Demi Menyamankan Masyarakat, Tiga Titik Diturunkan Gradenya
Sebelum Trans Papua bisa menyambungkan Windesi dengan Mameh, masyarakat kampung-kampung di Kabupaten Teluk Wondama, hanya punya pilihan melalui laut ketika akan ke Manokwari di utara atau dengan pesawat udara kalau akan ke Bintuni yang terletak di sisi barat.
Jalan kaki hanya jadi pilihan terakhir itu pun dilakukan dalam kondisi darurat. Sebab, tidak ada jalur setapak yang diwariskan leluhur suku-suku yang bermukim di sepanjang tepian pantai Teluk Wondamana karena beratnya medan kecuali jalan untuk berburu.
Terbukanya akses darat baru pada 2014 dan diperbaiki mulai 2015 hingga sekarang, mulai memperlihatkan dampak nyata. Yang paling terlihat adalah mobilitas penduduk yang tidak lagi terhambat transportasi. Sepeda motor bahkan tiga tahun belakangan sudah mulai hilir mudik di Windesi, sebuah pemukiman trans warga lokal yang juga jadi ibukota distrik.
“Sekarang sudah banyak yang punya sepeda motor. Meskipun ada beberapa titik jalan yang gradenya masih besar, namun perubahan ini cukup dirasakan manfaatnya oleh masyarakat setempat yang biasanya berjalan kaki dari kampung ke kampung,” terang Koordinator Pengawas Lapangan (Korwaslap) Paket Reguler Mameh-Windesi 2 dari PPK IV.01 Mukhlis Mahmud ketika mendampingi ngopibareng.id menyisiri Ruas Mameh-Windesi.
Advertisement
Aktivitas dermaga besar di Windesi diprediksi meningkat ketika sudah terintegrasi dengan Trans Papua. Harapan untuk mengejar ketertinggalan dengan kawasan lain di Papua Barat yang sudah lebih maju pun terbentang.
Dengan program percepatan pembangunan melalui Trans Papua yang melintang dari Merauke hingga Sorong, warga Windesi dan kampung-kampung yang wilayahnya dilintasi, bisa beraktivitas tanpa terhambat alat transportasi darat lagi ketika sudah fungsional.
Tetapi terbatasnya perekonomian warga yang untuk membeli kendaraan berpenggerak roda empat plus belumnya adanya akses perbankan atau pun toko penyedia, menjadikan sepeda motor menjadi alat transportasi utama saat ini.
Kendati bukan jadi pertimbangan utama, kenyamanan agar akses yang masih berupa jalan dengan pengerasan material pilihan (japat) dan belum dilapisi aspal tetap bisa dimanfaatkan dengan nyaman.
“Target paket reguler Mameh-Windesi 2 adalah rekonstruksi (perbaikan alinyemen) sepanjang 10 Km. Tetapi diperpanjang 140 meter untuk safety-nya. Penanganan itu terbagi dalam 15 segmen dengan panjang variasi. Dari dulunya jalan tanah sekarang sudah full japat. Rekonstruksi itu juga termasuk pemeliharaan reguler dan penurunan grade dengan membuat alih trase di tiga segmen,” terang pria kelahiran Tidore 50 tahun silam yang sudah kenyang hambatan alam ketika membuka infrastruktur jalan di Papua ini.
Alih trase yang dimaksud tidak seperti di Trans Papua Segmen 1 Gunung Pasir yang benar-benar membuka jalan baru. Alih trase di ruas Mameh-Windesi hanya membuat jalan baru sedikit lebih rendah dari yang lama. Panjang alih trase juga sama dengan jalan lama.
Masing-masing di segmen 8 sepanjang 130 meter, segmen 13 (120 meter) dan segmen 14 (250 meter). “Panjangnya tetap sama dengan jalan yang dialih trase. Itu untuk mengurangi grade agar warga bisa nyaman menggunakan ketika sudah fungsional,” timpal Sekawan Lumbanturoan Shimbong, pengawas lapangan yang ikut menemani perjalanan ini.
Advertisement
Selain rekonstruksi jalan, penanganan 2 jembatan permanen juga masuk dalam ruas Mameh-Windesi 2. Yakni Jembatan Wendermei dengan bentang 40 meter dan Jembatan Werdenei dengan bentang 50 meter.
“Penanganannya dilakukan setelah anggaran turun Oktober 2018 dari sisa dana lelang. Targetnya, bangunan bawah sudah berdiri akhir Desember ini. Sedangkan untuk akses daratnya digeser ke sisi yang lebih landai,” kata Mukhlis Mahmud.
Namun di ruas yang ditangani Mukhlis Mahmud bukannya tanpa kendala. Secara umum, masyarakat setempat memang mendukung proyek infrastruktur ini. Tetapi ada satu kendala teknis terkait aktivitas perusahaan pemegang hak penggunaan hutan (HPH).
“PT Wijaya Sentosa pemilik HPH di wilayah ini. Informasinya, akan habis 2024. Hanya saja banyak kayu yang sudah tidak bisa diolah diletakkan di bahu jalan dan otomatis mengubah hasil rekonstruksi kami,” sambungnya.
Kendati tidak sampai mengganggu fungsi jalan, pemilik HPH sendiri sebenarnya sudah membuat jalan sendiri untuk aktivitas loging. Tetapi pada beberapa crossing (pertemuan dengan ruas Trans Papua), aktivitas itu dilakukan tanpa koordinasi dengan kontraktor mitra kerja BPJN XVII Manokwari. Seperti meratakan galian untuk lokasi penempatan kayu sebelum dibawa.
“Kalau ada koordinasi kan enak sehingga ketika ada pemeriksaan, surat koordinasi dari pemegang HPH jadi acuan,” tutupnya. (gem)
Advertisement