Ritual Manten Tebu PG Modjopanggoong, Harmoni Budaya dan Industri

Feature

Rabu, 11 Januari 2023 15:32 WIB

Rumah di Desa Sukorejo itu terlihat ramai. Mereka sibuk menyiapkan hajatan pernikahan yang datang setiap tahun. Malam itu, pasangan manten tebu sedang dimasak, siap untuk digiling bersama tebu perdana di Pabrik Gula (PG) Modjopanggoong, Tulungagung.

Budaya Masyarakat Tulungagung

Musim giling di PG Modjopanggoong selalu diawali dengan sejumlah ritual budaya. Mulai dari Bodo Pabrik yang berlangsung bahkan hingga dua bulan.

Tua muda dan anak-anak bergembira. Bermain di taman hiburan rakyat (THR) dadakan, hingga pasar malam lengkap dengan berbagai makanan dan pakaian.

Namun, ada satu ritual yang pantang ditinggal. Tebu perdana yang digiling, harus diawali dengan manten tebu. “Boneka dari tepung beras, dibentuk dan dandan seperti pasangan manten,” kata Didit Bagus Wulantoro, sesepuh pembuat manten tebu, Kamis 22 Desember 2022.

Manten Tebu

Iringan temanten berjalan rapi dari pintu gerbang Pabrik Gula Modjopanggoong. Laki dan perempuan mengenakan beskap dan kebaya. Sebagian di belakang mengenakan kemeja batik, baju khas warga Jawa di acara formal.

Sebagian undangan menyempatkan melihat wajah temanten. Sebagian lain menerka, menyebut nama. Wajah boneka seringkali menyerupai wajah petinggi di lingkungan pabrik.

Sepasang kembar mayang berdiri beriring di bagian depan. Batang pisang berhias cengkir gading, janur, dan bunga menjuntai, menyimbolkan harapan baru di bahtera rumah tangga yang hendak diayuh.

Temanten tebu memimpin arak-arakan di barisan paling depan. Dua petugas membawa sepasang boneka tepung berbaju manten adat Solo, lengkap dengan beskap dan kebaya beludru warna hitam. Pasangan manten diarak hingga di mulut mesin giling tebu.

Arak-arakan manten tebu di PG Modjopanggoong Tulungagung. (Foto: Dok.Didit Wulantoro)
Arak-arakan manten tebu di PG Modjopanggoong Tulungagung. (Foto: Dok.Didit Wulantoro)

Layaknya proses pernikahan, pembawa acara memimpin prosesi di sepanjang jalan, menggunakan Bahasa Jawa. Alunan gending Kebo Giro mengiringi langkah temanten hingga masuk di mulut mesin giling.

Sejumlah penari tradisional juga gemulai meliukkan tubuh, leher dan lengan, memeriahkan hari gembira di pabrik tebu.

Pasangan manten laki dan perempuan lantas duduk di roda berjalan, diikuti kembar mayang, dan seikat tebu pertama. Diiringi suara sirene pabrik di pagi hari, roda berjalan pun berputar, perlahan masuk ke dalam mesin. Pertanda musim giling dimulai.

“Suasananya sakral sekali. Membuat tengkuk merinding. Beberapa ada pula yang mbrebes mili (menangis),” kata Didit Bagus Wulantoro, pembuat boneka manten tebu.

Hajatan Manten Sepekan

Membuat manten tebu tak sekadar memasak tepung beras menjadi boneka manten. Prosesnya, tak ubahnya menyiapkan acara pernikahan anak sendiri. Didit sudah membuat manten tebu sejak tahun 1970an, membantu ibunya Sri Sudarti.

Sepekan sebelum manten tebu digiling, Didit bersama istrinya Riris Supristi Agustini, menyiapkan segala kebutuhan dan ritual menjelang temu manten.

Janur melengkung di depan rumah. Tenda terob dipasang. Tetangga kanan dan kiri membantu memasak untuk selamatan. Hingga menghias batang pisang untuk kembar mayang.

Belanja kebutuhan boneka manten juga dilakukan. Ada tepung beras, kelapa untuk santan, dan gula merah sebagai simbol darah.

