Menanggalkan Bentuk Angan-Angan, Ini Penjelasan Ibn Atha’ilah
”Bentuk rasa syukur, di antara dalam lahir dan batin. Tapi, saya belum paham tentang bagaimana seorang Mukmin itu mempunyai keinginan sementara juga harus bersyukur?”
Itulah pertanyaan Harun Rasyid, warga Benowo Indah, Surabaya pada ngopibareng.id. Untuk menanggapi hal itu, pengampu Kitab Al-Hikam, Ustadz Abdullah Bahreisy memberikan penjelasan berikut:
Penulis Kitab Al-Hikam, Induk Hikmah, Ibn ‘Aţhāillah, memaparkan bahwa syukur terbagi menjadi 2 bagian: syukur dẓāhir dan syukur batin. Syukur dẓāhir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.
Sedangkan syukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari syukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah.
Ibn ‘Atha’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak mensyukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia mensyukurinya, maka rasa syukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman: Jika kalian bersyukur (atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah (kenikmatan itu).
Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Atha’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bersyukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, syukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bersyukur terhadap apa yang telah diberik`n orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan syari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah.
Pengejawantahan syukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah.
Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan syukur.(adi)
Advertisement