Buka Bersama
Cerpen
Oleh Amara One
“Pakai piring yang baru ini saja. Nanti diatur di meja belakang situ dengan hiasan bunga-bunga. Sendoknya pakai yang gagangnya warna emas itu. Terus wadah makannya pakai yang ada tutupnya ini, disamain semua. Ini, ini, sama ini,” kata Ibuk sambil menunjuk deretan dus Tumpakware yang masih tersegel rapi di dalam lemari.
Tanganku yang sedang mencuci gelas lepas sahur, terhenti di udara. Tanpa kusadari bibir bawahku menganga selebar satu bakso bulat ukuran standar. Ibu yang berdiri di sebelahku masih sibuk memilah-milah dus Tumpakware miliknya yang isinya belum pernah tersentuh sabun cuci piring sekali pun setelah dibeli.
“Buk, ini acara anak-anak. Ndak usah yang aneh-aneh,” ujarku setelah berusaha mengatur susunan kata dalam kepala agar ketika disemburkan tak terdengar seperti petir menyambar.
“Lha, terus kenapa? ‘Kan tidak apa-apa terlihat rapi dan cantik mejanya.” Ibuku memindahkan tiga dus tempat lauk yang dipilihnya ke atas meja. Maju terus pantang mundur, wadah-wadah itu harus tetap dipakai.
Aku membayangkan wajah anakku, Fay, yang bakal cemberut seharian bila aku terlalu berlebihan menyiapkan acara buka bersamanya bersama teman-teman satu geng di rumah ini sore nanti. Sedari awal Fay sudah bilang, jangan banyak-banyak lauknya, jangan berlebihan, nanti mubazir. Jangan siapin dekorasi aneh-aneh, biasa saja, begitu pesan Fay kemarin.
Sementara, Ibuk—yang sedang tinggal di rumahku ini selama Ramadan karena tidak ada yang bisa menemani Ibuk semenjak Bapak meninggal—menganggap bahwa segala acara itu harus disiapkan dengan megah, cantik, mewah, dan penuh keindahan. Kata sederhana tidak pernah lewat dalam kamus Ibuk. Aku tahu bahwa setiap tamu yang datang ke rumah memang harus dimuliakan, tetapi ada bungkus yang tidak berlapis emas yang masih bisa digunakan untuk menjamu mereka. Apalagi ini tamu-tamunya adalah bocah berusia sembilan belas tahunan, yang masih menapak semester satu perkuliahan, yang tidak bakal peduli dengan keindahan wadah, taplak, hiasan meja, dan warna sendoknya. Mereka hanya akan memperhatikan secara saksama: apa yang ada dalam wadah-wadah itu. Isinya lebih penting: yang segera akan masuk menjadi isi perut mereka.
“Gak usahlah, Buk. Tamunya cuma anak-anak ini. Kita pakai wadah dan piring yang ada di lemari makan biasanya aja. Belum lagi nanti harus bongkar dus, lalu dicuci dulu, setelah dipakai dicuci lagi, masuk dus lagi. Duh, repot. Aku sendirian lagian. Pakai yang ada sajalah!” Ada sedikit kesalahan nada dalam menyampaikan kalimat itu. Suaraku naik satu oktaf di bagian belakang kalimat, yang membuat Ibuk sontak terdiam dan bergeming di tempatnya berdiri.
Tiba-tiba, Ibuk memalingkan badannya. “Ya, udah!” Ibuk beranjak masuk kamarnya tanpa bicara satu patah kata pun. Aku terpaku. Tiga dus yang bertumpuk di atas meja tak jelas bagaimana nasibnya. Sambil menghela napas, aku mengembalikan dus-dus yang isinya masih perawan itu balik ke sarangnya.
Aku sendiri yang meminta Ibuk untuk tinggal di rumahku sebulan ini agar tidak sendirian di rumah. Para kanca wingking yang biasa menemani Ibuk, kebetulan takada satu pun yang bisa diminta datang. Terpikir sahur dan buka Ibuk yang bakal terasa sepi, sehingga menurutku lebih baik Ibuk berada di sini. Namun, ternyata itu juga berarti aku harus berjumpa dengan nilai-nilai kehidupan Ibuk yang tinggi serta berbagai norma dan tata krama priyayi kelas satu.