Pantanganya satu. Tak boleh ada hati yang tersakiti selama belanja, hingga membuat manten tebu. “Belanja tak boleh nawar. Saya juga puasa menahan emosi antara 3 hingga 7 hari. Tak boleh ada masalah dengan istri. Kalau ada yang sakit hati, boneka manten bisa tak jadi,” katanya.

Pria paruh baya itu melanjutkan tugas yang diturunkan dari kakek buyutnya, Wongso Ngaimin.

Manten tebu buatan Didit Bagus Wulantoro. (Foto: Dok.Didit Bagus Wulantoro)
Manten tebu buatan Didit Bagus Wulantoro. (Foto: Dok.Didit Bagus Wulantoro)

Didit memulai membuat boneka manten sekitar pukul 22.00. Ketika kondisi sudah hening. Tepung beras dikukus sejam kemudian diuleni dengan santan kental dan gula merah.

Setelah dingin, adonan dibentuk menyerupai laki-laki dan perempuan, setinggi sekitar 40 cm. Laki-laki pada umumnya dibuat lebih tinggi. Wajah pun dipahat. Ada cekung mata, hidung, dan juga mulut.

Tepung menyerupai konde dipasang khusus untuk boneka perempuan. Biji kedelai dipasang menyerupai hitam bola mata.

Boneka manten kembali masuk ke dandang untuk dikukus sejam, kemudian dirias wajahnya bila telah dingin. Riris bertugas memasang make up pada wajah temanten.

“Riasannya pakai paes manten Solo. Semua make up nya layaknya merias manusia,” kata Riris. Seperti ibunya, Riris juga berprofesi sebagai perias pengantin.

Sekitar pukul 05.00, petugas pawai dari pabrik akan menjemput pasangan manten. Pukul 05.30, arak-arakan temu manten mulai berjalan menuju mesin giling. Diiringi tembang Kebo Giro, pembawa acara prosesi, dan semua petinggi Tulungagung sebagai pemilik hajat.

Manten tebu buatan Didit Bagus Wulantoro. (Foto: Dok.Didit Bagus Wulantoro)
Manten tebu buatan Didit Bagus Wulantoro. (Foto: Dok.Didit Bagus Wulantoro)

Tak Sekadar Profesi

Terdengar mudah. Nyatanya hanya Didit yang punya profesi membuat boneka manten tebu di Tulungagung. Ia merasa, dirinya bersinggungan dengan alam tak kasat mata, ketika membuat boneka manten.

“Mau tidak percaya, nyatanya begitu. Ada saja kejadian selama membuat boneka. Apalagi bila ada pantangan yang dilarang. Tepung akan selalu luruh bila dikukus,” katanya.

Kejutan selalu muncul ketika tutup dandang dibuka. Pernah tepung yang telah dibentuk ternyata rusak. Semua adonan luruh. Berkali-kali dicoba, selalu berakhir sama.

Tak terbayang rasanya, bila boneka manten yang dikukus selalu luruh hingga pagi. Sedangkan para undangan telah tiba di pabrik, dan iring-ringan temanten datang menjemput.

“Itu saya sudah hampir gila rasanya. Sebab mau bagaimana lagi bila semua sudah siap tapi mantennya tidak ada,” kisah Didit mengingat sebuah pagi di musim giling 2013.

Didit merapal syukur tak henti-henti. Selepas Subuh, boneka manten akhirnya selesai. Masalahnya satu. Seikat tebu perdana yang akan digiling, baru tiba di pabrik sekitar pukul 04.00 pagi. “Itu saya sudah siap dipenjara sebab boneka mantennya tak jadi. Syukur, akhirnya masalah teratasi,” kata Didit.

Misteri lain, wajah dan bentuk boneka pun tak akan sesuai dengan kondisi ketika masuk ke dandang. Wajah boneka yang sama-sama menghadap ke depan, bisa jadi menghadap ke atas, berpaling, atau ukuran boneka laki-laki jadi lebih pendek, atau lebih lebar ketika keluar dari dandang.

