Menteri UMKM Tak Ingin UU Perlindungan Konsumen Jadi Algojo Pembunuh UMKM
Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman mendorong aparat penegak hukum tak lagi menggunakan Undang-undang perlindungan konsumen dalam menjerat pelaku UMKM. Setiap kasus yang dilakukan pelaku UMKM ke depan diharapkan bisa menggunakan Undang-undang pangan.
Demikian disampaikan Maman Abdurrahman saat menjadi pemateri dalam kegiatan forum bisnis 2025, yang dilakukan BPC HIPMI Jember, di Aula Bank Jatim Jember, Sabtu, 05 Juli 2025.
Maman mengatakan kasus label kedaluwarsa yang menjerat Firly, pelaku UMKM oleh-oleh khas Banjar di Banjarbaru, Kalimantan Selatan bukan sekadar isu perlindungan hukum, tetapi pembelajaran kepada aparatur hukum. Penegakan hukum harus dilakukan dan dijalankan di negara dan tidak boleh ada tawar menawar.
Kendati demikian, dalam penerapan produk hukum di Indonesia selalu ada sanksi alternatif, sehingga tidak selalu berujung pidana. Maman tidak ingin penanganan kasus yang terjadi di Kalimantan Selatan terulang kembali di daerah lain.
Maman yakin kasus hukum yang menjerat pelaku UMKM di Indonesia saat ini cukup banyak, tidak hanya ribuan kasus tetapi bisa sampai puluhan ribu kasus. Persoalan hukum tersebut muncul akibat pelaku UMKM dengan literasi hukum lemah dan karena ada oknum tertentu yang berlaku tidak adil terhadap aktivitas UMKM di Indonesia.
Kendati kasus hukum yang menjerat pelaku UMKM cukup banyak, namun Kementerian UMKM tidak bisa memberikan pendampingan hukum seperti yang dilakukan di Kalimantan Selatan. Maman berharap kasus yang terjadi di Kalsel bisa menjadi portofolio sekaligus simbol keberpihakan pemerintah terhadap UMKM di daerah.
“Kasus di Kalsel menjadi simbol yang kita gaungkan ke Indonesia. Momentum di Kalsel menjadi pesan kepada masyarakat Indonesia,” katanya.
Maman merinci, Undang-undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan UU No 8 Tahun 199 tentang Perlindungan Konsumen sama-sama mengatur sanksi bagi para pelanggar. Namun, dua saksi dalam undang-undang tersebut berbeda.
Undang-undang pangan berkaitan dengan sanksi pembinaan, sedangkan undang-undang perlindungan konsumen terkait dengan sanksi pidana. Tak tanggung-tanggung pelanggar undang-undang perlindungan konsumen bisa terancam penjara dan denda hingga Rp5 miliar.
Dengan perbedaan sanksi tersebut, Maman menilai penggunaan undang-undang perlindungan konsumen bisa dipakai apabila pelaku merupakan pengusaha besar. Apabila pelaku merupakan pelaku UMKM, maka undang-undang yang tepat adalah undang-undang tentang pangan.
Pada kesempatan itu, Maman meminta HIPMI berkolaborasi terhadap pelaku UMKM yang masih miskin literasi, baik literasi keuangan maupun hukum. Jangan sampai undang-undang produk hukum di Indonesia menjadi algojo pembunuh, tetapi sebagai alat yang mendorong para pelaku UMKM lebih maju dan berkembang sesuai prinsip sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.
“Bayangkan ibu kita jualan di pasar jual ikan dan sayur tidak mencantumkan administrasi dan syarat administrasi, lalu dipidana lima tahun dan denda Rp5 miliar. Bisa-bisa bangkrut ekonomi kerakyatan kita. Karena itu, undang-undang yang relevan dalam konteks UMKM adalah undang-undang pangan,” pungkasnya.
Advertisement