Aku merasa terlempar ke dalam mesin waktu, terseret ke puluhan tahun lalu saat masih satu rumah dengan Ibuk di masa sekolah menengah. Aku seakan merasakan denyut yang sama di kepala, gelepar debar jantung yang sama, dan sesak napas yang sama. Aku baru ingat mengapa aku memutuskan kuliah di luar kota dan tidak di dekat rumah.
***
Fay mendekatiku yang sedang memotong-motong sosis.
“Bikin apa, Ma?”
“Sup makaroni. Cukup, kan, segini?”
“Cukup,” kata Fay seraya memindahkan potongan-potongan sosis di atas telenan ke wadah yang sudah kusiapkan. “Itu Ibuk mau ke mana?” tanya Fay. Anak-anakku terbiasa memanggil ibuku dengan cara yang sama denganku. Ibuk yang meminta agar merasa tetap muda.
Aku meletakkan pisau dan memandang Fay heran. “Mau ke mana? Emang Ibuk mau ke mana?”
Fay menunjuk ke ruang tengah. “Tuh, Ibuk bawa tas. Katanya mau pergi sebentar.”
Setengah berlari aku menuju ke ruang tengah. Di sana, aku menjumpai Ibuk yang sedang duduk di kursi berlapis beledu cokelat kesayangannya sambil sibuk mengamati telepon genggamnya. Sebuah tas tenteng berwarna biru bermotif daun tersandar di dekat kaki kursi.
“Ibuk mau pergi?”
Ibuk mendongak dan melihatku. “Ibuk mau ke rumah Mas Arman sebentar. Nanti malam Ibuk balik sini lagi.” Lalu Ibuk menatap layar dalam genggamannya lagi.
Mata Ibuk terlihat sedikit sembab dan hidungnya bersemu warna merah muda. Ibuk pasti habis menangis. Namun, aku harus pura-pura tidak tahu. Celakanya, pasti ini gara-gara ucapanku saat lepas sahur tadi.
“Ibuk naik apa?” tanyaku, berusaha biasa saja.
“Dijemput supirnya masmu. Sudah berangkat, sebentar lagi sampai.”
Keningku berkerut. Rupanya ada konsolidasi bawah meja dengan kakakku. Ibuk pun tidak merasa perlu mendiskusikannya denganku. Hubungan Ibuk dan kakak pertamaku ini memang tidak bisa dideskripsikan dengan kata-kata; bagaikan dua kertas dengan lem yang merekat kuat, yang bila dipisahkan akan merusak keduanya. Yang jelas, sedari dulu aku sudah tak ambil pusing. Berdiri sebagai seseorang yang tak pernah digubris dan tak bakal dianggap semua tindakan dan perkataannya, itu sudah biasa. Terutama kalau harus ditandingkan dengan tindakan dan kata-kata kakakku, si Paling Benar di mata Ibuk.
“Oh, gitu. Kenapa kok tiba-tiba ke sana?” Aku merasa melontarkan pertanyaan bodoh. Aku ingin berjalan ke kiri yang walaupun serasa dihalangi tembok tinggi karena bila ke kanan aku bertemu jurang terdalam di dunia.
“Ndak apa-apa. Pengin aja. Kamu juga sibuk sama acara anakmu. Jadi daripada mengganggu, Ibuk di sana saja.”
Itu dia. Aku mengakui bahwa aku masih harus belajar menata kata-kata untuk menjawab semua pertanyaan Ibuk, tetapi aku tidak bisa bila tidak bersikap jujur pada diriku sendiri. Di antara semua masalah yang pernah terjadi dalam hidupku, menjaga hubungan baik dengan Ibuk ini adalah hal tersulit yang harus kuhadapi.
“Lah, mengganggu apanya. Kan kita sudah diskusi sejak kapan hari soal ini. ‘Kan seru-seruan aja sama anak-anak, makanya dibikin santai.”
“Enggak, enggak apa-apa. Aku di rumah Mas Arman dulu aja. Ada yang mau aku bicarakan juga sama masmu.”