“Kadang wajahnya menyerupai pegawai pabrik. Pernah juga seolah menceritakan adanya perpecahan petinggi pabrik. Kepalanya berpaling dari pasangan,” lanjutnya.

Faktanya, Didit jadi satu-satunya pembuat boneka tebu. Ia meneruskan jejak buyutnya, yang turun ke neneknya, hingga ke ibunya. “Banyak yang ingin belajar. Saya ajak mereka melihat langsung. Tetapi mereka kabur sebelum dandang kedua saya buka. Selalu begitu,” tandasnya.

Boneka manten tebu. (Foto: Didit Bagus Wulantoro)
Boneka manten tebu. (Foto: Didit Bagus Wulantoro)

Filosofi Manten Tebu

Didit mengingat kisah pendahulunya. Manten tebu muncul di awal Belanda membuka pabrik. Buyutnya yang dipandang sesepuh setempat, meminta agar Belanda membuat manten tebu, sebelum memulai giling. “Istilahnya, kalau kita mau bangun rumah baru, kulonuwun dulu pada yang ada di situ. Pada leluhurnya,” jelas Didit.

170 tahun setelah berdiri, manten tebu masih bertahan. Kini ia meyakini filosofi harmoni di balik manten tebu. “Layaknya orang berumah tangga, baru mau giling. Manten laki dan perempuan ya harus bekerjasama. Jangan jalan sendiri-sendiri. Supaya lancar dan aman rumah tangganya,” terang Didit.

Bagi pekerja pabrik, manten tebu juga memberi dorongan baik untuk bekerja. Aziz Rahman Bayu Surono, Asisten Manajer SDM, menyebut manten tebu berdampak psikis bagi pekerja. “Mereka merasa lebih aman bekerja, bila ada arakan manten tebu,” kata Aziz.

Meski hal sederhana itu tak selalu mudah dilakukan. Sejumlah pembesar pernah keberatan dengan ritual manten tebu. Sebab dinilai buang-buang anggaran dan tak ada gunanya. “Itu tahun 1990an. Waktu itu kemudian ada kecelakaan kerja. Setelah dievaluasi memang ada kesalahan di K3nya (keselamatan dan kesehatan kerja). Tetapi secara psikis, itu juga berdampak pada pekerja,” sebut Aziz.

Peringatan menjaga keselamatan kerja di dalam lingkungan PG Modjopanggoong, Tulungagung. (Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Ngopibareng.id)
Peringatan menjaga keselamatan kerja di dalam lingkungan PG Modjopanggoong, Tulungagung. (Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Ngopibareng.id)

Di waktu lain, pabrik tak menganggarkan dana cukup untuk ritual manten tebu. Sekali persiapan, Didit menyebut angka sekitar Rp15 juta. Bila anggaran tak cukup, sering ada bantuan dana dari perorangan petinggi di pabrik.

“Tak semua suka. Ada yang membenturkan dengan agama juga,” lanjutnya..

Didit berharap ada bantuan nyata dari Dinas Pariwisata Tulungagung, sehingga manten tebu bisa jadi agenda wisata tahunan.

Harapan serupa juga dilempar Aziz. “Kalau dijadikan agenda tetap, bisa ada anggaran pasti dari manajemen PTPN X, akan lebih baik. Sebab industri tak akan besar bila meninggalkan budaya,” imbuhnya.

Tim Editor

Dyah Ayu Pitaloka

Reporter & Editor

Berita Terkait

Jumat, 15 Maret 2024 06:04

Mesigit Tebon, Jejak Sejarah Ajaran Toleransi Mbah Jumadil Kubro

Kamis, 14 Maret 2024 04:40

Jejak Dakwah Mbah Jumadil Kubro di Desa Jipang Cepu Blora

Minggu, 03 Maret 2024 09:29

Pasar Lawas Lidah Ndonowati, Nostalgia di Kota Metropolitan

Sabtu, 17 Februari 2024 19:11

Dedikasi dan Inspirasi Penerima Penghargaan Duke of Edinburgh

Bagikan Berita :