Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya, Pakar ITS: Ada Kemungkinan Kebocoran
Kesaksian beberapa penumpang selamat yang menyebut, sebelum tenggelam KMP Tunu Pratama Jaya sempat mengalami mati mesin dan blackout. Hingga akhirnya kapal menjadi miring.
Guru Besar Fakultas Teknologi Kelautan Institut Teknologi Sepuluh November, Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, M.Phil., Ph.D., MRINA menyebut kejadian itu mengindikasikan adanya kebocoran dan kerusakan sistem kelistrikan. Daniel menduga air masuk ke ruang mesin dan menyebabkan genset mati total. Jika kondisi ini terjadi, proses tenggelam bisa berlangsung sangat cepat.
“Kalau stability loss (kehilangan stabilitas), bisa menyebabkan masuknya air masuk dari geladak kendaraan yang biasanya terlalu rendah, dan itu tidak bisa dikeringkan dengan cepat, maka genangan air di atas geladak itu membahayakan keselamatan kapal. Kehilangan stabilitas itu proses tenggelamnya sangat cepat. Mungkin kurang dari setengah jam bisa, tergantung ukuran kapalnya,” kata Daniel saat dihubungi Ngopibareng.id
Ia menekankan pentingnya perawatan kapal secara berkala, termasuk pemeriksaan struktur lambung dan sistem kelistrikan. Jika memang terjadi kebocoran maka ada yang tidak beres pada lambung kapal. Daniel menyarankan agar operator memiliki jurnal docking yang mencatat dengan jelas jadwal dan tindakan perawatan kapal. Kelalaian dalam hal ini dapat berujung pada kecelakaan serius.
“Kalau ternyata perawatan lambungnya buruk, itu kelalaian. Jurnal docking harusnya bisa membuktikan apakah kapal sudah diperiksa atau belum,” tegasnya.
Keselamatan Jadi Tanggungjawab Operator
Kata dia, sistem keselamatan pelayaran saat ini sebenarnya menjadi tanggung jawab utama operator, bukan semata-mata pada regulator dalam hal ini adalah pemerintah. Dalam sistem yang lama memang terlalu bergantung pada pemerintah, sehingga memunculkan potensi penyalahgunaan, seperti terbitnya sertifikat tanpa pemeriksaan layak atau sertifikat bodong.
Tapi, saat ini sistem telah bergeser ke pendekatan goal setting di mana operator wajib melakukan analisis risiko secara mandiri. Hal ini bertujuan agar operator lebih serius dalam menjaga kondisi kapal mereka.
Kata dia, sekarang ini sistemnya sudah berbeda dengan 10 sampai 20 tahun yang lalu. Dulu, sifatnya memang tergantung pada pemeriksaan oleh pihak ketiga ataupun oleh regulator (pemerintah).
"Bila peranan pihak ketiga itu terlalu besar, itu bisa terjadi sertifikat bodong. Bisa jadi, tidak pernah diperiksa tapi keluar suratnya, asalkan bayar. Jadi pemerintah tadi sifatnya hanya melakukan semacam akreditasi gitu,” ujarnya.
Dana Keselamatan Laut Minim
Daniel juga menyoroti proses evakuasi penumpang. Dia memperkirakan saat musibah itu terjadi arus Selat Bali sangat deras. Hal itu ikut memperburuk kondisi. Meski jumlah penumpang tidak banyak, proses evakuasi kemungkinan besar jadi terhambat.
Ia pun menyoroti kurangnya perhatian pemerintah dalam hal pendanaan keselamatan laut. Menurutnya, sebagai negara kepulauan, Indonesia seharusnya menjadikan sektor pelayaran sebagai prioritas. Termasuk memperkuat armada penyelamat seperti Basarnas.
“Saya khawatir pemerintah tidak terlalu banyak mengalokasikan anggaran untuk keselamatan di laut sekarang ini,” katanya.
Daniel berharap insiden ini bisa menjadi peringatan serius, bukan sekadar berita yang cepat dilupakan. Ia mengingatkan bahwa tanggung jawab keselamatan ada di pundak semua pihak, bukan hanya pemerintah, tapi juga operator, kru kapal, dan bahkan penumpang.
“Ini pelajaran penting. Jangan sampai ada lagi yang lengah,” pungkasnya.
Advertisement