambyar" dan penuh gelak tawa.
Wawasan Gus Dur sangat luar biasa. Mengagumkan. Spektatuler. Aku bahagia, sambil mengembang air mata. Pikiran-pikiran Gus Dur melampaui zamannya. Gus Dur telah membaca banyak sekali ilmu pengetahuan, bukan hanya yang terdapat dalam "kitab-kitab kuning", sumber pengetahuan di Pesantren, tempat Gus Dur dilahirkan dan dibesarkan, tetapi juga karya-karya intelektual dunia, klasik maupun kontemporer, dari mana pun dan beragama apa pun.
Beliau tampak mengagumi para bijak bestari yang telah menjadi legenda dan para filsuf klasik maupun modern, seperti Platon, Aristo, Mahatma Gandhi, Karl Mark, Jean Paul Sartre dan lain-lain dan tentu saja adalah para ulama besar klasik, seperti para sufi dan para Imam mazhab dalam Islam.
Buku ini bagiku adalah bagian dari sejarahku. Aku adalah satu dari sekian banyak saksi sejarah tokoh besar kemanusiaan abad ini, seorang Ulama yang Presiden yang bersahaja yang seluruh hidupnya diabdikan untuk mencintai manusia
Aku bersyukur dan berbahagia, telah menemukan kembali buku ini setelah menghilang lebih dari 18 tahun. Tuhan seakan menuntun tanganku untuk mengambil satu buku di antara deretan buku, dan menemukan buku ini. Dan aku berteriak : Alhamdulillah.
Di samping itu buku ini juga memuat pandangan-pandangan Gus Dur tentang sejumlah isu besar. Antara lain : Politik, Ideologi, Negara, Sastra, Agama, Kemiskinan, dan lain-lain. (Husein Muhammad)
Advertisement