Doktor UB Kenalkan Terapi PRF untuk Pengobatan Nyeri Kronik
Sekitar 40 hingga 60 persen pasien yang darang ke pain center (layanan pengelola nyeri) di Indonesia didiagnosa mengalami nyeri kronik. Bahkan, nyeri kronis menjadi masalah bagi sepertiga hingga setengah dari populasi dunia.
Kondisi nyeri ini lebih sering terjadi pada bagian lumbal dan disebut juga sciatica, sehingga dapat mempegaruhi kualitas hidup seseorang. Seperti, mengganggu kegiatan sehari-hari, tanggung jawab keluarga, rumah dan kegiatan rekreasi (termasuk olahraga) serta tidur.
Hal tersebut dipaparkan Dr. dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp, An. Ia mengatakan, salah satu terapi nyeri intervensi yang sedang dikembangkan saat ini adalah pulsed radiofrequency (PRF) untuk atasi kondisi tersebut.
"Nyeri yang dibiarkan saja, lama-lama akan menjadi nyeri kronik. Kalau sudah begitu hal yang bisa dilakukan adalah mencari pengobatan. Saat pasien mengeluh nyeri kronik dan diobati sudah banyak, kita harus berpikir untuk beralih ke terapi intervensi salah satu modalitasnya dengan PRF," kata dokter yang akrab disapa Wawan ini.
Menurutnya, terapi nyeri dengan PRF lebih aman dari terapi yang sudah ada sebelumnya karena tak merusak sel atau jaringan. "Sebelumnya terapi nyeri ini dilakukan dengan intervensi radiofrequency, jadi sistem kerjanya dirusak syarafnya agar tidak nyeri. Tapi fungsi motoriknya akan berkurang. Sementara untuk PRF nyeri akan berkurang signifikan tapi efek sampingnya tidak seperti radio frekuensi," paparnya.
Mengenai terapi PRF untuk nyeri kronik ini juga dipaparkan dalam disertasinya yang berjudul "Efek Pulsed Radiofrequensi Terhadap Penurunan Sensitisitas Neuron Tersensitisasi Melalui Konsentrasi Ion Kalsium Intrasel, Potensial Membran Mitokondria, dan Jumlah ATP Sitolosik” (Upaya Menjelaskan Mekanisme Efek PRF pada Neuron Model Nyeri).
Penelitian ini juga berhasil membawanya menyandang gelar pendidikan tertinggi, yakni Doktor dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB) pada Senin, 12 Juni 2023.
Ia menjelaskan, sistem kerja PRF ialah langsung mengarah pada target saraf yang dirasa nyeri. Misalnya pasien mengalami nyeri yang menjalar dari punggung ke kaki. Maka, penjalaran syaraf dari punggung ke kaki yang dicari.
"Pada level berapa saraf tersebut, pada level 3 dan 4 misalnya, jarum untuk terapi PRF langsung masuk ke level tersebut. Kemudian dilakukan PRF 6 menit dengan frekuensi 2 sampai 4 head," jelasnya.
Advertisement
Menurutnya, dengan terapi PRF penyembuhan dilakukan bertahap tergantung dari level nyeri yang dialami pasien. Paling cepat satu minggu dan paling lama bisa 7 pekan proses terapinya.
Sejauh ini, ungkapnya, di Indonesia nyeri kronik masih didominasi usia tua atau lansia dengan perbandingan lebih banyak perempuan dari pada laki-laki.
"Kalau untuk sebab nyeri kronik sendiri multifaktorial. Bisa karena nyeri akut, karena trauma yang tidak terobati dengan baik, atau bisa juga kerusakan saraf yang disebabkan karena penyakit lain seperti diabetes atau penyakit degeneratif lainnya," terangnya.
Dengan hasil penelitiannya, ia berharap terapi ini kedepannya bisa difasilitasi oleh asuransi atau BPJS. Pasalnya, banyak yang membutuhkan terapi ini masih terkendala oleh biaya.
Sejauh ini, terapi PRF memang masih terbatas di Indonesia, salah satunya ada di UB.
"Harapannya penelitian ini sebagai bukti klinis memfalitasi terapi untuk nyeri kronik. Karena, trendnya cukup tinggi. Pasien yang datang ke saya 10 hingga 15 persen perlu difasilitasi terapi ini tapi memang belum tercover BPJS," tandasnya.
Advertisement
Hasil penelitian yang dipaparkan dokter Wawan juga didukung oleh Rektor Universitas Brawijaya, Prof. Widodo, S.Si.,M.Si.,PhD.
Prof Widodo menyampaikan, penelitian dokter Wawan tak banyak dilakukan dokter lain. Hasil ini juga akan menguatkan sebuah center of excelent yang ingin dikembangkan oleh Indonesia maupun dunia.
"Kedepan kami juga akan mendukung dengan mengajak mitra-mitra untuk bekerjasama mengembangkan penelitian ini. Penelitian ini masih in vivo yakni pada sel, kedepan semoga bisa dikembangkan lagi menjadi in vitro," kata Prof Widodo.
Advertisement