Bersentuhan Bukan Mahram, Cobaan yang Umum
Dalam masalah thawaf, yang susah untuk dihindari adalah sentuhan antara laki-laki dengan perempuan lain mahram. Imam Nawawi mengatakan, sentuhan lain jenis dalam thawaf tersebut merupakan cobaan yang umum.
Ahmad Mundzir, pakar fikih, menceritakan ada sebagian pandangan dalam madzhab Syafi'i yang menegaskan di antara orang yang berlainan jenis jika bersentuhan itu mempunyai hukum dua sisi.
Sisi yang pertama adalah bagi yang menyentuh (al-lamis). Ulama Syafiiyyah sepakat bahwa orang yang menyengaja menyentuh hukumnya batal.
Adapun sisi kedua adalah yang orang disentuh (al-malmus). Bagi orang yang disentuh (tidak sengaja menyentuh) terdapat dua pendapat. Menurut pendapat yang paling shahih adalah batal, sedangkan menurut pendapat sebagian ulama tidak batal.
Pendapat kedua inilah yang kemudian melahirkan sebuah kelonggaran bagi penganut madzhab Syafi'i dalam berthawaf. Redaksi yang dikemukakan Imam Nawawi sebagai berikut.
“Termasuk cobaan yang merata dalam thawaf adalah sentuhan dengan wanita karena berdesak-desakan. Sebaiknya bagi lelaki untuk tidak berdesak-desakan dengan para wanita tersebut. Begitu pula bagi para wanita jangan berdesakan dengan para lelaki karena kekhawatiran akan terjadi batalnya wudhu. Sesungguhnya bersentuhan salah satu dari keduanya terhadap kulit yang lain bisa menyebabkan batalnya kesucian orang yang menyentuh. Sedangkan bagi orang yang disentuh, terdapat dua pendapat dalam madzhab Syafi'i rahimahullah.
Advertisement
Menurut pendapat yang paling sahih adalah batal wudhunya orang yang disentuh. Itu merupakan redaksi tekstual yang terdapat dalam mayoritas kitab-kitab Syafii. Adapun pendapat kedua mengatakan tidak batal. Pendapat ini dipilih oleh sebagian kecil golongan pengikut Syafi'i. Sedangkan pendapat yang terpilih adalah yang pertama,” (Lihat Imam Nawawi, Al-Idhah fi Manasikil Hajj wal Umrah, Al-Maktabah Al-Imdadiyah, halaman 220-221).
Setidaknya, dari pendapat yang semula dianggap lemah karena memang bertentangan dengan pendapat yang kuat dan masyhur di kalangan Syafiiyah, oleh Imam Nawawi kemudian memberi arahan bagi orang yang thawaf untuk menggunakan pendapat minoritas sebab keadaan yang memang sangat sulit dihindari.
Antara Sayyid Abdurrahman dan Imam Nawawi dalam masalah thawaf ini dapat ditarik sebuah benang merah kesimpulan, karena sulitnya memenuhi kriteria pindah madzhab dan karena kondisi Masjidil Haram yang tidak bisa dihindari dalam masalah persentuhan lawan jenis, maka pengikut madzhab Syafi'i tidak perlu pindah madzhab. Itu yang pertama.
Yang kedua, dalam hal batalnya wudhu, mereka tetap dapat mengikuti madzhab syafi'i asalkan tidak menyengaja menyentuh lawan jenis. Selama tidak menyengaja, tidak membatalkan wudhu.
Ketiga, pendapat bahwa bersentuhan lain jenis itu tidak batal memang tidak disarankan untuk digunakan dalam kondisi normal, hanya karena cobaan yang merata bagi orang yang thawaf, pendapat ini cukup menjadi solusi dan boleh digunakan sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi. (adi)
Advertisement