Aku terdiam. Ibuk, kalau sudah ada maunya, tidak bisa ditekuk. Yang ada Ibuk akan bersikap keras atau justru tampil sebagai sosok teraniaya di depanku. Aku cuma bisa menghela napas pelan.
“Ya, udah. Nanti malam balik ke sini kan, ya?”
“Iya. Itu jemputan Ibuk datang. Ibuk tinggal dulu, ya.” Bergegas, dengan langkah cepat khas Ibuk yang seolah tak ingin terlewat satu detik pun, Ibuk menuju ke depan. Secepat kilat Ibuk sudah menghilang dari pandanganku. Aku termangu sendiri di depan pintu. Ada darah yang menggelegak di dalam diriku, membuatku menimbang-nimbang apakah perlu kubanting pintu ini.
Sebuah sentuhan lembut di bahuku membawaku kembali. Aku menoleh. Fay menatapku sambil tersenyum. “Ayo, kita kerja, Ma.” Senyumnya menyiram api yang menyala-nyala di dalam hatiku.
***
Sudah pukul sepuluh malam, buka bersama Fay dan teman-temannya sudah lama usai. Beberapa teman Fay baru saja pulang setelah membantuku mencuci piring dan merapikan rumah lagi. Kedekatanku dengan anak-anak gadis ini membuat aku tidak merasa kerepotan dengan kehadiran mereka. Tak disuruh pun, mereka sudah siap membantu. Aku tahu persis mereka adalah anak-anak manis yang sederhana, yang justru akan merasa rikuh dengan situasi yang terlalu ajaib, yang membuatku bersikukuh tidak melakukan dekorasi berlebihan dan penataan meja serta makanan yang mewah. Lagipula, buka bersama ini hanya dihadiri oleh dua belas orang anak, termasuk Fay. Sekali lagi, itu mengapa aku merasa cukup mengemasnya dengan sederhana.
Kesibukan menyiapkan acara Fay ini membuatku tak sempat menelepon kakakku sedari tadi. Namun, ibuku belum tiba juga. Aku menekan tombol hijau di nama kakakku untuk memastikan.
“Mas, Ibuk di mana? Dah diantar balik ke sini?” tanyaku langsung.
“Lho. Bukannya sudah sejak sore tadi. Kata Pak Har, Ibuk turun di depan rumahmu, kok.”
“Hah? Aku kok gak lihat Ibuk datang, ya.”
“Gimana, kamu ini. Coba dicek lagi, mungkin sudah di kamar!”
Buru-buku kuselesaikan percakapan itu. Aku bergegas ke kamar Ibuk. Gelap, tak ada sinar lampu yang biasanya tak pernah Ibuk matikan. Kubuka perlahan. Ternyata tidak ada siapa-siapa.
Aku berlari ke ruang atas, tidak ada juga. Suamiku kutanya juga tak melihat Ibuk sedari tadi. Rumah sekecil ini, mana ada tempat sembunyi untuk Ibuk.
Aku berlari ke halaman depan. Sepi. Tak kulihat satu orang pun. Namun, di sudut pagar, aku melihat tas biru bermotif daun yang dibawa Ibuk tadi siang. Aku bergegas mengambilnya. Tas itu nyaris kosong, hanya ada satu baju yang dipakai Ibuk siang tadi.
“Ibuk!” teriakku tertahan di antara kesunyian, memastikan Ibuk masih ada di sekitar rumah. Takada sahutan apa pun.
“Ibuk!” teriakku sekali lagi. Hening. Hanya desau angin yang menjawab teriakanku. Perutku mulai terasa diaduk-aduk. Terasa ada denyut di satu titik kepala yang selalu timbul bila aku sedang dalam situasi yang genting. Kepalaku mulai terasa berat.
Aku mengaduk-aduk lagi tas biru dengan motif daun itu. Barangkali ada petunjuk di mana Ibuk berada. Tak lama, kutemukan secarik kertas yang terlipat, terselip di antara pakaian Ibuk.
Ibuk mau pulang dulu ke Ngawi. Kangen rumah Bapak. Ibuk sewa mobil. Ini pakaian Ibuk tolong dicuci.
- finito -